Rindu Tuntas Terbayar Berkat Trans-Kalimantan
Jalur Trans-Kalimantan membantu menuntaskan rindu yang dulunya harus menempuh perjalanan sulit dan memakan waktu lama.
Sebagian warga Kota Pontianak, Kalimantan Barat, kini dimudahkan menuntaskan rindu saat Natal tiba. Keberadaan Trans-Kalimantan memotong waktu dan tenaga untuk sampai ke kampung halaman.
Minggu (24/12/2023) pagi, Dorotheus (7) sudah tidak sabar melakukan perjalanan panjang. Dia bangun lebih awal ketimbang kedua orangtuanya.
”Ayo bangun. Kita berangkat,” ujar Dorotheus kepada kedua orangtuanya di rumahnya di Kelurahan Saigon, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Hari itu, Dorotheus akan mudik menuju Desa Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalbar, untuk merayakan Natal bersama keluarga besar. Dia dan orangtuanya akan melintasi Jalan Trans-Kalimantan. Jaraknya sekitar 100 kilometer atau ditempuh dalam tiga jam perjalanan.
Baca juga: Menuntaskan Konektivitas di Trans-Kalimantan
Severianus (45) dan Yuliana (41), orangtua Dorotheus, bukan tanpa persiapan. Sejak seminggu lalu, mereka tahu anaknya sangat antusias melakukan perjalanan panjang menyambut Natal.
Oleh-oleh lapis legit dan peyek sudah disiapkan Yuliana. Sepeda motor juga sudah dipastikan siap menempuh perjalanan.
”Nanti tengok-tengok rumah kami, ya,” ujar Yuliana kepada tetangganya sembari berpamitan untuk mudik ke kampung.
Severianus mengatakan, sepeda motor dipilih karena mereka ingin menikmati suasana di perjalanan. Apalagi, jalan yang bakal dilintasi terbilang mulus. Tempat istirahat pun bertebaran di berbagai titik.
”Kami bakal mengunjungi keluarga besar saya dan istri. Kami juga akan ziarah di makam ayah dan keluarga kami lainnya,” ujar Severianus.
Donatus (47), warga perantauan asal Dusun Angan Tembawang, Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, Kalbar, juga mudik untuk merayakan Natal. Dari rumahnya di Desa Pal IX, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, dia menggunakan mobil pribadi bersama anak dan istrinya menempuh jarak 100 km menuju Jelimpo. Hanya butuh waktu tiga jam bagi Donatus agar bisa bertemu keluarga besarnya.
Agar lebih afdal, dia membawa kue bolu dari Pontianak dan beberapa kilogram daging sapi yang sulit didapatkan di kampungnya.
”Di Jelimpo sulit mendapatkan daging sapi. Daging ini untuk makan bersama saat Natal,” kata Donatus yang bekerja di perusahaan media di Pontianak.
Seperti Severianus, Donatus juga bakal melintasi Trans-Kalimantan. Donatus ke arah timur. Sementara Severianus melintasi koridor selatan membentang dari Pontianak, melintasi sebagian daerah Kabupaten Kubu Raya, Sanggau, dan Kabupaten Ketapang hingga ke Kalimantan Tengah sejauh 626,76 km.
Saya pernah tertimpa drum di bak truk karena jalan berlumpur membuat truk oleng ke sana kemari. Setiap mudik, kami bertaruh nyawa.
Trans-Kalimantan awalnya dibuka dengan alat berat pada 1990-an. Sebelumnya, banyak ruas jalan hanya berukuran beberapa meter dengan dominasi tanah. Baru pada 2009, Trans-Kalimantan diaspal membuat perjalanan melintasinya lebih nyaman.
Tanpa butuh waktu lama, Trans-Kalimantan menjadi magnet. Pertumbuhan ekonomi menjamur. Ruko-ruko dan warung tampak di banyak lokasi. Destinasi wisata pun tampak mulai tumbuh beberapa tahun terakhir di jalur tersebut yang kerap menjadi persinggahan.
”Mungkin yang kurang dari Trans-Kalimantan sekarang adalah SPBU. Kalau lebih banyak, kami tidak perlu waswas kehabisan bahan bakar di perjalanan,” kata Severianus.
