Gambar Cadas Buktikan Peradaban Tertua Dunia Ada di Indonesia
Gambar cadas Indonesia memiliki potensi luar biasa sebagai peradaban budaya masa lalu dengan usia lebih dari 40.000 tahun. Temuan itu patut menjadikannya sebagai peradaban tertua di dunia.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Gambar cadas Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam peradaban budaya masa lalu. Dengan usia lebih dari 40.000 tahun menjadikan peradaban itu tertua di dunia.
”Dengan data dan fakta gambar cadas di Maros (Sulawesi Selatan) dan Sangkulirang (Kalimantan Timur) di atas usia 40.000 tahun, mestinya kiblat peradaban seni tertua pindah ke Indonesia,” ujar Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia R Cecep Eka Permana dalam Pidato Penutupan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2023 di Universitas Negeri Malang, Malang, Jawa Timur, Senin (27/11/2023) sore.
Dalam acara bertema ”Membaca Ulang Seni Manusia Purba: Gambar-gambar Cadas di Goa-goa Maros Sulawesi-Sangkulirang, Kalimantan” tersebut, Cecep banyak berbicara tentang gambar-gambar tangan manusia purba ataupun hewan yang ada di goa-goa di Indonesia, khususnya di kedua wilayah.
Sebelum dipublikasikan penanggalan tertua gambar cadas di atas 40.000 tahun di Indonesia pada penelitian tahun 2014, menurut Cecep peradaban tertua masih disebut-sebut ada di Eropa. Eropa kemudian dianggap sebagai awal peradaban kesenian tertua di dunia.
Di Indonesia, Cecep menyebut, di sejumlah lokasi, terdapat gambar goa yang umurnya melebihi 40.000 tahun, seperti di Situs Liang Jeriji Saleh, Sangkulirang. Di sana terdapat gambar telapak tangan berumur 40.000 tahun. Di Leang Tendongnge, Maros, ada gambar babi berumur 43.900 tahun.
Di Leang Bulu Sipong 4 ditemukan gambar manusia setengah hewan ”therianthrope”, juga gambar babi, tangan, dan anoa. Namun, gambar tertua adalah babi 43.900 tahun. Penentuan umur dilakukan menggunakan metode uranium series.
Gambar cadas memang tidak terlepas dari kehidupan goa. Ada yang menyebut gambar ini dengan istilah Rock Art. Maksudnya, lukisan yang dibuat pada batu alamiah yang tidak bergerak, baik di tempat tertutup maupun terbuka di alam, seperti tebing dan ceruk. Adapun di Indonesia banyak yang menyebut dengan lukisan goa, lukisan dinding goa, atau gambar cadas.
Ini merupakan karya budaya pada masa prasejarah yang bersifat universal dan ditemukan hampir di seluruh belahan dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika, maupun di tempat lain.
Obyek yang digambar diduga berkaitan dengan tradisi manusia purba saat itu. Obyek yang sering dijumpai berupa gambar tangan, binatang, dan manusia itu sendiri. Ketiganya biasanya ditemukan sendiri-sendiri, tetapi ada juga yang kombinasi dua-tiga gambar sekaligus.
Di Indonesia, gambar goa umum ditemukan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Papua. ”Maros dan Sangkulirang, dua kawasan situs di Indonesia ini, punya potensi yang luar biasa dalam gambar cadas Nusantara masa lalu,” ucapnya.
Gambar goa ini sendiri penting untuk dikaji karena dibuat langsung oleh manusia pemilik kebudayaan itu. Gambar tangan merupakan tiruan langsung dari pembuat.
Menurut Cecep ada dua teknik yang dipakai untuk membuat gambar itu, yakni dengan meletakkan telapak tangan—lalu menggunakan pewarna tertentu—setelah diolah disemburkan ke tangan itu. Ketika tangan diangkat, cap itu terbentuk. Teknik yang seperti itu dikenal sebagai negative hand stencil. Satu lagi teknik positive hand stencil, yakni dengan mengoleskan warna ke telapak tangan lalu dicapkan ke permukaan dinding goa.
”Di Indonesia ada yang khas, setelah ada hand stencil, ada juga yang ditambahkan metode dekorasi dengan membuat garis-garis lagi di tangan. Itu ada di Kalimantan, mungkin ada hubungannya dengan budaya orang Kalimantan yang menggunakan tato,” ucapnya.
Di Nusantara sendiri, informasi paling awal soal gambar cadas diperoleh dari abad 17-19, terutama laporan perjalanan dari pedagang rempah-rempah, pelaut, dan pejabat kolonial yang melintasi wilayah Maluku dan Papua.
Pidato kebudayaan yang disampaikan Cecep Eka Permana pun menjadi penutup Borobudur Writers and Cultural Festival 2023 yang berlangsung pada 23-27 November. Lima hari terakhir, peserta diajak membaca ulang pemikiran penulis dan arkeolog Edi Sedyawati.
Sejumlah kegiatan digelar, mulai dari simposium, ceramah umum, pidato kebudayaan, dialog Borobudur, dan dialog sastra. Selain itu, juga ada peluncuran buku, pemutaran film, pameran, dan bincang buku, kopi, dan literasi. Juga ada pameran manuskrip kuno, pameran wayang ganesha, seni pertunjukan sastra, teater, pembelajaran tari, serta musyawarah komunitas arkeologi dan jejak situs.
Salah satu agenda yang digelar sebelum pidato penutup adalah Podium Sastra yang membahas soal tanggung jawab sastra untuk peradaban. Penyair sekaligus penulis Mardi Luhung, salah satu dari lima panelis yang hadir pada kesempatan itu, mengatakan, setiap penyair selalu ”berpakaian” peradaban.
Setiap sastrawan selalu dihadapkan dengan peradaban dan dia memiliki jawaban yang berbeda-beda. ”Sastra yang bermacam-macam dinaungi oleh peradaban. Dan, peradaban kita akan bersilaturahmi dengan peradaban dari daerah tetangga yang lain,” ucapnya.