Penyelenggaraan Ilahi membuat rohaniwan dan budayawan Gabriel Possenti Sindhunata SJ menjalani 40 tahun imamat dan 52 tahun sebagai Jesuit.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
BATU, KOMPAS — Rohaniwan dan budayawan Gabriel Possenti Sindhunata SJ merayakan 40 Tahun Imamat dan 52 Tahun Menjadi Jesuit dalam misa syukur yang dihadiri sekitar 1.000 umat di Gereja Gembala Baik, Batu, Jawa Timur, Minggu (31/12/2023).
Romo Sindhu, demikian panggilan akrabnya, putra kelahiran Batu pada 12 Mei 1952 dari pasangan Ignatius Subianto dan Claudia Suniningsih. Ia memimpin misa syukur didampingi tiga imam selebran yang juga berasal dari Batu. Misa syukur berlangsung dalam bahasa Latin, terutama nyanyian-nyanyian Gregorian nostalgia yang mengingatkannya saat tahbisan imamat di Yogyakarta empat dekade silam atau 30 Desember 1983.
Sindhunata menjalani masa kecil di Tansar (Wetan Pasar) Desa Sisir yang kemudian pindah pada 1979 ke Kampung Hendrik atau RW 10 Desa Ngaglik. Masa pendidikan dasar dan menengah pertama dijalani di Sekolah Rakyat Santo Yosef dan SMP Katolik Widyatama di Batu.
Sindhunata memulai masa panggilan rohani dengan menjalani pendidikan empat tahun di Seminari Marianum saat masih berada di Lawang (Malang). Pendidikannya berlanjut ke Novisiat SJ Provinsi Indonesia di Semarang, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, Seminari Tinggi Santo Paulus di Kentungan (Yogyakarta), dan menyelesaikan studi doktoral di Sekolah Filsafat Muenchen (Jerman).
Penulis novel sastra Anak Bajang Menggiring Angin (1983) dan Anak Bajang Mengayun Bulan (2022) ini ditahbiskan sebagai imam Jesuit di Yogyakarta dan bertugas sebagai Pastor Paroki Santa Maria Assumpta, Pakem (Sleman). ”Di Pakem selama tiga tahun itulah masa saya mengalami kedekatan dengan umat sebagai pastor paroki,” ujarnya dalam homili atau khotbah.
”Perjalanan panggilan saya dihabiskan di luar gereja dan keparokian sebagai wartawan, seniman, budayawan, dan banyak hidup di jalanan,” kata wartawan harian Kompas sejak 1977 dengan inisial SINDHU itu.
Romo Sindhu melanjutkan, 56 tahun menjalani masa panggilan yang diwarnai gejolak dan pergulatan batin sejak remaja hingga kini berusia hampir 72 tahun. ”Panggilan ini tak mungkin bertahan tanpa kasih-Nya, bimbingan-Nya, pertolongan-Nya, pengampunan-Nya,” kata penerima Pers Card Number One, Penghargaan Penggagas Bentara Budaya, Anugerah Budaya Seniman Sastra, Deo Gratias Award, Penghargaan Ikon Prestasi Pancasila, serta Anugerah Sastrawan dan Budayawan Peranakan Tionghoa.
Sindhunata melanjutkan, sebagai manusia lemah dan pendosa tentu tidak dapat selalu menanggapi panggilan Allah dengan baik. Ia terus merasa tidak layak dan bergulat meski sudah menjadi imam selama 40 tahun. Kehidupannya penuh rasa heran karena Allah rela menderita dan disebutnya menerima tertusuk duri-duri kehidupannya secara diam-diam. ”Bukan karena saya layak dan suci untuk menjadi imam, melainkan Dia yang amat mencintai saya,” ujarnya.
Saya berterima kasih dan mohon doa agar di masa senja hidup saya dapat memberi damai dan tenang.
Romo Sindhu merefleksikan panggilan hidupnya yang penuh keheranan akan Allah itu dalam puisi ”Duri-duriku” dalam buku Air Kata-kata. ”Kubiarkan duri-duri itu, tumbuh dalam pelataran hatiku/ Supaya bila KAU datang, terdengar jerit kesakitan-Mu, dan aku bisa lari menjauhi-Mu/Tapi KAU datang tanpa alas kaki/Derap langkah-Mu lemah, lemah, lemah, tak terdengar olehku suara-Mu/Aku menjerit/Tiba-tiba KAU datang di hadapanku/Tuhanku KAU datang tanpa aku mau, dan sudah berdarah telapak kaki-Mu, tertusuk duri-duriku/Tuhan mengapa kau masuk pelataranku/...” katanya berpuisi.
Sindhunata melanjutkan, dalam perjalanan karier sebagai wartawan, seniman, dan budayawan seolah dibawa Allah untuk menemukan-Nya di jalanan pada kehidupan orang miskin dan terpinggirkan. Bagi Romo Sindhu, Tuhan ialah keluhan sopir angkutan yang terdesak angkutan modern, kegetiran hidup para perempuan yang dilacurkan, kerinduan para pemabuk akan kegembiraan, dan nyala kreativitas kaum ateis atau mereka yang tak percaya eksistensi Allah.
”Saya berterima kasih dan mohon doa agar di masa senja hidup saya dapat memberi damai dan tenang,” kata Romo Sindhu dengan moto kita berteman sudah lama dan falsafah urip iki endi sing ana atau hidup ini adalah apa yang ada dan di mana yang tersedia.
Menurut Dwiyanto Setiawan dari perwakilan keluarga, Sindhunata termasuk pelopor panggilan sebagai biarawan-biarawati. Telah ada 15 pastor dan suster ditambah 2 frater atau calon imam kelahiran Batu dalam wilayah Paroki Gembala Baik (sebelumnya Paroki Santo Simon Stock). ”Semoga Batu tetap menjadi ladang yang subur bagi panggilan rohani umat Katolik,” ujarnya dalam sambutan di akhir misa.
Dalam ramah tamah seusai misa, Hendrik Sugianto alias Cak Su selaku Ketua RW 10 (Kampung Hendrik) mengatakan, begitu bangga karena Romo Sindhu turut mengharumkan nama permukiman padat penduduk itu. Keluarga Romo Sindhu terus terlibat dalam pembangunan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama.
”Kami begitu bangga dengan Romo Sindhu dan amat menghormati perjalanan hidupnya. Benarlah moto Romo Sindhu bahwa kita berteman sudah lama sehingga harus terus memelihara kerukunan,” kata Cak Su yang bersama kalangan warga RW 10 kemudian memberikan anugerah kepada Sindhunata.