Pertanian yang Digempur Tambang di Morowali
Maraknya tambang dan industri nikel membuat pertanian tersisih di Morowali. Nyatanya pembangunan itu tak mampu menekan angka kemiskinan.
”Mau cari sawah di sini? Tidak ada. Kalau tambang banyak. Dulu ada padi ladang. Sekarang lahannya sudah jadi tambang,” kata Hayani (50), warga Desa Tangofa, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah, Jumat (29/12/2023).
Hardin (60), warga lainnya, mengamini Hayani. Tahun 90-an saat datang ke Bungku Pesisir dari Buton, Sulawesi Tenggara, dia mengurus kelapa dalam. Bungku Pesisir saat itu adalah salah satu penghasil kopra terbesar, selain mete dan pala.
”Sekarang tidak ada yang mau urus kebun. Anak-anak muda lebih memilih bekerja di tambang atau pabrik nikel. Kami orang-orang tua sudah tidak kuat berkebun. Sudah tidak ada yang bikin kopra. Itu kelapa di kebun tinggal ditendang-tendang, sudah diratakan untuk tambang,” katanya.
Kini sebagian kebunnya telantar. Sebagian dibangun rumah indekos untuk karyawan. Dari lima kamar indekosnya yang sudah beroperasi, dia mendapatkan Rp 6.000.000, per bulan. Rumahnya yang lain juga dikontrak perusahaan dengan sewa Rp 6.000.000 per tahun.
Menyusuri Bungku, ibu kota Morowali, Bahodopi, Bungku Pesisir, hingga ke dekat perbatasan dengan Sulawesi Tenggara, memang sulit menemukan sawah. Yang ada hanyalah kawasan konsesi tambang dan industri nikel. Di antara lokasi konsesi adalah permukiman penduduk.
Bukit dan hutan di sekitar permukiman yang berada di sepanjang jalan, tampak terbuka di sana-sini akibat dikeruk. Sebagian pembukaan lahan juga untuk area permukiman sebagai dampak banyaknya pekerja dan pemilik usaha yang datang ke Morowali. Di laut, berjejer kapal yang mengangkut material.
Baca juga: Mengejar Mimpi ke Morowali
Hal sama juga tampak jika menyusuri Bungku ke arah Morowali Utara. Di kawasan ini, selain industri dan tambang, perkebunan sawit juga mendominasi.
Jika di wilayah Bungku Pesisir dan Bahodopi hampir tak bisa lagi menemukan sawah dan kebun, di Kecamatan Bumi Raya dan Wita Ponda segelintir warga masih setia bertanam padi. Hamparan sawah masih bisa ditemui walau sudah dikepung tambang dan sawit.
Siswati (50), petani di Kecamatan Wita Ponda, masih menggarap 0,5 hektar sawah miliknya. Di luar itu, dia menyewa satu hektar sawah milik orang lain untuk digarap. Lokasi sawah ini dikepung perkebunan sawit dan kawasan tambang. Tak jauh dari situ, ada pabrik yang sedang dibangun.
”Hasilnya cukup untuk makan. Lebihnya dijual untuk keperluan lain. Tapi itu kalau tidak ada banjir,” ujarnya. Sering terjadi banjir di wilayah itu. Bahkan, pernah banjir bandang. Kalau baru menanam dan datang banjir, pastilah padinya rusak dan petani harus menanam ulang.
Hal sama dikatakan Rusmi (55), pemilik sawah sekaligus penggilingan padi di Kecamatan Bumi Raya. Dia mengaku beberapa tahun terakhir, penggilingan padinya tak lagi banyak beroperasi.
Kalau dulu, sekali panen bisa sampai 2.500 karung gabah milik petani yang digiling di tempatnya. Kalau sekarang, paling banyak 1.500 karung. Biasanya malahan kurang dari itu. ”Saya tetap mempertahankan sawah dan penggilingan saya walau banyak pemilik penggilingan lain sudah tutup,” katanya.
