Banjir di Kalimantan Tengah terjadi setiap tahun. Biasanya, banjir bermula dari wilayah hulu, lalu tiba di hilir.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Banjir di Kalimantan Tengah berpotensi meluas seiring tingginya curah hujan pada awal tahun. Setidaknya 1.935 orang terdampak banjir yang hampir setiap tahun datang.
Banjir sudah hampir seminggu melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Tengah. Di Kabupaten Lamandau, banjir melanda di tiga desa dari sebelumnya hanya satu desa. Tiga desa itu meliputi Desa Sungai Mentawa, Desa Bunut, dan Desa Kujan.
Fahrul Raji, warga di Desa Sungai Mentawa, Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau, mengatakan, air Sungai Batang Kawa meluap hingga menutupi sejumlah ruas jalan di desa-desa. Sampai saat ini debit air belum turun. ”Ketinggian air banjir masih sama sejak dua hari lalu,” ujarnya saat dihubungi dari Palangkaraya, Rabu (10/1/2024).
Ketinggian air, ungkap Raji, mencapai 45 sentimeter. Luapan sungai itu selalu masuk ke jalan setiap hujan turun.
Tak hanya di Lamandau, banjir juga melanda di tiga kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Murung Raya, Barito Selatan, dan Sukamara. Dari data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng, total terdapat 23 desa yang terendam banjir. Rinciannya, 7 desa di Kabupaten Barito Selatan, 5 desa di Kabupaten Murung Raya, 10 desa di Kabupaten Sukamara, dan 1 desa di Kabupaten Lamandau.
Dari total 23 desa itu, 590 keluarga terdampak banjir dengan total 1.935 orang. Dari sumber data yang sama, banjir juga berdampak ke fasilitas umum. Terdapat satu fasilitas kesehatan terendam banjir, lalu lima tempat ibadah, empat sekolah, tiga gedung pemerintahan desa, dan 13 titik ruas jalan juga terendam banjir.
BPBPK mencatat bangunan fasilitas umum dan rumah warga yang terdampak mencapai 572 bangunan. Jumlah itu masih data sementara karena petugas di lapangan masih terus melakukan penghitungan.
Kepala Pelaksana BPBPK Provinsi Kalteng Ahmad Toyib menjelaskan, ketinggian air paling tinggi mencapai 90 sentimeter dan berpotensi meluas dan meningkat tergantung curah hujan. Banjir di Kalimantan Tengah, menurut dia, terjadi akibat luapan sungai-sungai.
Warga terdampak, lanjut Toyib, lantaran sebagian besar permukiman berada di pinggir sungai. Meskipun demikian, pihak provinsi belum memberikan bantuan ke kabupaten karena penanganan masih bisa dilakukan badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) masing-masing wilayah.
”Sampai saat ini belum dibangun posko karena memang belum ada yang mengungsi. Warga masih bertahan di rumah masing-masing,” katanya.
Wilayah yang terendam banjir, kata Toyib, merupakan wilayah hulu di Kalimantan Tengah. Menurut dia, banjir selalu dimulai dari wilayah-wilayah hulu sungai lalu debit air besar dari hulu sungai akan berpindah ke bagian hilir. Perpindahan debit air itu, biasanya, selalu mendatangkan banjir cukup besar di wilayah hilir, seperti Kabupaten Katingan, Kapuas, bahkan Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng.
Banjir terjadi bukan hanya karena hujan, melainkan ada banyak faktor.
Toyib menambahkan, pihaknya berkoordinasi dengan petugas di Stasiun Meteorologi Palangkaraya dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kalteng.
”Potensi (banjir) meluas tentu ada, tetapi kami berharap dan berdoa semoga tidak terjadi. Kami juga terus memantau dari BMKG terkait cuacanya,” kata Toyib.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Kelas I Tjilik Riwut, Chandra Mukti Wijaya, menjelaskan, pembentukan awan hujan didukung oleh banyaknya uap air di suatu wilayah, yang biasanya berasal dari wilayah sungai, rawa, danau, dan lainnya. Kondisi kelembaban wilayah yang cukup basah, ditambah labilitas udara yang cenderung tidak stabil, bisa memenuhi kondisi proses pembentukan awan di suatu wilayah, termasuk di wilayah hulu.
Walakin, kata Chandra, kejadian serupa bisa terjadi di wilayah hilir meski dengan intensitas yang berbeda dengan wilayah hulu. Di Kalimantan Tengah, curah hujan juga dipengaruhi banyak faktor, salah satunya fenomena Madden Julian Oscillation (MJO) yang berdampak pada bertambahnya intensitas atau proses pembentukan awan yang semakin intens.
”Banjir terjadi bukan hanya karena hujan, melainkan ada banyak faktor. Hujan yang jatuh lalu mengalir, ada juga yang meresap ke permukaan tanah. Akan tetapi, apabila tanah sudah jenuh dan volume sungai sudah tidak mampu lagi menampung air hujan, tentu banjir akan terjadi,” jelas Chandra.