Satu Tersangka Penyelundupan Pengungsi Rohingya di Aceh Ditangkap
Mereka mengambil risiko besar dengan berlayar berhari-hari menuju negara yang dianggap dapat memberikan perlindungan, salah satunya Indonesia.
Oleh
ZULKARNAINI, WISNU DEWABRATA
·5 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kepolisian Resor Aceh Timur menetapkan tiga tersangka dalam kasus upaya penyelundupan pengungsi Rohingya ke Indonesia. Sementara sebanyak 241 pengungsi Rohingya yang terdampar di Kabupaten Pidie pada 19 November belum jelas akan ditempatkan ke mana.
Kepala Polres Aceh Timur Ajun Komisaris Besar Andy Rahmansyah, Kamis (23/11/2023), mengatakan ketiga orang yang ditetapkan tersangka adalah KW (27), L (27), dan I (50). Ketiga tersangka merupakan warga Aceh Timur. Satu orang, yakni I, merupakan pegawai negeri sipil.
Namun, dari tiga tersangka, hanya satu orang yang baru ditangkap, yakni KW yang bekerja sebagai sopir truk. Polisi menangkap KW pada Minggu (19/11/2023) dini hari di kawasan Kecamatan Madat saat membawa 36 pengungsi Rohingya menggunakan truk. Sementara L dan I kini menjadi buron polisi.
Pengungsi Rohingya tersebut kini dievakuasi ke gedung olahraga milik Pemkab Aceh Timur. Sementara KW ditahan oleh polisi untuk diproses hukum.
”Tersangka menjemput pengungsi di kawasan Madat. Tersangka bagian yang ikut serta dalam tindak pidana perdagangan orang atau penyelundupan manusia ke dalam wilayah Indonesia,” kata Andy.
Tersangka melakukan komunikasi dengan orang yang memberikan perintah melalui telepon. Tersangka diminta membawa pengungsi ke arah Sumatera Utara. Tidak disebutkan di titik mana tersangka harus menurunkan pengungsi itu. Namun, sebelum meninggalkan Aceh Timur, truk itu sudah lebih dulu ditangkap polisi.
”Mereka dibayar jika sampai ke tujuan sebesar Rp 15 juta, tetapi baru diterima Rp 3 juta,” kata Andy.
Andy mengatakan, tersangka disangkakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tersangka diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Bertahan di pantai
Sementara itu, sebanyak 241 pengungsi Rohingya yang mendarat di Desa Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, pada 19 November 2023, hingga saat ini masih bertahan di pantai. Belum ada kejelasan kapan dan ke mana pengungsi itu akan direlokasi.
Staf Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia Faisal Rahman mengatakan, pihaknya masih berkoordinasi dengan pemerintah setempat dan para pihak untuk memastikan langkah penanganan untuk pengungsi di Pantai Kulee.
Sebenarnya di Pidie terdapat sebuah lokasi penampungan pengungsi Rohingya, yakni gedung bekas Yayasan Mina Raya yang terletak di Kecamatan Padang Tiji. Saat ini di sana terdapat sekitar 480 pengungsi Rohingya yang datang pada Desember 2022 dan pertengahan November 2023.
”Kami menunggu kebijakan pemerintah. Bahkan, jika harus dibawa ke Lhokseumawe, kami siap,” kata Faisal.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, hingga saat ini terdapat 1.231 pengungsi Rohingya di Aceh. Mereka tersebar di Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh Timur.
Faisal mengatakan, kondisi keamanan di Myanmar tidak menjamin perlindungan bagi warga Rohingya. Banyak warga Rohingya lari ke Bangladesh. Namun, situasi di pusat pengungsi Cox’s Bazar, Bangladesh, juga runyam sehingga banyak pengungsi memilih keluar dari Bangladesh.
Mereka mengambil risiko besar dengan berlayar berhari-hari menuju negara yang dianggap dapat memberikan perlindungan, salah satunya Indonesia. Beberapa pengungsi yang ditemui di Yayasan Mina Raya menyebutkan mereka merasa aman tinggal di Indonesia.
Remaja
Salah seorang pengungsi Rohingya yang kini menempati Yayasan Mina Raya, Aziz (17), menuturkan, saat berlayar dari Bangladesh, dia tidak tahu akan berlabuh di mana. Namun, saat mengetahui mendarat di Indonesia, dia merasa lega karena dari pengalaman pengungsi sebelumnya, negara memberikan perlindungan.
Lebih lanjut dari pengamatan di lokasi, kebanyakan pengungsi warga Rohingya berusia remaja dan dewasa muda. Saat diajak berbincang, beberapa dari mereka mengaku tak punya banyak kegiatan berarti selama berada di lokasi penampungan sekarang. Mereka terlihat berkumpul dalam kelompok-kelompok dan berbincang. Mereka tersebar di beberapa sudut lokasi tempat penampungan. Beberapa dari mereka tampak pula memiliki telepon genggam.
Soal tidak ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan, salah satunya seperti disampaikan Umar Faruq (18). Dia mengaku sudah tinggal di lokasi penampungan Mina Raya sejak 11 bulan terakhir. Kepada Kompas, Umar mengaku sebenarnya masih ingin melanjutkan studi jika memang dimungkinkan. Dia berharap selama di Indonesia bisa diizinkan akses pendidikan.
”Saya ingin bisa sekolah, kalau perlu sampai jenjang PhD,” ujarnya dengan bahasa Inggris patah-patah.
Hal sama disampaikan dua remaja pengungsi lain, Ataur Rahman (18) dan Mohammad Thuhah (17), saat ditemui di tempat yang sama. Keduanya sama-sama baru tiba dan ditampung di lokasi Mina Raya. Hal itu tampak dari gelang identitas warna kuning yang dikenakan di salah satu pergelangan tangan masing-masing. Gelang tersebut berisi keterangan identitas masing-masing dan barcode.
Ataur dan Thuhah sama-sama datang dan terdampar di Aceh dari dua kapal berbeda. Ataur ikut kapal sendirian, sementara Thuhah bersama kedua orangtua dan dua adik perempuannya. Mereka sama-sama berangkat dari lokasi penampungan pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Saya ingin bisa sekolah, kalau perlu sampai jenjang PhD.
Ataur menyebut dirinya dan hampir 200 pengungsi lain berangkat sejak dua pekan sebelum akhirnya mereka tiba di Aceh. Selama belasan hari mereka terombang-ambing di lautan tanpa kepastian.
Saat bercerita, Ataur mampu menyampaikannya dalam bahasa Inggris yang lumayan lancar ketimbang beberapa rekannya yang lain. Dia mengaku belajar bahasa Inggris saat tinggal di kamp penampungan pengungsi di Cox’s Bazar.
Saat ditanya ke mana sebetulnya tujuan mereka, baik Ataur maupun Thuhah mengatakan tak tahu pasti dan hanya mengatakan yang penting mereka bisa keluar dari Bangladesh.
Mereka juga mengaku tak keberatan jika memang harus tinggal di Indonesia walau keduanya ingin menuju dan bekerja ke Malaysia. Keinginan untuk bisa bekerja dan menghasilkan uang disampaikan secara tegas oleh Thuhah, terutama lantaran ingin membantu kedua orangtuanya.