Baca juga: Kala Pertanian Kalah Pamor oleh Tambang
Pertanian terpinggirkan
Keberadaan lahan konsesi tambang dan industri nikel serta perkebunan sawit di Morowali dan Morowali Utara beberapa tahun terakhir makin besar. Membuat sektor pertanian dan perikanan kian terpinggirkan.
Lebih mudah menjumpai anak-anak muda yang berlalu lalang mengendarai kendaran roda dua di jalan-jalan dengan mengenakan seragam dan atribut perusahaan ketimbang di sawah atau kebun. Bagi banyak anak muda, menjadi karyawan lebih menggiurkan. Tampak lebih mentereng ketimbang jadi petani.
”Kerja di perusahaan gajinya jelas per bulan atau per minggu. Kalau di sawah, harus menunggu tiga bulan untuk panen. Hasilnya juga tidak seberapa,” kata Abdul Rahman (30), warga Wita Ponda.
Beberapa waktu lalu, akademisi Universitas Tadulako, Ahlis Djirimu, mengatakan, maraknya aktivitas pertambangan tidak hanya berpotensi menimbulkan konflik sosial dan lingkungan, tetapi juga membuat pertanian ditinggalkan.
Selain itu, bisa meruntuhkan pranata sosial. Masyarakat yang tadinya berorientasi pertanian dan perkebunan berubah menjadi pasir, batu, nikel. ”Perubahan paradigma ini membuat masyarakat lupa bahwa dampaknya bisa menyebabkan runtuhnya pranata sosial. Masyarakat yang tadinya bertani atau jadi nelayan memilih bekerja di tambang. Padahal rata-rata masa kerja atau bertahan mereka di tambang paling lama 10 tahun,” katanya.
Dia mengatakan saat anak-anak muda bekerja di tambang, kebun dan sawah ditinggalkan. ”Yang mereka ingat di tambang setiap minggu gajian. Saat berhenti bekerja atau tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan, lahan pertanian sudah telanjur telantar dan mereka sudah malas kembali berkebun karena sudah tak terbiasa,” tambahnya.
Yang mereka ingat di tambang setiap minggu gajian. Saat berhenti bekerja atau tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan, lahan pertanian sudah terlanjur telantar dan mereka sudah malas kembali berkebun karena sudah tak terbiasa.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Pemprov Sulteng memasukkan pertanian, perkebunan, dan perikanan dalam urutan ke empat dari empat program prioritas.
Berdasarkan data Pemprov Sulteng, terdapat 364.758 hektar lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta tanaman pangan dan hortikultura. Adapun sayuran sebesar 45.717 hektar dan buah-buahan 54.828 hektar.
Baca juga: Morowali, Magnet Pencari Kerja
Terkait minimnya minat ke sektor pertanian, data BPS Sulteng ini bisa jadi gambaran. Beberapa tahun terakhir luas tanam dan produksi padi menurun. Sebagai gambaran, pada tahun 2021, luas panen Sulteng 182.186 hektar. Pada tahun 2022 berkurang menjadi 168.993 hektar.
Hal sama terjadi di Morowali yang pada 2021 luas panennya 8.796 hektar dan pada 2022 mencapai 8.308 hektar. Di Morowali Utara juga sama. Pada 2021 luasnya 7.323 hektar dan 2022 mencapai 6.236 hektar. Dengan luas panen yang berkurang, tentu saja produksi juga jauh berkurang.
Kemiskinan
Sebelumnya, Kepala Bappeda Sulteng Christina Shandra Tobondo mengatakan, sejauh ini kontribusi pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi memang cukup tinggi. Industri yang berbasis bahan tambang menyumbang 8,64 persen pada pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Sulteng pada 2022 sebesar lebih dari 15 persen.
