Perusak Lingkungan Danau Toba Harus Ditindak Tegas
Bencana banjir dan longsor kian sering terjadi di kawasan Danau Toba akibat pembalakan hutan yang kian masif. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan Danau Toba.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
DOLOK SANGGUL, KOMPAS — Pelaku perusakan lingkungan hidup di kawasan Danau Toba harus ditindak tegas. Perambahan hutan telah menyebabkan bencana ekologis berupa banjir bandang dan longsor berulang kali. Bencana merusak sumber ekonomi, harta benda, dan menelan korban jiwa. Langkah tegas harus segera diambil untuk menyelamatkan Danau Toba.
”Bencana terakhir, yakni banjir bandang di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humang Hasundutan, menunjukkan secara nyata bencana ekologis disebabkan deforestasi di kawasan Danau Toba,” kata pegiat lingkungan hidup Danau Toba, Togu Simorangkir, Selasa (12/12/2023).
Togu, yang juga pendiri Yayasan Alusi Tao Toba, mengatakan, banjir bandang di Desa Simangulampe adalah alarm atau peringatan keras untuk segera menyelamatkan lingkungan hidup Danau Toba dari kerusakan yang kian masif. Pembalakan liar yang terjadi di atas perbukitan Simangulampe menyebabkan banjir bandang dan longsor yang menimpa 11 hektar perkampungan di bawahnya pada Jumat (1/12/2023).
Sebanyak dua orang meninggal dan 10 hilang akibat banjir bandang itu. Sedikitnya 35 rumah rusak berat, satu hotel dan satu gereja juga rusak. Sawah dan perladangan rusak total karena tertimbun batuan besar berdiameter 1-3 meter yang longsor dari perbukitan.
Togu mengatakan, bencana banjir bandang di Desa Simangulampe adalah puncak gunung es dari masalah lingkungan hidup di kawasan Danau Toba. Rentetan bencana ekologis semakin sering terjadi dalam beberapa tahun ini. Dua pekan sebelum di Simangulampe, banjir bandang juga terjadi di Desa Sihotang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Selasa (14/11/2023).
Hujan selama dua jam membuat banjir bandang terjadi di Sungai Godang dan Sungai Sitiotio dan menerjang Desa Sihotang dan meluas ke empat desa sekitarnya, yakni Simarsoit Toba, Hariarapohan, Parmahanan, dan Dolok Raja.
Banjir bandang itu menelan satu korban jiwa dan merusak 80 persen lahan pertanian akibat ditimbun batu dan lumpur dari banjir bandang. Ladang jagung, kopi, cokelat, dan tanaman lainnya gagal panen. Fasilitas publik, seperti jalan dan gedung, juga rusak dan sempat lumpuh.
Dua hari setelah banjir di Sihotang, Kamis (16/11/2023), banjir juga terjadi di empat desa di Lembah Bakkara di Kecamatan Baktiraja, yakni di Desa Marbun Tonga Dolok, Marbun Toruan, Siunong-Unong Julu, dan Simamora. Meski tidak menelan korban jiwa, banjir merusak permukiman dan persawahan.
Dua pekan berikutnya, banjir bandang yang lebih besar terjadi di Simangulampe, desa lain di wilayah Lembah Bakkara. ”Banjir di Simangulampe menjadi puncak bencana di kawasan Danau Toba karena menelan korban jiwa dan menyebabkan satu perkampungan rusak total,” kata Togu.
Togu mengatakan, kondisi hutan di hulu yang kritis tidak lagi mampu menahan curah hujan berintensitas tinggi. Kritisnya kondisi hulu dan tingginya intensitas hujan membuat risiko terjadinya banjir bandang dan longsor di bawah perbukitan di kawasan danau Toba sangat tinggi, seperti di Kecamatan Baktiraja yang berada di Lembah Bakkara.
”Ini menjadi fakta yang memprihatinkan karena seharusnya ia bisa dicegah. Pemerintah harusnya bisa mencegahnya,” kata Togu.
Togu bersama Presiden Joko Widodo pun telah menanam pohon di lembah Desa Simangulampe pada Februari 2022. Presiden meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pemerintah daerah menyelamatkan daerah tangkapan air Danau Toba yang sudah kritis. Namun, persis di atas bukit tempat Presiden menanam pohon, pembalakan liar dibiarkan terjadi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumut Yuliani Siregar menyebut, pihaknya sudah menurunkan tim ke lapangan dan menemukan bukti pembalakan liar seluas 15 hektar di kawasan hutan. Dia menyebut, pembalakan liar itu telah diselidiki Kepolisian Daerah Sumut dan Kepolisian Resor Humbang Hasundutan bekerja sama dengan Dinas LHK Sumut.
Perpanjangan pencarian
Pencarian korban banjir bandang di Desa Simangulampe belum juga menemukan titik terang. Sebanyak 10 korban hilang belum ditemukan. ”Berdasarkan evaluasi oleh seluruh unsur tim SAR gabungan yang terlibat dan permintaan keluarga korban, pencarian kembali diperpanjang hingga tiga hari kedepan,” kata Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan (SAR) Medan Budiono.
Budiono menyebut, dalam tiga hari ke depan, mereka akan berfokus untuk mencari korban hilang di sisi darat yang dekat dengan perairan Danau Toba. Korban hilang diduga sudah keluar dari rumah. Selain itu, pencarian juga diintensifkan di perairan Danau Toba. Pencarian dilakukan secara visual di permukaan dan dengan menyelam ke perairan.
Sebanyak 15 alat berat ekskavator dan pemecah batu juga masih dikerahkan untuk pencarian di bawah tumpukan batu berdiameter 1-3 meter. Batu menumpuk hingga ketinggian 6 meter menimbun rumah-rumah. Kesulitan paling besar melakukan pencarian korban hilang adalah batuan besar dalam jumlah yang sangat banyak.