logo Kompas.id
NusantaraLimbah Nikel Kini Kaya Manfaat...
Iklan

Limbah Nikel Kini Kaya Manfaat di Desa Kawasi

Rumah-rumah baru di kompleks Ecovillage Kawasi di Pulau Obi, dibangun dengan limbah nikel, yang lebih kuat dan murah.

Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE, ADITYA PUTRA PERDANA, RINI KUSTIASIH
· 7 menit baca
Permukiman baru yang sedang dibangun, Eco Village Kawasi, yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023). Slag nikel menjadi salah satu material yang juga digunakan untuk pembangunan Eco Village Kawasi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Permukiman baru yang sedang dibangun, Eco Village Kawasi, yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023). Slag nikel menjadi salah satu material yang juga digunakan untuk pembangunan Eco Village Kawasi.

Deretan rumah di kawasan Ecovillage Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023) siang, terlihat rapi dengan warna pastel yang teduh. Warga hari itu baru saja disibukkan dengan Festival Tari Cakalele. Di bawah terik matahari, sebagian warga menunggu hasil penjurian di kantor desa, sementara sebagian lainnya berteduh di dalam rumah masing-masing.

Sekilas tidak ada yang berbeda antara kompleks permukiman seluas 102 hektar (ha) itu dan permukiman lainnya. Namun, rumah itu ternyata dibangun bukan dari bahan material bangunan lazimnya, semisal batako atau batu bata merah. Bangunan dan jalan kompleks itu seluruhnya dibangun dari slag nikel.

Slag nikel adalah sisa hasil produksi nikel berbentuk butiran kasar menyerupai pasir. Sekalipun seperti pasir, slag nikel memiliki massa jenis lebih besar dari pasir biasa. Slag nikel merupakan sisa produksi dari peleburan nikel yang menggunakan teknologi atau proses pirometalurgi.

Baca juga: Nikel, Harta Karun Masa Kini dari Pulau Obi

Tumpukan slag nikel di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Tumpukan slag nikel di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Proses pirometalurgi ini melibatkan energi yang besar dari pemanasan api. Titik lebur dalam pemrosesan bijih nikel mencapai 1.650 derajat celsius. Hasil akhir peleburan ini berupa feronikel (FeNi) dan slag nikel yang berbentuk butiran pasir. Karena sangat panas, baik FeNi maupun slag nikel harus didinginkan sebelum dimanfaatkan.

Kompleks perumahan Ecovillage Kawasi dibangun oleh Harita Nickel, salah satu pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Obi. Kawasan itu diperuntukkan bagi warga Desa Kawasi yang akan direlokasi dalam waktu dekat. Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan meminta warga di Desa Kawasi dipindahkan karena lingkungan tempat mereka tinggal saat ini dinilai sudah tidak layak huni. Desa mereka terlalu dekat dengan lokasi pertambangan dan smelter nikel Harita Nickel.

https://cdn-assetd.kompas.id/TG2UjmZZEkC7ODkrKi6GLls9trA=/1024x706/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F02%2Faccfbd1f-6b01-4dd3-9070-db93a8433215_png.png

Konstruksi Ecovillage yang jika dilihat dari atas membentuk formasi angka delapan itu sebagian besar memanfaatkan limbah hasil produksi nikel. Bata yang dipakai untuk setiap rumah terbuat dari slag nikel. Bata ini dibuat dengan mencetak campuran slag nikel dengan material lain, seperti semen, bottom ash (abu sisa hasil pembakaran batubara), dan mortar, serta sampah anorganik. Campuran material itu lalu dicetak menjadi bata.

Onny Mulyono, Supervisor Project Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Harita Nickel, mengatakan, untuk membuat satu bata dari slag nikel diperlukan 2,8 kilogram (kg) slag. Setelah dicampur dengan material lain dan dicetak menjadi bata, bobotnya menjadi lebih berat daripada bata merah.

Lihat juga: Industri Pengolahan Nikel di Pulau Obi

Pembuatan beton cetak dengan menggunakan material slag nikel di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pembuatan beton cetak dengan menggunakan material slag nikel di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

”Tetapi bata dari slag ini lebih kuat daripada batako atau bata biasa, sebab materialnya memang lebih bagus. Untuk bangunan juga lebih kuat,” ujarnya.

Pembuatan bata dari slag nikel juga membantu perusahaan mengurangi sampah atau limbah dari hasil produksi nikel. Sebelumnya, slag nikel hanya ditumpuk atau disimpan di lahan terbuka. Perusahaan juga kesulitan mengolah kembali slag nikel ini karena digolongkan sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membuka pengelolaan slag nikel. PP No 22/2021 mengecualikan sembilan komponen yang dianggap sebagai limbah B3. Salah satu yang dikecualikan ialah slag nikel.

