Nelayan Bitung Akan Demo Lagi agar Penangkapan Ikan Terukur Batal
Aliansi nelayan dan beberapa organisasi masyarakat di Bitung akan kembali menggelar demonstrasi untuk menolak penangkapan ikan terukur. KKP diminta berbenah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Aliansi nelayan dan beberapa organisasi masyarakat di Bitung, Sulawesi Utara, akan kembali menggelar demonstrasi untuk menolak pemberlakuan kebijakan penangkapan ikan terukur. Pemerintah pusat diharapkan dapat menanggapinya dengan menyempurnakan data perikanan serta menggelar sosialisasi yang lebih intensif.
Julius Hengkengbala, Ketua Umum Gerakan Nelayan Perkasa Indonesia (GNPI) yang berbasis di Bitung, mengumumkan rencana aksi menentang penangkapan ikan terukur (PIT) itu, Kamis (23/11/2023). Aksi akan digelar pada Senin (27/11/2023) pagi di depan kantor Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung.
Massa dari GNPI, Yayasan Cahaya Mercusuar Indonesia, Brigade Manguni Indonesia, serta Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan akan berkumpul di pelabuhan pada pukul 08.00 dengan mengenakan kaus hitam. Mereka kemudian akan berjalan ke kantor PPS Bitung untuk menentang ”Peraturan Pembunuh (PP)” Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Aksi tersebut akan menjadi yang kedua kalinya tahun ini setelah Mei lalu. Saat itu, jumlah demonstran di depan kantor Wali Kota Bitung diklaim melampaui 1.000 orang.
Namun, para nelayan di Bitung hingga kini masih mengikuti berbagai ketentuan, seperti membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascapenangkapan. Mereka juga tetap menggunakan aplikasi e-PIT untuk, antara lain, pengajuan laporan penghitungan mandiri (LPM), surat laik operasi (SLO), dan surat izin berlayar (SIB).
”Nelayan sekarang diam karena menunggu, mungkin ada kebijakan lanjutan karena mereka (Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP) pikir ini (PIT) salah. Tetapi, kalau menterinya masih menganggap ini benar, saya enggak tahu lagi apa yang terjadi nanti,” kata Julius.
Sebelumnya, Abrizal Ang, salah satu pengusaha pengolahan ikan di Bitung, menyebut tingkat kepercayaan nelayan kepada industri sangat rendah selama 10 tahun terakhir. Ini dimulai dari pelarangan alih muatan di tengah laut (transshipment) dan moratorium kapal berbobot lebih dari 30 gros ton serta eks asing pada 2014.
Pada 2021, di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, KKP menggulirkan wacana PIT yang berpusat pada pemberlakuan kuota tangkapan tahunan dan PNBP pascaproduksi. Pada 2022, kuota tangkapan untuk keperluan industri ditetapkan 4,89 juta ton, kemudian direvisi menjadi 5,99 juta ton.
Jumlah itu masih di bawah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), yakni 8,6 juta ton dari estimasi potensi sumber daya perikanan 12,01 juta ton. ”Kalau sistem kuota diterapkan, tetapi (negara) tetangga kita enggak, yang rugi siapa? Ikan ini, kan, enggak dipagari, tetap beruaya. Kalau kita berkuota, (tetapi) sebelah enggak, yang rugi kita,” kata Abrizal dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Nelayan sekarang diam karena menunggu, mungkin ada kebijakan lanjutan karena mereka pikir ini salah. Tetapi, kalau menterinya masih menganggap ini benar, saya enggak tahu lagi apa yang terjadi nanti.
Soal ini, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Ridwan Maulana mengatakan, PIT dibuat untuk mencari titik keseimbangan antara menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan lingkungan serta memaksimalkan manfaat ekonomi darinya bagi kesejahteraan bangsa. Hal ini diwujudkan dengan pemberlakuan kuota.
