Natal menjadi momen untuk pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga. Namun, bagi sejumlah orang, rindu mereka berat di ongkos.
Oleh
DAHLIA IRAWATI, KRISTIAN OKA PRASETYADI, BAYU DWI RADIUS
·4 menit baca
Siang itu, Kamis (21/12/2023), Noortje Kawonal (61) sibuk menyiapkan makanan di dapur Rumah Makan Manado Saung Immanuel, Jakarta. Di tengah aktivitasnya, pikirannya seolah terbang ke kampung halaman di Manado, Sulawesi Utara.
Sudah lima tahun, ia berjauhan dengan suaminya, Alexander Kawet (63). Suaminya pulang ke Manado setelah kehilangan pekerjaan dari sebuah perusahaan kapal pada 2020 akibat pandemi Covid-19.
Gerry (41), anak pertamanya, sudah berkeluarga dan kini tinggal di Kabupaten Minahasa, Sulut, sedangkan anak keduanya, Claudia (26), berada di Vietnam. Hanya Michelle (24), anak ketiganya, yang masih menemaninya.
Noortje dan Michelle tinggal di sebuah kamar indekos di Jakarta Timur. Mereka memilih bertahan di Jakarta agar tetap bisa menghidupi diri dan keluarganya. ”Walaupun sudah berumur, Puji Tuhan, masih ada orang percayakan kerja,” katanya.
Kedai tempatnya bekerja akan tutup pada Sabtu (23/12/2023) untuk menyongsong Natal. Sempat terpikir oleh Noortje untuk mudik ke rumah keluarga di daerah Paal Dua, Manado, untuk merayakan Natal
Akan tetapi, tiket pesawat sudah terlampau mahal. Harganya sekitar Rp 2,5 juta per orang, sedangkan tiket kapal laut Rp 850.000 per penumpang. Namun, perjalanan kapal butuh waktu lebih dari seminggu.
”Sebenarnya, ada rencana pulang. Cuma, anak ini (Michelle) pengin ikut (pulang) karena suaminya juga mau berangkat ke Lampung untuk mulai kerja di kapal. Biaya dari mana? Enggak ada, kan?” kata Noortje.
Dahulu, saat belum merantau ke Jakarta, sehari sebelum Natal, Noortje dan anak-anaknya akan berbelanja, lalu memasak bersama. Sepulang dari ibadah malam Natal, mereka akan makan bersama.
Saat hari raya Natal, mereka beribadah, lalu makan bersama di rumah keluarga besar. ”Kami masak makanan Manado, seperti ayam rica, babi tore, tinorangsak, sup brenebon, dan sate. Kangen sebenarnya, rindu. Enggak sama-sama dengan anak-anak, kan, berat,” ujarnya.
Satu-satunya penghiburan di tengah pedihnya rindu, menurut Noortje, adalah ucapan dari anaknya pada Hari Ibu. Tak ada perayaan meriah, hanya dering telepon dari anak yang kemudian mengatakan, ”Selamat Hari Ibu, Mami. Sehat selalu.” Ucapan itu kadang diiringi kiriman uang atau makanan seperti piza atau kue.
Noortje pun terus menyimpan keinginan berkumpul kembali dengan suami dan anak-anaknya saat Natal. Tetapi, dengan tingginya biaya transportasi, ia memutuskan untuk menyerahkannya kepada Tuhan saja.
”Berharap jo pa (pada) Tuhan. Mo harap pa anak-anak juga enggak bisa. Mereka juga banyak kebutuhan. Jadi, saya harus berdiri di kaki sendiri walau sulit. Saya cuma berdoa, Tuhan kasih kekuatan. Terserah bagaimana cara Tuhan nantinya (untuk mempertemukan kami kembali),” harap Noortje.
Berat di ongkos
Maria Angelica Nanus (25), perempuan asal Langke Rembong, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, juga belum bisa pulang saat Natal. Ia bertahan di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, tempatnya tinggal saat ini.
Guru di salah satu sekolah dasar di Cibinong ini belum bisa ke kampung halamannya karena terkendala ongkos. ”Natal kali ini saya tidak pulang. Sudah tiga kali Natal saya tidak pulang,” ujar Ellin, sapaannya.
Meski demikian, bulan Juni lalu, ia sempat ke pulang setelah tiga tahun merantau. Namun, saat itu bukan Natal. Berkumpul bersama keluarga kala Natal tentu saja berbeda dengan hari libur biasanya.
”Saya tidak bisa pulang lagi pada Natal ini karena kendala biaya. Ongkos pulang itu mahal,” ucapnya. Setidaknya ia harus mengantongi uang Rp 13 juta jika ingin balik ke kampung.
Untuk biaya tiket sekali jalan saja butuh Rp 2 juta per orang. Belum lagi ongkos menuju bandara, makan, dan oleh-oleh bagi saudara-saudara di sana.
”Jadi, memang harus kumpulkan uang dulu sampai banyak baru bisa pulang,” katanya. Sebagai anak sulung yang merantau ke luar pulau, Elin tentu tidak bisa hanya datang dengan tangan kosong.
Ma, maaf ya saya tidak pulang Natal ini.
Saat pergi ke rumah saudara-saudaranya, ia harus memberikan buah tangan atau bingkisan. Ia pun butuh persiapan. Apalagi, gajinya sebagai guru SD swasta kurang dari Rp 3 juta per bulan.
Itu pun biasanya terpotong untuk mengirimkan uang ke orangtua, arisan sekolah, dan lainnya. Beruntung, ia tinggal di asrama yayasan tempatnya mengajar sehingga tidak perlu membayar indekos.
”Makanya uang yang ada lebih baik saya kirim ke keluarga untuk kebutuhan harian dan kebutuhan adik saya kuliah, serta sisanya bisa untuk merayakan Natal di sana. Rindu pasti. Karena seumur hidup sebagai umat Kristiani, Natal adalah momen yang ditunggu-tunggu. Tapi mau bagaimana lagi,” ungkap Elin.
Elin berencana melepas rindu dengan menelepon keluarganya. ”’Ma, maaf ya saya tidak pulang Natal ini. Kan kemarin sudah pulang. Doakan segera bisa pulang lagi ya’. Paling saya akan bilang begitu nanti. Setidaknya tahu mereka baik-baik saja, sehat, dan kebutuhan tercukupi. Itu sudah membuat saya merasa senang,” tutur Elin.