Kematian Gajah di Bentang Alam Seblat Diduga akibat Peluru Tajam
Aparat harus tegas menyikapi hal ini. Sejak 2018, lima gajah mati di lanskap Bentang Alam Seblat, Bengkulu.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
BENGKULU, KOMPAS — Penyebab kematian satu gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Bentang Alam Seblat, Bengkulu, diduga akibat peluru tajam. Ditemukan lubang berukuran 15 milimeter di bawah rahang yang tembus hingga tulang dahi atau os frontalis. Hingga Selasa (9/1/2024), belum ada langkah hukum tegas terkait kejadian ini.
Sebelumnya, gajah berusia sekitar 20 tahun itu dilaporkan mati pada 31 Desember 2023. Tim lapangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu lantas memeriksa bangkai gajah betina pada 3 Januari 2024. Diduga gajah itu mati sepekan sebelumnya.
”Hasil temuan ini sudah dilaporkan ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK),” kata Kepala Satuan Polisi Hutan BKSDA Bengkulu Pirmansyah, Selasa.
Selain itu, sepasang caling atau gigi yang menonjol pada gajah itu juga hilang. Diyakini, caling itu diambil paksa. Buktinya adalah bekas luka tersisa pada tulang rahang yang pecah di sekitar tempat menempelnya caling. Bahkan, di lokasi kejadian juga ditemukan indikasi perburuan satwa. Itu dibuktikan dengan keberadaan jerat dari sling baja.
Ironisnya, lokasi gajah mati tidak jauh dari area pengangkutan hasil kayu (logging) di dalam Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I Kabupaten Muko-muko. Kawasan itu merupakan areal konsesi hak pemanfaatan hasil hutan kayu salah satu perusahaan.
Meski ada sejumlah alat bukti, Pirmansyah mengatakan, pihaknya belum bisa mengambil langkah hukum tegas. Hingga kini, belum ada penyelidikan lebih lanjut. Pengambilan keterangan dari perusahaan pemegang konsesi wilayah yang menjadi lokasi kematian gajah juga belum dilakukan.
”Kami masih menunggu hasil uji laboratorium. Hasilnya masih akan dikoordinasikan dengan Ditjen Gakkum KLHK,” ujarnya.
Sampel yang telah dikirim ke laboratorium berupa usus, lambung beserta isinya, dan limpa.
Pelaku bukan petani gurem, bukan orang miskin. Ada alat-alat berat yang berarti melibatkan pemodal besar untuk buka hutan menjadi kebun sawit.
Ketua Kanopi Hijau Indonesia sekaligus Penanggung Jawab Konsorsium Bentang Seblat, Ali Akbar, mendorong aparat lebih serius menyikapi kejadian ini. Ia khawatir, tanpa ketegasan, peristiwa yang sama akan terus terjadi. Sejak 2018, lima gajah mati di lanskap yang sama.
Menurut Ali, hingga 10 tahun lalu, 100-120 gajah menjelajah dalam habitat itu. Namun, jumlahnya berpotensi berkurang. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat 201 kasus perusakan hutan dan kejahatan terhadap satwa.
Mayoritas praktik kejahatan lingkungan itu, kata Ali, diduga melibatkan spekulan dan pemodal yang memanfaatkan pemanfaatan lahan untuk monokultur dalam hutan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat itu.
”Pelaku bukan petani gurem, bukan orang miskin. Ada alat-alat berat yang berarti melibatkan pemodal besar untuk buka hutan menjadi kebun sawit,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Genesis Egi Saputra, dalam keterangan tertulis di laman gajah.id, menambahkan, kawanan gajah di lanskap itu kini hidup semakin terdesak. Buktinya, gajah mati ditemukan di jalur konektivitas Taman Wisata Alam Seblat dan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Berdasarkan analisis konsorsium periode 2023, dari 80.978 hektar total luas kawasan Bentang Alam Seblat, tutupan hutannya tinggal 49.700 hektar atau 61,5 persen. Sebanyak 31.278 ha atau 38,5 persen lainnya disebut tidak lagi berhutan.
Kehilangan hutan sesuai analisis tiga tahun terakhir, tutupan hutan di bentang alam itu hilang 8.800 ha. Sebanyak 5.600 ha di antaranya telah berubah menjadi kebun sawit.