Punya Ribuan Kampus, Hanya Ada 43 Pusat Kajian Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Perguruan tinggi, industri, dan pemerintah berkontribusi hingga 47 persen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Perguruan tinggi berpotensi berperan penting mempercepat pencapaian pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals di Indonesia. Namun, dari ribuan perguruan tinggi, saat ini baru ada 43 pusat studi terkait hal ini.
Demikian salah satu benang merah dalam acara Cirebon Annual Multidisciplinary International Conference yang digelar Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Kamis (11/1/2024), di Kota Cirebon, Jawa Barat. Perwakilan pemerintah serta kampus luar negeri turut menjadi narasumber.
Mereka adalah Manajer Pilar Pembangunan Lingkungan Sekretariat Nasional Sustainable Development Goals (SDGs) Rachman Kurniawan, pengajar di Macquarie University Sydney, Salut Muhidin; serta akademisi dari Universiti Tun Hussein Onn Malaysia, Mimi Mohaffyza.
SDGs ialah komitmen global dan nasional dalam menyejahterakan masyarakat dengan 17 tujuan yang ditargetkan tercapai pada 2030. Tujuan itu di antaranya pendidikan berkualitas, kehidupan sehat, kesetaraan jender, air bersih dan sanitasi layak, serta masyarakat tanpa kelaparan.
Rachman mengatakan, perguruan tinggi termasuk dalam empat aktor yang dapat mewujudkan tujuan tersebut. Aktor lainnya adalah pemerintah, filantropi atau pengusaha, organisasi nonpemerintah, dan media. Dibandingkan dengan yang lain, perguruan tinggi punya karakter berbeda.
Jika filantropi bisa berkontribusi melalui pendanaan, universitas dapat menyumbangkan pengetahuannya. ”Sering kali di pemda, kalau ganti orang, hilang knowledge (pengetahuannya). Kalau ganti bupati, arah (kebijakannya) berubah lagi. Namun, di perguruan tinggi tidak,” ucapnya.
Kampus, lanjutnya, menjadi pusat pengetahuan dan keahlian. Sivitas akademika juga pembelajar cepat. Mereka bisa menyerap masukan dari tingkat global dan nasional, lalu menyampaikannya ke publik. Saat ini, terdapat 320.052 dosen dan 8,9 juta mahasiswa di ribuan kampus Indonesia.
”Perguruan tinggi ini memiliki trust, punya kepercayaan dari beberapa pihak untuk mendampingi mereka,” ucapnya. Apalagi, kampus memiliki nilai tridharma pendidikan tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
Menurut Rachman, universitas dapat berkontribusi hingga 47 persen untuk mewujudkan SDGs jika berkolaborasi dengan pemerintah dan industri. Itu sebabnya, pihaknya mendorong perguruan tinggi turut mempercepat pencapaian tujuan SDGs. Salah satunya melalui SDGs Center.
Saat ini, di Indonesia, dari sekian ribu perguruan tinggi, baru ada sekitar 43 SDGs Center. Upaya untuk mendorong itu akan sangat masif lagi kalau semua perguruan tinggi mau berkontribusi.
Pusat studi SDGs itu menjadi wadah bagi perguruan tinggi untuk memunculkan pengetahuan, penelitian, inovasi, serta pengabdian masyarakat yang terkait pembangunan berkelanjutan. Pusat kajian ini juga dapat mendampingi pelaku usaha dan pemerintah daerah (pemda) dalam mewujudkan tujuan SDGs.
Ia mencontohkan, SDGs Center IPB University, misalnya, menugasi mahasiswa dan dosennya membentuk satu CEO (direktur) di satu desa. Adapun Institut Teknologi Sepuluh Nopember turut mengembangkan listrik tenaga surya di sejumlah daerah untuk mewujudkan tujuan SDGs.
Masih minim
Meski demikian, Rachman mengakui, keberadaan SDGs Center masih minim. ”Saat ini, di Indonesia, dari sekian ribu perguruan tinggi, baru ada 43 SDGs Center. Upaya untuk mendorong itu akan sangat masif lagi kalau semua perguruan tinggi mau berkontribusi,” katanya.
Sebaran SDGs Center juga masih mendominasi di Pulau Jawa. Namun, kata Rachman, pendampingannya juga dilakukan di wilayah timur dan tengah Indonesia. Di sisi lainnya, rasio peneliti di Indonesia masih 396 orang per 1 juta penduduk. Di Malaysia, rasionya 2.185 orang per 1 juta penduduk.
Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati Achmad Faqih mengatakan, tujuan SDGs belum tercapai di tingkat global dan nasional. ”Masih ada kasus stunting, kekerasan seksual, dan lainnya. Dunia semakin tidak kondusif. Ada peperangan, genosida, dan kelaparan,” tuturnya.
Oleh karena itu, berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, perlu bekerja sama mewujudkan capaian SDGs. Seminar internasional, yang mengumpulkan lebih dari 100 tulisan penelitian, Kamis siang, menjadi salah satu kontribusi kampus untuk SDGs.
”Sebelum ini, kami sudah memberikan beasiswa kepada masyarakat tidak mampu. Ini bentuk upaya kami menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas demi SDGs,” kata Faqih.
Salut Muhidin menilai, perguruan tinggi perlu meningkatkan koordinasi dengan industri, termasuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Misalnya, kampus mengembangkan kualitas pekerja dan berinovasi. Sebaliknya, industri menciptakan kesempatan kerja bagi lulusan kampus.
Namun, kampus dan industri harus bertemu untuk mengetahui kebutuhannya. ”Pembangunan berkelanjutan ini merupakan proses yang dinamis, tidak terpaku pada satu bidang saja. Oleh karena itu, perlu kolaborasi antarpemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi,” katanya.