Fakta lain adalah angka kemiskinan meningkat walau pertumbuhan ekonomi tinggi. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Sulteng pada Maret 2023 sebesar 395.660 orang atau bertambah 5.950 orang dibanding pada September 2022. Angka ini juga menunjukkan penambahan 7.310 orang terhadap Maret 2022.
Baca juga: Saat Tambang Belum Mampu Tekan Angka Kemiskinan di Sulteng
Salah satu faktor meningkatnya angka kemiskinan adalah tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2023 yang berada di angka 3,49 persen. Jumlah ini meningkat dibanding Agustus 2022 sebesar 3 persen. Di tengah tren meningkatnya penduduk usia kerja, nyatanya tidak banyak yang terserap di sektor lapangan usaha. Di sisi lain, Sulteng, terutama Morowali, mengalami pertambahan penduduk.
Jumlah penduduk Sulteng pada tahun 2022 sebanyak 3.066.143 jiwa atau meningkat 44.264 jiwa dibanding tahun 2021. Pertambahan penduduk terbanyak terdapat di Kabupaten Morowali, yakni 8.334 jiwa (18,83 persen).
”Sebenarnya Pemprov Sulteng sudah melakukan upaya pemulihan ekonomi. Penguatan sektor UMKM di perkotaan telah memberikan dampak perbaikan yang ditandai menurunnya angka kemiskinan di kawasan perkotaan, yakni dari 9,13 persen pada September 2022 menjadi 8,90 persen pada Maret 2023,” kata Christina.
Indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan, tambah Christina, dari 1,81 persen pada September 2022 turun menjadi 1,54 persen pada Maret 2023. Sayangnya Intervensi kebijakan penguatan sektor UMKM yang sebagian besar berada di perkotaan ini tidak serta merta mampu menarik atau mendorong percepatan produktivitas sumber daya yang terdapat di kawasan perdesaan.
Dengan kata lain, masyarakat perdesaan tidak memperoleh manfaat sepenuhnya khususnya peningkatan pendapatan riil. Akibatnya, tingkat kemiskinan di kawasan perdesaan cenderung meningkat, yakni dari 13,79 persen pada September 2022 menjadi 14,09 persen pada Maret 2023. Indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan juga cenderung naik, yakni dari 2,29 persen pada September 2022 menjadi 2,40 persen pada Maret 2023.
Morowali menjadi pusat industri tambang tapi kemiskinannya masih tinggi.
Menurut Ahlis Djirimu, keberadaan tambang dan industri nikel di Sulteng, terutama Morowali, tidak hanya membuat pertanian tersisih, tetapi juga menciptakan jurang kemiskinan.
Morowali menjadi pusat industri tambang tapi kemiskinannya masih tinggi. Begitu juga pengangguran. Hal itu disebabkan yang mendorong lapangan pekerjaan bukan padat karya, tetapi padat modal yakni industri .
Angka IPM yang tahun lalu di atas 70, menurut Ahlis, itu semu karena lebih banyak hanya dipengaruhi oleh paritas daya beli. ”Angka IPM ini mendapat dorongan positif dari Morowali karena tahun 2022 pendapatan per kapitanya mencapai Rp 500 juta. Lalu Morowali Utara Rp 100 juta,” katanya.
Keberadaan perusahaan tambang dan industri nikel yang membuat sektor pertanian dan perikanan terpinggirkan nyatanya memang tak menjadi solusi pengurangan angka kemiskinan maupun pengangguran. Di tengah minimnya minat anak-anak muda pada pertanian, toh tak semua bisa terserap pada sektor pertambangan.
Baca juga: Investasi Pabrik Nikel Belum “Menetes” pada Warga Lokal
Sementara keberadaan industri dan pertambahan penduduk justru membuat harga kebutuhan pokok menjadi cukup tinggi di Morowali. Berbagai kebutuhan pokok seperti beras, lebih banyak didatangkan dari luar ketimbang diproduksi sendiri. Potret ironi semakin nyata tatkala ketahanan pangan lokal tergusur proyek-proyek tambang.