Baca juga: Geliat dari Pinggiran Trans-Kalimantan
Jalur Trans-Kalimantan pun kian lancar tatkala dibangun Jembatan Pak Kasih yang membentang 1,65 km di atas Sungai Kapuas menghubungkan daerah Kabupaten Sanggau menuju Kabupaten Ketapang hingga Kalimantan Tengah. Jembatan itu dibangun pada 2011 dan diresmikan pada 2016.
Sebelum ada Jembatan Pak Kasih pelintas harus menyeberang menggunakan feri. Pada masa itu antrean bisa berjam-jam karena semua kendaraan antre melalui jalur itu, baik bus, mobil travel, maupun kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor.
Zaman berbeda
Severianus masih ingat masa-masa Trans-Kalimantan belum dibuat. Salah satu momen yang dia ingat saat masih kuliah di Yogyakarta sekitar 24 tahun lalu.
Jika sekarang cukup menggunakan sepeda motor selama tiga jam di jalan mulus, dulu Severianus menempuh sekitar 50 jam di atas bus hingga naik kapal hanya untuk melepas rindu ketika Natal.
Dari Yogyakarta, dia memilih bus ke Semarang untuk naik kapal menuju Pontianak. Waktu tempuhnya minimal 36 jam. Perjalanan lalu dilanjutkan jalur darat menuju Simpang Hulu.
Akan tetapi, kondisinya tidak seperti sekarang. Jalannya masih berupa jalan tanah dan sulit dilalui.
Oleh karena itu, demi menghemat waktu, dia pilih naik motor air pengangkut kayu menyusuri anak Sungai Kapuas selama satu malam menuju Bantil Dalam, salah satu kampung di Simpang Hulu. Ongkosnya Rp 60.000-Rp 70.000 per orang.
”Saya naik motor air bersama pekerja kayu. Ketemu buaya di sungai sudah biasa,” katanya.
Tiba di Bantil Dalam, perjalanan belum usai. Dia harus menumpang truk menuju rumahnya di Balai Berkuak, ibu kota Kecamatan Simpang Hulu, selama 3-4 jam.
”Saya pernah tertimpa drum di bak truk karena jalan berlumpur membuat truk oleng ke sana kemari. Setiap mudik, kami bertaruh nyawa,” katanya.
Donatus juga memiliki pengalaman yang hampir sama saat pulang Natal di masa lalu. Pada 1990-an saat mudik Natal dari Kota Pontianak menuju Anggan Tembawang, ia hanya bisa menggunakan bus menuju pusat Kecamatan Jelimpo. Jaraknya sekitar 200 km dari Kota Pontianak.
Dari sana, ia harus berjalan kaki 12 km menuju kampungnya. Saat itu, jalan masih rusak berat. Hanya sedikit sepeda motor yang mau melintas di sana.
”Barang-barang mesti dipikul dengan jalan kaki. Maka, dulu saat pulang jarang bawa barang banyak karena berat,” kata Donatus.
Saking sulitnya meniti jalan menuju pulang, Lahe Mering (70), warga Kota Pontianak asal Kabupaten Kapuas Hulu, sering tidak pulang kampung saat Natal pada 1970-an. Kampung halamannya 600 km dari Kota Pontianak.
Baca juga: Banjir Trans-Kalimantan Lumpuhkan Ekonomi
Jika ingin pulang kampung harus menggunakan bandong (kapal berbentuk rumah). Waktunya 1-2 minggu mengarungi Sungai Kapuas. Akhirnya ia hanya bisa menahan rindu berjumpa dengan keluarga dan menitipkan rindu dalam doa-doa.
”Kalau memaksa untuk pulang, waktu libur hanya habis dalam perjalanan. Namun, kali ini sepertinya lebih mudah karena jalannya jauh lebih baik,” katanya.
Selalu ada kisah saat bertemu orang terkasih di hari istimewa. Bagi sebagian orang Pontianak, geliat pembangunan infrastruktur di Trans-Kalimantan membuat rindu saat Natal menjadi lebih mudah tersampaikan.