”Misalnya, perusahaan A dapat kuota 500 ton. Selama satu tahun, kuota itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada lagi unsur perkiraan dan miss dari pelaporan hasil tangkapan. Harapannya, terjadi kelestarian sumber daya perikanan dan ujung-ujungnya keberlanjutan usaha perikanan tangkap,” katanya.
Pengusaha perikanan tangkap juga dapat merencanakan produksinya selama setahun dengan lebih baik. ”Dengan kuota 1.000 ton, ternyata cukup 20 kapal. Jadi bisa efisien dengan mengurangi armada dan beban lain seperti BBM, perawatan, docking (biaya sandar), dan lain-lain,” tambah Ridwan.
Negara juga dapat memetik untung dari sistem ini dalam bentuk PNBP yang dipungut setelah penangkapan. Ridwan mengatakan, capaian tertinggi PNBP dari perikanan tangkap tercatat pada 2022, yakni Rp 1,2 triliun. Ini masih jauh dari potensi maksimal yang bisa didapat.
”Side effect dari PIT ini akan ke PNBP yang selama ini rendah. Padahal, tahun 2020 produksi kita menyentuh 8 juta ton, nilai (ekonomisnya) Rp 200 triliun,” ujar Ridwan.
Kendati demikian, Ketua Bidang Industri Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi meminta pemerintah memperjelas dari mana angka Rp 200-an triliun tersebut atau tepatnya Rp 224 triliun dari produksi sebesar 7,7 juta ton.
Mengacu data 2022, Hendra menyebut total kapasitas kapal izin pusat berukuran 30 GT atau lebih hanya 450.000-550.000 GT. Dikalikan angka produktivitas rata-rata satu dan harga patokan ikan Rp 15.000 per kg, nilai produksi perikanan ia perkirakan tidak lebih dari Rp 8,5 triliun (Kompas, 27/7/2022).
”Volume produksi hasil tangkapan tentu terkait erat dengan kapasitas GT kapal. Ibarat kita mempunyai mesin yang kapasitasnya 3 ton, tidak mungkin bisa memproduksi 30 ton,” kata Hendra via teks.
Hal ini berlaku pula di Zona 2 Penangkapan Ikan Terukur yang mencakup Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 dan 717. Hendra mengatakan, per 6 November 2023, total kapasitas kapal yang beroperasi di zona terdekat dengan Bitung itu adalah 84.429 GT. Kapasitas itu sangat jauh dari JTB sebesar 1,4 juta ton di zona itu, hanya 11,12 persen di WPP 716 dan 9,77 persen di WPP 717.
”Yang namanya estimasi potensi itu uncertainty-nya tinggi. Siapa yang tahu ikan di laut itu 12,01 juta ton? Jadi, dari sisi kapasitas tangkapan, kita mau tingkatkan sampai berapa? Kita harus lihat catch per unit effort-nya (untuk mengukur ketersediaan satu spesies). Kalau berdasarkan kuota, jangan-jangan malah membahayakan sustainability,” kata Hendra.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam meminta KKP menggencarkan sosialisasi sebelum menerapkan PIT sepenuhnya. Sebagai tahap awal, ia meminta KKP hanya memberlakukan PNBP pascaproduksi secara penuh. Sistem kuota dapat menyusul pada 2025.
”Ini masa transisi. PP No 11/2023 baru keluar Maret 2023. Belum semua masyarakat tahu, seperti kami di Sulut. Kebijakan baru pasti ada banyak kendala di lapangan. Jadi, jangan terburu-buru dulu, persiapkan dengan matang,” ujarnya.
Terlepas dari usulan tersebut, ia menegaskan, sektor perikanan tangkap sudah menjalankan kewajibannya dengan baik. Dia mengatakan, setoran PNBP dari Sulut menurut data e-PIT sudah mencapai Rp 10 miliar.
”Kami punya 13 kabupaten/kota yang punya laut dari total 15. Cukup besar, termasuk tiga (kabupaten) kepulauan. Siapa yang sosialisasi ke daerah sana? Kalau tidak ada dana cukup, bagaimana?” kata Tienneke.