Kini, slag nikel tidak lagi sekadar ditumpuk, tetapi diolah menjadi bata dan pengganti pasir. Sejumlah jalur menuju lokasi tambang dan smelter Harita Nickel di Pulau Obi juga telah menggunakan slag nikel sebagai material pengerasan jalan. Bahan yang sama juga dipakai untuk membangun gorong-gorong atau box culvert di kawasan tambang. Tidak terkecuali untuk 259 unit rumah di kompleks Ecovillage Kawasi yang seluruhnya menggunakan bata dari slag nikel.

Sebelumnya, slag nikel hanya ditumpuk atau disimpan di lahan terbuka. Perusahaan juga kesulitan mengolah kembali slag nikel ini karena digolongkan sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

Harita Nickel mampu memproduksi sampai 1 juta bata slag nikel. Bahkan, belum lama ini, perusahaan tersebut menerima pesanan bata dari pemerintah daerah setempat untuk membangun jalur pedestrian di Bacan. ”Kami kirim setengah juta bata ke Bacan dengan kapal. Di sana, bata dari slag nikel ini dipakai untuk membangun tempat pelelangan ikan (TPI) dan pedestrian,” ujar Onny.

Bata dari slag nikel itu dijual Rp 3.000 per biji, lebih murah daripada batako yang dihargai Rp 3.500 per biji. Namun, untuk pemasaran produk itu, menurut Onny, agak sulit dilakukan ke luar daerah. Sebab, satu biji bata beratnya bisa sampai 3 kg dan memerlukan biaya pengiriman yang tinggi. Untuk sementara, slag nikel dimanfaatkan di sekitar tambang dan daerah yang terjangkau dengan kapal.

Menutup lubang tambang

Pekerja memonitor pengelolaan <i>tailing </i>atau material limbah tambang dengan menggunakan mesin <i>filter press</i> di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja memonitor pengelolaan tailing atau material limbah tambang dengan menggunakan mesin filter press di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Tidak hanya mengolah slag nikel menjadi bahan yang berguna, sisa limbah pengolahan nikel dengan teknologi hidrometalurgi berupa tailing, atau sisa tanah padat, juga berusaha dijadikan tanah tutupan untuk revegetasi. Sebagian bekas galian tambang di Harita Nickel ditutup dengan sisa tanah merah yang tidak lagi mengandung nikel.

Ada dua jenis sistem pengolahan atau peleburan bijih nikel. Sistem pengolahan dengan proses pirometalurgi menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Proses akhir dari teknologi RKEF berupa FeNi dan limbahnya adalah slag nikel.

Iklan

Satu proses lainnya dalam peleburan bijih nikel adalah hidrometalurgi yang menggunakan teknologi high pressure acid leaching (HPAL). Teknologi ini menghasilkan produk antara mixed hydroxideprecipitate (MHP) dan produk akhir berupa nikel sulfat serta kobal sulfat. Limbah buangan dari proses ini adalah tailing. Tailing dalam peleburan nikel berupa padatan tanah.

Baca juga: Nikel Indonesia, Jantung Baterai Kendaraan Listrik Dunia

Area <i>tailing </i>atau limbah hasil proses hidrometalurgi di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Area tailing atau limbah hasil proses hidrometalurgi di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Pilihan teknologi dalam mengolah sisa hasil pengolahan (SHP) dari proses pelindian tekanan tinggi dalam lingkungan asam atau high pressure acid leaching (HPAL) masih minim. Limbah dapat dibuang ke laut dalam atau deep sea tailing placement (DSTP) atau dikeringkan lalu ditumpuk di lubang bekas tambang, yang disebut dry stack treatment facility (DSTF). Di Obi, fasilitas yang terakhir dipilih untuk mengolah hasil HPAL.

Kepala Pengawas (Superintendent) DSTF Harita Nickel Rahmat Frengki menjelaskan, pihaknya menggunakan empat bekas lubang tambang untuk membangun fasilitas tersebut. Luasnya hingga 992 hektar. Hingga kini, sudah ada dua lokasi DSTF yang dibuka, yaitu titik P23 seluas 102 hektar dan titik P89 seluas 92 hektar. Namun, yang telah terisi adalah P89.

”Kapasitas DSTF ini hingga 25 juta meter kubik, secara tonase bisa memuat 49 juta ton tailing. Untuk titik P23, diprediksikan penuh tahun 2027,” ujarnya.

