Potensi Kopi di Wilayah Selatan Gunung Rinjani Belum Tergarap Optimal
Pengembangan kopi di wilayah selatan Gunung Rinjani, Lombok, masih menghadapi sejumlah masalah.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki potensi besar untuk pengembangan kopi. Namun, selama ini kopi di Lombok identik dengan kopi yang berasal dari perkebunan di sisi utara Gunung Rinjani. Sementara itu, potensi kopi di wilayah selatan Rinjani belum tergarap optimal.
Kondisi itu terungkap dalam kegiatan Eksplorasi Kopi Selatan Taman Nasional Gunung Rinjani oleh tim Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram (FMIPA-Unram) pada Juli-Oktober 2023. Eksplorasi oleh mahasiswa Program Studi Kimia FMIPA-Unram itu merupakan proyek mandiri dalam rangka Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Sudirman, dosen pembimbing lapangan proyek tersebut, saat ditemui di Mataram, Selasa (9/1/2024), mengatakan, eksplorasi dilakukan di 37 desa di selatan Gunung Rinjani. Desa-desa itu tersebar mulai dari Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat.
Eksplorasi dilakukan dengan pemetaan lokasi perkebunan, wawancara petani kopi, hingga identifikasi masalah. Data yang didapatkan kemudian diolah menjadi peta lokasi perkebunan kopi, jurnal ilmiah, dan buku. Tim juga membuat diversifikasi produk kopi, misalnya sabun, sirop kopi, dan minyak esensial kopi.
Sekitar 98 persen kebun kopi di wilayah selatan Gunung Rinjani ditanami kopi robusta. Perkebunan kopi terluas berada di wilayah Sapit, Lombok Timur, yakni hingga 30 hektar. Sementara itu, pohon kopi terbanyak berada di Wajageseng, Lombok Tengah, yakni sekitar 5.000 batang.
Adapun di wilayah utara Rinjani, kopi Sembalun termasuk yang populer di kalangan pencinta kopi, baik di NTB maupun nasional. Setiap menyebut kopi Lombok, asosiasi orang biasanya langsung tertuju ke kopi arabika Sembalun.
Sudirman menjelaskan, dari 37 desa di selatan Gunung Rinjani yang dikunjungi tim, perkebunan kopi masih bisa ditemukan di 28 desa. Sementara itu, di sembilan desa lainnya sudah tidak ditemukan perkebunan kopi, seperti Desa Toya, Aik Perapa, Pengadangan Barat, Aik Dewa, Karang Baru, Tete Batu, dan Kembang Kerang Daya di Lombok Timur serta Desa Sedau di Lombok Barat.
”Selain karena hama penggerek batang, ada tren di masyarakat ketika kopi sudah tidak memberi keuntungan, mereka tidak segan menebang dan menggantinya dengan tanaman lain,” kata Sudirman.
Tim eksplorasi juga menemukan sejumlah masalah pada desa yang masih memiliki perkebunan kopi. ”Masalah itu, seperti petani yang tidak teredukasi dengan baik. Berbeda dengan kawasan utara Rinjani yang sudah menyadari bagaimana menjaga kualitas kopi,” kata Sudirman.
Sudirman mencontohkan, saat panen, petani kopi di wilayah selatan Rinjani masih banyak yang panen sekaligus atau langsung habis. ”Kalau di utara, sudah paham petik merah. Kalau hari ini ada sepuluh biji yang merah, ya petiknya itu saja,” ujarnya.
Selain itu, masalah ditemukan pada proses pascapanen. Walaupun di selatan Rinjani sudah ada proses pascapanen, seperti fermentasi dan honey, tetapi pengolahan pascapanen masih terbatas.
”Yang sudah mengenal proses pengolahan pascapanen biasanya hanya pada petani yang juga pegiat kopi. Pengetahuan soal itu belum merata,” kata Sudirman.
Petani di wilayah selatan Rinjani juga terkendala pasar. Sudirman menyebut, para petani kopi yang tergabung dalam kelompok tani memang masih bisa mengakses pasar. ”Sementara bagi yang tidak tergabung dalam kelompok, bayangan mereka kopi dibikin dalam bentuk bubuk, lalu dijual kiloan,” katanya.
Petani sekaligus penggiat kopi di Beriri Jarak, Wanasaba, Lombok Timur, Sopian Hadi (34), mengatakan, saat ini kopi di selatan Rinjani bersaing dengan komoditas lain, seperti avokad dan durian. ”Kopi diibaratkan perkebunan nomor dua setelah avokad dan lainnya,” katanya.
Kondisi itu, kata Sopian, tidak lepas dari kemudahan masyarakat mendapatkan bibit avokad atau durian. Sementara itu, bibit kopi masih sangat terbatas. Jika pun ada yang menjual, harganya masih mahal.
”Sementara masalah edukasi, petani kan banyak yang bermitra. Jadi, lewat pengepul, edukasi terutama soal panen, seperti petik merah, terus dilakukan,” kata Sopian.
Kopi diibaratkan perkebunan nomor dua setelah avokad dan lainnya.
Anggaran terbatas
Menurut data NTB Satu Data, perkebunan kopi di NTB tersebar di Pulau Lombok dan Sumbawa. Kopi asal NTB terdiri dari kopi arabika dan robusta.
Pada 2022, luas panen kopi robusta di NTB mencapai 8.380 hektar dengan total produksi 5.467 ton. Sementara itu, produksi arabika sebanyak 917 ton pada luas panen 1.013 hektar.
Khusus di Lombok, produksi kopi robusta pada 2022 mencapai 2.167 ton. Perkebunan kopi robusta banyak tersebar di selatan Rinjani, sedangkan arabika yang hanya berada di Lombok Timur mencapai 610 ton.
”Melihat besarnya produksi robusta, maka harusnya fokus (pengembangan kopi Lombok) ke sana. Tentu dengan meningkatkan kualitasnya, baik kebun maupun petaninya,” kata Sudirman.
Sopian menambahkan, selain bibit, akses terhadap pupuk juga menjadi kendala bagi para petani kopi.
”Selama ini, pupuk, terutama pupuk subsidi, lebih banyak menyasar petani sawah atau palawija. Sementara perkebunan kopi kadang tidak dapat. Padahal, kebutuhannya tidak banyak. Jadi, harus kami siasati dengan membeli pupuk nonsubsidi dan dicampur dengan kotoran hewan,” kata Sopian.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB H Acmad Rifai mengakui, potensi kopi di wilayah selatan Rinjani masih luas. Meski demikian, pengembangan produk kopi di selatan Rinjani masih terkendala anggaran yang terbatas.
Menurut Rifai, saat ini pengembangan komoditas kopi hanya mendapat anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, masih ada kendala keterbatasan bibit karena harus didatangkan dari luar NTB.
”Di Sapit, Lombok Timur, memang ada yang membibitkan sendiri. Tetapi, secara teknis, kita tidak bisa. Oleh karena itu, kami bersama Balai Sertifikasi Benih sedang merancang kebun induk kopi,” kata Rifai.