Misi Berat Menghijaukan Raksasa Laut
Akibat krisis iklim, armada dagang dunia menghadapi era baru. Para ”raksasa laut” dipaksa segera beralih ke energi hijau.
Tumpukan peti kemas di Pelabuhan Modern Terminals, Hong Kong, Senin (20/11/2023).
Lebih dari 900 pengusaha dan pakar maritim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Hong Kong untuk membahas masa depan industri pelayaran. Transisi energi menjadi topik yang paling serius dibahas saat gelaran Hong Kong Maritime Week pada 19-25 November 2023.
”Mengurangi emisi karbon adalah tugas kita. Jika itu tidak segera dilakukan, kita yang akan bertanggung jawab,” kata Sekretaris Jenderal dan CEO Baltic and International Maritim Council (Bimco) David Loosely, Senin (20/11/2023).
Bimco adalah organisasi maritim negara-negara Baltik yang berkantor di Kopenhagen, Denmark. David Loosely menjadi salah satu pembicara dalam World Maritime Merchants Forum, salah satu diskusi yang digelar Hong Kong Maritime Week (HKMW).
Organisasi Maritim Internasional (IMO) mengharuskan industri pelayaran mengurangi emisi 20-30 persen pada 2023. Hal itu untuk menyongsong target nol emisi karbon pada tahun 2050.
Selama ribuan tahun, evolusi kapal dagang hanya berkutat pada soal peningkatan kapasitas muatan dan kecepatan berlayar. Kapal kargo berukuran besar kini rata-rata mampu memuat 20.000 kontainer yang panjangnya, jika dijajarkan, mencapai 120 kilometer.
Hari ini ada lebih dari 60.000 kapal kargo yang menopang 90 persen arus perdagangan barang di dunia. Jumlah kapal kargo bertambah 3 persen setiap tahun. Kapal-kapal yang ditenagai mesin berbahan bakar energi fosil itu disebut menyumbang 2 persen total emisi global.
Untuk mencapai target pengurangan emisi pada 2030, industri pelayaran butuh teknologi baru untuk kapal-kapal yang sudah ada.
Menurut Senior Vice President MAN Energy Solutions Bjarne Foldager, target pengurangan emisi minimal 20 persen pada 2030 itu sulit dicapai sekalipun semua kapal yang dibuat pada tahun 2023 dan ke depan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Mengingat usia pakai kapal sekitar 25-30 tahun, maka pada 2030 masih ada puluhan ribu kapal dengan bahan bakar fosil yang beroperasi.
”Untuk mencapai target pengurangan emisi pada 2030, industri pelayaran butuh teknologi baru untuk kapal-kapal yang sudah ada. Harus ada bahan bakar hijau yang bisa digunakan kapal-kapal tua itu,” ujar Foldager.
Baca juga: Hong Kong, Kaki Naga yang Berambisi Mencengkeram Separuh Dunia
Transisi kapal tua
Berbeda dengan kendaraan di darat, transisi ke energi listrik dinilai tidak mungkin dilakukan di industri pelayaran. Kapal tidak bisa berhenti dalam waktu lama untuk mengisi baterai karena mereka berada di laut selama berbulan-bulan.
Guru Besar Institut Riset Pengembangan Kapal Universitas Maritim Dalian, China, Shuang Zhang, menuturkan, bahan bakar ramah lingkungan bagi kapal setidaknya bisa dibagi ke dalam tiga kategori. Penggolongan tersebut dilakukan berdasarkan ketersediaan dan keterjangkauan harga bahan bakar.
Kategori pertama adalah bahan bakar campuran dari minyak bumi dan bahan bakar alternatif, seperti biosolar. Keuntungan dari bahan bakar campuran ini adalah ketersediaan dan harganya yang murah.
”Bahan bakar ramah lingkungan dalam kategori ini cocok digunakan sebagai transisi kapal-kapal tua. Bisa dibeli dengan mudah dan tidak perlu modifikasi banyak,” kata Zhang.
Kategori kedua adalah green methanol dan green methane. Meskipun harga bahan bakar jenis ini masih amat tinggi, teknologi untuk memproduksi metanol dan methane sudah relatif matang. Bahan bakar jenis ini, kata Zhang, cocok digunakan untuk kapal-kapal yang baru akan dibuat.
Raksasa pelayaran Maersk merupakan salah satu yang telah menggunakan green methanol. Mengutip The New York Times, penggunaan green methanol di salah satu kapal milik Maersk mampu mengurangi 100 ton gas rumah kaca per hari atau sebanding dengan emisi 8.000 mobil.
Adapun bahan bakar ramah lingkungan dalam kategori ketiga adalah hidrogen dan amonia. Keuntungan bahan bakar jenis ini adalah kandungan energi yang besar. Namun, tantangannya butuh infrastruktur khusus untuk menangani bahan bakar jenis ini karena sifatnya yang beracun dan mudah meledak.
Transisi energi di sektor pelayaran harus dilakukan secara bertahap agar tidak mengganggu arus perdagangan dunia.
Zhang menambahkan, transisi energi di sektor pelayaran harus dilakukan secara bertahap agar tidak mengganggu arus perdagangan dunia. Selain itu, pemerintah dunia dinilai perlu memberi insentif kepada perusahaan yang beralih ke bahan bakar ramah lingkungan.
Sebagai tuan rumah HKMW 2023, Pemerintah China menyatakan berkomitmen membangun sistem transportasi yang berkelanjutan, ramah lingkungan, inklusif, dan efisien. Hal itu disampaikan Wakil Menteri Transportasi China Fu Xuyin.
”Pembangunan berkelanjutan merupakan pilihan yang tidak bisa dihindari demi kemakmuran dan kemajuan masyarakat. China berkomitmen untuk membuka diri terhadap dunia luar dengan mengupayakan kerja sama yang saling menguntungkan lewat Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative),” kata Fu.
Langkah nyata
Dalam kesempatan yang sama, Chief Commercial Officer of Lloyd’s Register Andrew McKeran mengatakan, pemangku kebijakan dunia harus segera mengambil keputusan bahan bakar jenis apa yang akan diprioritaskan pada masa depan. Ini harus segera dilakukan agar target nol emisi pada 2050 tercapai.
”Bahan bakar ramah lingkungan bukan masalah masa depan, ini soal yang amat mendesak sekarang dan saat ini. Kita tidak bisa membuat kapal ramah lingkungan dengan pilihan bahan bakar hijau yang belum pasti di masa depan,” ujarnya.
McKeran juga menilai pentingnya memberikan pendidikan baru kepada pelaut dan pekerja maritim yang akan menangani proses transisi energi. Bahan bakar jenis baru membutuhkan cara penanganan yang berbeda dari minyak bumi yang saat ini dipakai 99 persen kapal niaga dunia.
Adapun Loosely menambahkan, selain transisi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar alternatif, penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pelayaran juga akan mengurangi emisi. Mengurangi kebiasaan berlayar dengan kencang lalu berlama-lama menunggu giliran bongkar muat di pelabuhan bisa mengurangi pencemaran karbon hingga 15 persen.
”Pengurangan emisi hingga 15 persen itu tidak sedikit, dan yang lebih penting hal itu bisa dilakukan saat ini juga. Di tengah banyak ketidakpastian, mengapa kita tak segera melakukan hal yang sudah pasti dapat dikerjakan,” ucapnya.
Baca juga: Ambisi Nol Karbon Besar, Produksi Energi Fosil Lebih Besar