Baca juga: Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara

Kolam-kolam penampungan limbah di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kolam-kolam penampungan limbah di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Saat melintasi kedua titik ini, hamparan tanah berwarna merah pekat terbentang, dengan beberapa buldoser mengeruk dan menumpuk tanah. Warna merah pekat berasal dari pigmen hematit yang terkandung dalam besi. Di sekitarnya terdapat pembatas untuk mencegah longsor dari lereng DSTF.

Sebelum ditumpuk, tanah dari hasil HPAL dinetralkan dengan kapur, lalu masuk ke mesin filter press. Mesin ini akan menekan air dalam tanah sehingga tanah yang masuk ke penampungan sudah kering. Di sekitar titik-titik ini juga dibangun saluran, kolam pengolahan, dan penampungan air dari proses tersebut. Hasil dari pengolahan ini dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan per triwulan setiap tahunnya.

Kami masih menunggu hasil riset dari pihak eksternal dan internal mengenai penelitian tersebut.

Mengingat sifatnya yang ”rakus lahan”, metode pengolahan tailing lain dibutuhkan. Harita sedang meneliti manfaat tailing untuk dijadikan media tanam ataupun sebagai tanah penutup lubang bekas tambang (top soil). Tidak hanya itu, sampel dari limbah juga dikirim ke Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Balai Besar Keramik Kementerian Perindustrian untuk diteliti kebermanfaatannya.

”Kami masih menunggu hasil riset dari pihak eksternal dan internal mengenai penelitian tersebut,” ucapnya.

Bisa dimanfaatkan

Hasil produksi yang dihasilkan dari pabrik peleburan nikel siap untuk dikirimkan menggunkana kapal melalui dermaga Persada di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Hasil produksi yang dihasilkan dari pabrik peleburan nikel siap untuk dikirimkan menggunkana kapal melalui dermaga Persada di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Meski dianggap tidak lagi bernilai, SHP nikel atau tailing dari pabrik HPAL memiliki potensi besar untuk pemanfaatan lebih lanjut. Ahli metalurgi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Zulfiadi Zulhan, menjelaskan, tailing yang dihasilkan masih mengandung unsur mineral yang bisa dimanfaatkan, seperti besi, sulfur, dan sedikit kromium. Kandungan besi dalam tailing berkisar hingga atau lebih tinggi dari 38 persen, sementara sulfur kurang dari 7 persen.

Ide pemanfaatan SHP ini telah ada sejak 2017. Besi yang diambil dari limbah bisa digunakan sebagai bahan baku pabrik baja, termasuk baja nirkarat (stainless steel), karena terdapat unsur kromium di dalamnya. Besi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baterai lithium iron phosphate (LFP). Sulfur dalam tailing juga dapat diolah menjadi gas sulfur dioksida yang dapat disirkulasikan ke pabrik asam sulfat lalu digunakan kembali di pabrik HPAL.

”Penelitian dan konsep pemanfaatan tailing sudah berjalan, tetapi masih skala laboratorium, perlu upaya lebih lanjut lagi jika ingin diimplementasikan di skala industri,” ucapnya.

Baca juga: Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah

Kesibukan para pekerja di ruang kontrol pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi <i>high pressure acid leaching </i>(HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kesibukan para pekerja di ruang kontrol pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Pengelolaan limbah tailing kini menjadi salah satu tantangan dalam industri pemurnian nikel. Di daerah Ramu, Papua Niugini, tailing dari pabrik HPAL milik Metallurgical Corporation of China dibuang ke laut dalam atau DSTP.

Praktik ini dinilai berbahaya mengingat kandungan logam berat dalam tailing berpotensi merusak ekosistem perairan dan dapat menyebabkan perubahan warna air menjadi merah. Untuk itu, Zulfiadi pun mengapresiasi keputusan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang melarang DSTP dilakukan di Indonesia.

Kandungan besi dalam tailing berkisar hingga atau lebih tinggi dari 38 persen, sementara sulfur kurang dari 7 persen.

Secara global, penguasaan teknologi HPAL masih dipegang oleh China. Zulfiadi menjelaskan, apabila Indonesia ingin mampu menguasai teknologi pemurnian mutakhir ini, pembangunan sarana penelitian serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan. Kedua hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah yang berambisi menjadikan Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok global kendaraan listrik.

Sebagai awal, pada November 2023, ITB pun menandatangani perjanjian kerja sama dengan Central South University dan GEM Co Ltd asal China dengan membangun laboratorium teknologi bahan energi baru dan metalurgi. ”Kita harus mulai berpikir bagaimana menghasilkan peneliti dalam negeri yang mumpuni di bidang metalurgi agar bisa menjadi pemain penting dalam industri kendaraan listrik global,” ujarnya.

Baca juga: Hilirisasi Nikel dan Kisah SDA Kita

Editor:
HARYO DAMARDONO, HAMZIRWAN HAMID
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000