Erupsi Gunung Anak Krakatau, Alarm Bencana dari Selat Sunda
Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang meningkat akhir-akhir ini menjadi sebuah alarm bencana dari Selat Sunda. Hanya soal waktu Anak Krakatau akan kembali meletus hebat.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
Sejak erupsi yang memicu tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih sangat aktif. Aktivitas vulkanik yang memicu rentetan gempa dan erupsi menandakan gunung api itu masih terus membangun tubuhnya. Sebuah alarm bencana dari Selat Sunda….
Sejak Minggu (26/11/2023), aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau kembali meningkat. Gunung api itu tercatat mengalami erupsi puluhan kali dan terus meluncurkan abu vulkanik hingga setinggi 2.000 meter dari atas puncak. Pada malam hari, luncuran lava pijar dari gunung api itu terlihat bagai nyala kembang api dari Pulau Sebesi, yang berjarak sekitar 16,5 kilometer dari Pulau Krakatau.
Peningkatan aktivitas Anak Krakatau ini menjadi pengingat atas petaka yang pernah menghancurkan kawasan pesisir Lampung Selatan lima tahun silam. Maka, setiap kali Anak Krakatau ”batuk-batuk”, warga Pulau Sebesi, khususnya kaum laki-laki, menggelar ronda semalaman. Mereka berjaga kalau-kalau aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau memicu bencana, seperti hujan abu vulkanik, gempa, atau tsunami.
”Bapak-bapak di sini mulai ronda karena Gunung Anak Krakatau terus meletus. Semburan abu vulkaniknya juga terlihat semakin tinggi,” ucap Rahmatullah, nelayan asal Desa Tejang, Pulau Sebesi, saat dihubungi dari Bandar Lampung, Senin (27/11/2023).
Ia menuturkan, masyarakat Pulau Sebesi mendengar suara dentuman yang cukup kuat saat Gunung Anak Krakatau erupsi. Meski begitu, warga tidak merasakan gempa atau terdampak semburan abu vulkanik karena arah angin cenderung ke barat.
Saat ini, masyarakat dan nelayan di Sebesi tetap beraktivitas seperti biasa di tengah kewaspadaan akan bencana. Saat tsunami Selat Sunda, pulau berpenghuni sekitar 2.800 jiwa termasuk yang mengalami kerusakan cukup parah. Rumah-rumah penduduk, terutama yang berada di pinggir pantai, hancur tersapu tsunami.
Berdasarkan catatan Kompas, sedikitnya 426 orang meninggal akibat bencana tsunamis Selat Sunda. Dari jumlah itu, sebanyak 116 orang merupakan warga Lampung.
Krakatau diketahui juga pernah meletus besar pada 416 Sebelum Maeshi, yang menyebabkan tsunami dan pembentukan kaldera (Judd, 1889). De Neve (1981) menyebutkan, sebelum letusan 1883, beberapa letusan juga terjadi pada abad ke-3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang diikuti dengan pertumbuhan kerucut Rakata, Danan, dan Perbuatan yang hancur pada 1883 (Kompas, 29/8/2018).
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Hendra Gunawan menjelaskan, erupsi Gunung Anak Krakatau saat ini merupakan kelanjutan dari proses peningkatan kegempaan yang dimulai sejak 28 Oktober 2023. Saat itu, PVMBG telah menerangkan mengenai potensi terjadi erupsi magmatik dan lontaran material yang lebih jauh dari 2 kilometer.
Menurut Hendra, terjadi peningkatan gempa vulkanik dalam yang tercatat sebanyak 50 kali dan gempa vulkanik dangkal sebanyak 43 kali. Selanjutnya diikuti oleh peningkatan gempa low frequency pada 6 November 2023 yang terekam sebanyak 56 kali. Hal ini mengindikasikan adanya pergerakan magma ke permukaan yang disertai gempa fase banyak sebanyak 81 kali.
”Dengan terekamnya gempa fase banyak, diperkirakan pada saat ini Gunung Anak Krakatau terjadi pembentukan kubah lava ataupun terjadi ekstrusi magma. Dengan kata lain, Gunung Anak Krakatau sedang aktif membangun tubuhnya,” kata Hendra melalui pesan Whatsapp.
Setelah runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018, saat ini ketinggian Gunung Anak Krakatau 157 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan catatan Kompas, sebelum runtuh, tinggi Gunung Anak Krakatau tercatat mengalami peningkatan dalam kurun waktu sekitar satu dekade terakhir. Pada Oktober 2018, tinggi Gunung Anak Krakatau tercatat 338 meter di atas permukaan laut. Tinggi gunung api itu meningkat 33 meter dibandingkan tahun 2007 yang tercatat 305 meter dari permukaan laut.
Hingga saat ini, aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau masih terus terjadi setiap tahun. Berdasarkan data PVMBG, dalam periode waktu Januari-Oktober 2023 telah terekam sebanyak 415 kali gempa letusan. Ketinggian kolom erupsi bervariasi, 50-3.500 meter di atas puncak.
Meski terus bergejolak, belum ada peningkatan status Gunung Anak Krakatau. Saat ini, status Gunung Anak Krakatau masih level III (Siaga). Masyarakat tidak boleh mendekat dalam radius 5 kilometer dari kawah.
PVMBG telah mengirim tim untuk memasang sejumlah peralatan sensor di sekitar Kepulauan Krakatau demi memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau. Peralatan yang dipasang meliputi satu unit seismometer yang dipasang di Pulau Rakata, satu unit GPS di Pulau Krakatau Selatan, dan satu unit CCTV di Pulau Sertung.
Jalur evakuasi sudah diberi tanda. Kami juga telah menggelar pelatihan mitigasi bencana dan membangun desa tangguh bencana.
Hendra menambahkan, aktivitas Anak Krakatau yang terus bergejolak membuat potensi tsunami masih ada. Jika terjadi ketidakstabilan pada kubah lava Gunung Anak Krakatau, gunung api itu bisa saja longsor.
”Dengan terjadinya longsor, dapat memicu kembali terjadinya erupsi yang tiba-tiba dan dengan energi yang besar akibat masuknya volume air dalam jumlah besar ke dalam kantong magma dangkal,” ungkap Hendra.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lampung Selatan Aflah Efendi mengatakan, pihaknya terus memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau dari BMKG. Pemerintah juga telah meminta masyarakat mematuhi larangan untuk mendekat ke gunung api itu dalam jarak 5 kilometer.
”Jalur evakuasi sudah diberi tanda. Kami juga telah menggelar pelatihan mitigasi bencana dan membangun desa tangguh bencana,” katanya.
Kendati begitu, belum banyak sirene peringatan tsunami yang terpasang di kawasan pesisir Lampung Selatan. Saat ini hanya ada satu sirene tsunami yang dipasang di dekat Pasar Inpres Kalianda. Tahun depan, menurut Aflah, ada rencana pembangunan enam unit sirene dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Sirene tersebut menurut rencana dipasang di enam desa yang tersebar di tiga kecamatan di Lampung Selatan. Desa-desa tersebut adalah Way Muli, Banding, Sukaraja (Kecamatan Rajabasa), Kelurahan Kalianda (Kecamatan Kalianda), serta Desa Rangai Tri Tunggal dan Tarahan (Kecamatan Sidomulyo).
Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang meningkat akhir-akhir ini menjadi sebuah alarm bencana dari Selat Sunda. Hanya soal waktu Anak Krakatau akan kembali meletus hebat. Kita semua hanya bisa menunggu dengan waspada.