Sulitnya Menuntut Reforma Agraria di Ratatotok
Redistribusi lahan HGU yang telantar seharusnya tak sulit. Namun, tak begitu halnya di Ratatotok, Minahasa Tenggara.
Julce Bawoel (61) dan Femmy Aring (48) perlahan berjalan turun meninggalkan perkebunan berbukit di belakang mereka seolah tiada apa-apa. Dua warga Desa Ratatotok Selatan, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, itu bisa saja dipolisikan karena bercocok tanam di lahan berstatus hak guna usaha atau HGU. Namun, tiada gentar dalam hati mereka.
”Biasa-biasa saja, tidak takut. Tetap berjuang,” kata Julce, Selasa (9/1/2023), sambil memegang tiga bilah kayu yang kurus. Seperti Femmy, ia mencangklong sebuah keranjang anyaman rotan bak ransel. Isinya lembaran daun pisang yang disatukan di dalam karung.
Pohon pisang seharusnya tak tumbuh di perkebunan berbukit berstatus HGU seluas sekitar 200 hektar itu. Hanya kelapa yang boleh ditanam di sana. Namun, pihak pemegang HGU itu, yakni PT Ratatotok, telah menelantarkan kebun tersebut sejak 2010 sehingga warga pun mengambil kesempatan untuk berkebun dalam ketiadaan penguasaan defacto tersebut.
Mereka tak hanya menanam pisang di sana. Menurut Femmy, ada berbagai macam rempah-rempah yang dikembangkan dan dirawat warga, seperti pala, cengkeh, dan cabai. ”Kami punya kebun pala 1 hektar. Ada juga ubi dan sayuran,” katanya.
Pada dasarnya, HGU adalah konsesi di atas tanah negara yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk mengembangkan usaha dalam jangka waktu tertentu, misalnya perkebunan. Dalam kasus di Ratatotok, PT Ratatotok mendapatkan masa konsesi selama 25 tahun sejak 2002 hingga 2027 untuk mengembangkan kelapa.
Namun, konsesi tersebut tidak diberikan tanpa syarat. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), perusahaan pemegang HGU wajib merawat, mengembangkan, dan meremajakan tanaman yang ditumbuhkan di area konsesi. Menanam tumbuhan lain saja tak boleh, apalagi menyewakan atau menjual lahan HGU.
Jika terbukti menelantarkan, status HGU dapat dicabut. Lahan tersebut kemudian dapat dijadikan obyek reforma agraria sesuai Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat tertentu yang tak punya tanah. Contohnya adalah petani dan buruh tani, nelayan, hingga aparatur sipil negara golongan III/a atau tentara berpangkat letnan dua ke bawah.
Dalam upaya mendorong redistribusi lahan HGU telantar PT Ratatotok, warga di Desa Ratatotok Selatan dan Tenggara membentuk Organisasi Tani Lokal (OTL) Ratatotok di bawah naungan Serikat Petani Minahasa Tenggara (SPMT). Sejak 2016, mereka juga beraliansi dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Kami punya kebun pala 1 hektar. Ada juga ubi dan sayuran.
Warga pun diberi pembekalan tentang reforma agraria serta cara-cara untuk berorganisasi. Wilayah mereka pun kemudian menjadi satu dari 850 lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang diadvokasi KPA.
Penetapan sebagai LPRA, kata Sekretaris OTL Ratatotok, Ellen Pitoy, adalah hal yang sudah sewajarnya terjadi. Sebab, PT Ratatotok selaku pemegang HGU telah lama melakukan pelanggaran. Pada 2010, misalnya, alih-alih meremajakan, sebanyak 20.000 pohon kelapa malah ditebang untuk dijual kayunya.
Baca juga: Perempuan Berdikari dengan Sertifikat Tanah
”Tidak dirawat lagi sehingga masyarakat masuk untuk berkebun. Namun, kami malah tidak dikasih hasilnya. Kalau mengambil, bisa jadi malah dilaporkan pencurian,” kata Ellen.
Sekitar 2010 pula, kata Ellen, populasi desa semakin meningkat. Namun, warga yang tetap cenderung miskin kesulitan membuat rumah. Satu rumah di Desa Ratatotok Tenggara dan Selatan bisa dihuni tiga keluarga atau lebih.
Karena itu, pemerintah kedua desa mengajukan permohonan peminjaman lahan HGU kepada PT Ratatotok untuk program bedah rumah, yaitu pembangunan rumah semi permanen bagi keluarga prasejahtera. Permohonan itu disetujui sehingga kini ada 80 hektar dari total 200 hektar yang ditempati masyarakat sebagai lokasi rumah dan kebun.
Setelah itu, menurut Ketua SPMT Jansen Matandatu, pengelolaan perkebunan HGU PT Ratatotok tak pernah membaik. Kini, praktis tidak ada lagi kegiatan perkebunan kelapa di area HGU PT Ratatotok. Kantor perusahaan itu, yang berbentuk rumah panggung, bahkan sudah reyot dengan kayu-kayu yang lapuk dan atap seng yang berkarat.
