Selama lima tahun KKR Aceh telah mengumpulkan 5.195 pernyataan korban pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh meluncurkan laporan para korban kekerasan masa lalu. Laporan tersebut diharapkan menjadi landasan untuk pemulihan, pemenuhan hak, dan mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya dihubungi dari Jakarta, Rabu (13/12/2023), menuturkan, sejak 2017 hingga 2021 pihaknya mengumpulkan 5.195 pernyataan korban. Orang-orang yang diwawancara merupakan korban langsung atau keluarga korban.
Namun, periode konflik dibatasi dari 4 Desember 1976 hingga 15 Agustus 2005.Pada 4 Desember 1976 hari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dideklarasikan, sedangkan 15 Agustus 2005 hari penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM.
Buku kumpulan kesaksian para korban pelanggaran HAM masa lalu telah serahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Selasa (12/12/2023).
Masthur mengatakan, pengumpulan kesaksian para korban kekerasan masa lalu di Aceh merupakan amanah dari Qanun/Perda Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. KKR Aceh dibentuk atas dasar kesepakatan perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 di Finlandia.
KKR Aceh dibentuk untuk pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, rekonsiliasi antara pelaku dengan korban dan pemulihan serta pemenuhan hak korban. Ketiga hal tersebut dianggap akan memperkuat perdamaian di Aceh.
”Dalam laporan ini terdapat empat bentuk tindak kekerasan, yaitu penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan paksa,” ujar Masthur.
Sejak 2017 hingga 2021, tim KKR Aceh bergerilya ke pelosok-pelosok desa di seluruh Aceh mencari para korban dan meyakinkan korban untuk berani bersuara. Tidak mudah menumbuhkan kepercayaan kepada korban untuk memberikan kesaksian. Sebagian korban masih trauma dengan kekerasan yang dia dan keluarganya alami.
Masthur menambahkan dalam laporan tersebut mereka melengkapi dengan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh para pihak, baik oleh Pemprov Aceh maupun Pemerintah Pusat.
Dalam laporan ini terdapat empat bentuk tindak kekerasan, yaitu penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan paksa.
Beberapa rekomendasi, yakni melakukan rekonsiliasi antara pelaku dan korban berbasis kearifan lokal, pemulihan dan pemenuhan hak korban. Selain itu, KKR Aceh mendesak pemerintah untuk memperkuat perlindungan HAM serta menyebarluaskan laporan tersebut untuk menjadi bahan kajian dan pendidikan bagi generasi mendatang.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna menuturkan, ini merupakan laporan temuan perdana yang secara resmi diluncurkan sejak KKR Aceh dibentuk tahun 2016. Laporan tersebut bentuk pengakuan resmi adanya pelanggaran HAM di Aceh pada masa lalu.
”Laporan ini penting untuk dipublikasikan seluas-luasnya kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas dan penghormatan kepada korban ataupun keluarga korban yang hingga kini belum sepenuhnya mendapatkan hak atas kebenaran dan pemulihan,” kata Husna.
Husna mendesak Pemprov Aceh menjadikan data dan fakta laporan dari KKR Aceh sebagai dasar untuk menyusun program bagi korban dan penguatan perdamaian Aceh.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin menuturkan, laporan temuan dari KKR Aceh menjadi gambaran utuh bagi para pihak apa yang terjadi pada masa konflik masa lalu.
Sementara itu, Direktur Flower Aceh Riswati mengatakan, dengan adanya data korban, diharapkan pemenuhan hak para korban dapat ditunaikan secara adil. Selain itu, pemerintah perlu menyusun program penguatan perdamaian.