Setelah 15 Tahun, Korban Lumpur Lapindo Kini Punya Sertifikat Tanah
Ratusan warga bekas korban bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim, akhirnya memiliki sertifikat hak milik tanah yang mereka beli dari hasil pembayaran ganti rugi. Momen itu telah dinantikan selama 15 tahun.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Setelah menunggu selama 15 tahun, ratusan korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, akhirnya memiliki sertifikat hak milik tanah yang dibeli dari hasil pembayaran ganti rugi. Pemerintah menjamin tidak ada mafia tanah yang terlibat dalam penyelesaian masalah ini.
Penyerahan sertifikat tanah dilakukan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hadi Tjahjanto di Perumahan Reno Joyo, Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Kamis (23/11/2023). Hadi mendatangi dan menyerahkan sertifikat kepada sebagian warga. Total ada 600 sertifikat bidang tanah milik korban lumpur Lapindo.
”Hari ini, Kementerian ATR/BPN menyerahkan sertifikat untuk masyarakat korban semburan lumpur Lapindo. (Mereka) warga relokasi dari Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,” ujar Hadi.
Hadi menambahkan, sertifikat ini jawaban penantian warga yang tidak memiliki kepastian hukum atas tanah yang dibeli lebih dari 15 tahun lalu. Mereka telah menempati rumah sejak 2008 atau dua tahun setelah Desa Renokenongo ditenggelamkan oleh lumpur panas.
Sertifikat tanah itu diperoleh warga secara gratis, kecuali pembayaran biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Hanya lima keluarga yang membayar sesuai nilai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp 600.000.
Rincinnya untuk biaya pengukuran Rp 224.000 dan sisanya biaya panitia serta pendaftaran. Terkait ini, Hadi meminta warga segera melapor kepada BPN Sidoarjo dan polisi apabila tidak menerima sertifikat secara gratis atau lebih dari biaya PNBP.
”Karena ini adalah permasalahan rakyat. Mereka sudah dibebani peristiwa alam (bencana semburan lumpur panas) sehingga harus pindah dari desanya. Saya yakinkan tidak ada mafia tanah yang bermain pada korban lumpur Lapindo,” tegas Hadi.
Lilik Kaminah (45), warga Reno Joyo, mengatakan, semburan lumpur Lapindo menghancurkan Renokenongo tahun 2006. Akibatnya, semua warga mengungsi di Pasar Sayur Porong. Selama bertahun-tahun, mereka tinggal di tenda-tenda darurat yang jauh dari layak.
Titik terang mulai dirasakan Lilik dan warga lain pada tahun 2008. Hingga tahun 2010, warga menerima cicilan pembayaran ganti rugi. Mereka menerima pembayaran 20 persen dari total nilai aset tanah dan rumah yang dimiliki.
”Dengan uang itu kami membeli tanah di Desa Kedungsolo. Karena warga Renokenongo ingin tetap hidup berdampingan, kami sepakat mencari tempat tinggal bersama (bedol desa),” kata Lilik.
Di Kedungsolo, warga difasilitasi tanah untuk tempat tinggal oleh Sunarto, warga setempat. Warga juga dibantu membangun rumah hingga mencari kredit perbankan.
Namun, hingga bertahun-tahun, warga tidak kunjung menerima sertifikat tanah meski telah melunasi pembelian tanah. Menempuh jalur hukum, legalitas tanah lantas dipersoalkan. Sunarto ternyata menyalahgunakan tanah kas desa.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali mengatakan, pihaknya memfasilitasi pengurusan sertifikat tanah korban semburan lumpur di Perumahan Reno Joyo. Jumlahnya ada 600 bidang tanah yang saat ini sudah tumbuh menjadi rumah hunian bagi 2.000 jiwa.
”Pemkab Sidoarjo membantu pendataan warga. Selain itu, kami menggratiskan BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan) sehingga warga korban tidak perlu mengeluarkan uang,” ujar Muhdlor.
Selain itu, lanjut Muhdlor, pihaknya juga mendampingi warga terkait proses atau tahapan administrasi pengurusan sertifikat tanah. Mereka diberikan edukasi agar tidak mudah percaya kepada pihak yang menjanjikan kemudahan pengurusan sertifikat tanah. Masyarakat diajak mewaspadai mafia tanah agar tidak mudah terkena bujuk rayunya.
Asisten Pemerintahan Pemkab Sidoarjo Ainurrohmah menambahkan, pihaknya telah memfasilitasi penyelesaian 84 berkas pembayaran ganti rugi milik warga korban semburan lumpur Lapindo. Saat ini tersisa delapan berkas yang belum terbayar. Masalahnya terbilang sulit diselesaikan, seperti muncul sengketa ahli waris.