Pada saat yang sama, semakin banyak warga yang membangun rumah dan berkebun di area HGU perusahaan tanda bahwa masyarakat semakin membutuhkan lahan untuk menyambung kehidupan mereka. Karena itu, SPMT dan OTL Ratatotok telah memetakan bidang-bidang tanah obyek yang akan diredistribusi sekaligus mendata penerimanya.
”Utusan Kantor Staf Presiden sudah turun ke lokasi bersama KPA untuk investigasi langsung tahun 2017. Kebetulan, saat itu Desa Mangkit (desa tetangga Ratatotok) sudah ada bayang-bayang mau redistribusi,” kata Jansen.
Namun, Jansen menyebut PT Ratatotok tidak mau melepas HGU-nya.
Soal ini, Jansen memperingatkan warga untuk tak perlu memenuhi panggilan tersebut. Sebab, pendudukan lahan HGU terlantar adalah bagian dari siasat mendorong redistribusi. Warga juga tak bisa disebut menyerobot karena lahan HGU adalah tanah negara, bukan milik pribadi.
Baca juga: Mengurai Regulasi, Menanti Janji Redistribusi
”Izin konsesi pertambangan itu di tanah negara dan seharusnya dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945,” katanya.
Dalam situasi ini, Jansen mengeluhkan ketiadaan peran Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara untuk menyelesaikan konflik agraria di Ratatotok. Padahal, sudah ada Perpres No 86/2018 yang menjadi landasan terbentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat pusat sampai daerah.
”Di sini, Kakantah (Kepala Kantor Pertanahan) Minahasa Tenggara sudah serius. Tim sudah turun dan rapat dengan kami. Namun, bupati tidak datang. Tidak bisa kakantah bertindak sendirian karena eksekusinya itu keputusan bupati,” kata Jansen mengenai koordinasi lintas sektoral dalam menyediakan tanah obyek reforma agraria.
Kegagalan reforma agraria di Ratatotok, kata Ellen sebagai Sekretaris OTL Ratatotok, akan membuat warga semakin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Perempuan menjadi kelompok paling rentan.
”Kalau ekonomi masyarakat menurun, kurang pemasukan, perempuan yang akhirnya harus berbeban ganda. Mereka harus menjadi ibu rumah tangga, mencari nafkah, dan mengurus anak. Kalau anak-anak tidak sekolah, pasti ibu-ibu yang kena dampaknya karena merekalah yang lebih banyak di rumah,” kata Ellen.
Soal ini, Sekretaris Daerah Minahasa Tenggara David Lalandos mengatakan, pemkab akan berupaya mendukung upaya masyarakat dalam mendorong redistribusi sesuai aturan yang berlaku. ”Pada prinsipnya, proses redistribusi ini bisa dilaksanakan apabila terdapat lahan yang dianggap telantar atau tidak lagi dimanfaatkan,” katanya.
Baca juga: Riuh Redam Suara Petani Lampung Menuntut Reforma Agraria
David juga menegaskan, pemkab akan memainkan perannya dalam mengatasi mafia tanah. ”Yang pasti kami harus melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan obyek-obyek tanah HGU, apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan syarat dan ketentuan. Kami juga akan terus melaksanakan law enforcement atas pelanggaran pengelolaan HGU,” katanya.
Kendati demikian, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menuntut pemerintah untuk bertindak melampaui sekadar kata-kata. Lahan eks HGU atau HGU yang secara de facto tak lagi menjadi lokasi perkebunan, seharusnya menjadi obyek reforma agraria yang paling mudah dieksekusi.
”Itu tinggal satu ketukan. Tinggal pemerintah punya politicalwill, eksekusi, redistribusi ke masyarakat. Itu banyak jumlahnya seperti di Desa Mangkit (Minahasa Tenggara), Desa Ongkaw (Minahasa Selatan), dan Desa Gunung Anten (Lebak, Banten). Itu pemerintah tinggal eksekusi aja,” kata Dewi.
Secara nasional, pemerintah menetapkan target reformasi agraria seluas 9 juta hektar. Sebanyak 400.000 hektar di antaranya lahan bekas HGU yang tak diperpanjang lagi masa konsesinya.
Namun, dalam konteks Sulut, pemerintah daerah sering kali menghadapi konflik kepentingan karena adanya anggapan tanah HGU bisa diberikan kepada ahli waris. Padahal, setelah HGU kedaluwarsa, tanah tersebut harus segera dicatat sebagai tanah negara lagi yang tak dilekati hak apa pun.
”Kemudian, tanah negara itu menjadi obyek reforma agraria untuk masyarakat setempat yang masih menggantungkan hidup pada pertanian, peternakan, pertambakan, dan lain-lain. Harusnya secara hukum normatif, tidak sulit lagi bagi pemerintah sampai harus menunda-nunda reforma agraria,” ujar Dewi.