Maluku Barat Daya Minta Kaji Ulang Amdal Proyek Blok Masela
Pengakuan terhadap dampak lingkungan bagi masyarakat Maluku Barat Daya penting untuk memastikan proyek raksasa Blok Masela berjalan lancar. Aspek keadilan lingkungan bagi warga perlu diperhatikan.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Masyarakat Maluku Barat Daya meminta adanya kajian lingkungan ulang terhadap kehadiran proyek Blok Masela. Proyek tersebut dinilai akan memberikan dampak lingkungan yang besar bagi masyarakat pesisir di sana.
Ketua Ikatan Intelektual Maluku Barat Daya (Itamalda) Aholiab Watloly meminta pihak Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) dan Inpex Masela Ltd, sebagai pengelola Blok Masela, meninjau ulang dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dibuat sebelumnya.
Permintaan untuk mengulang proses amdal mencuat disebabkan Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) sebelumnya dinilai tidak akan terdampak dalam pengembangan Blok Masela. Padahal, sebanyak 8 sumur dari 12 sumur gas di Blok Masela berada di perairan MBD.
Tekanan untuk memasukkan Kabupaten MBD sebagai wilayah terdampak dan juga penghasil dinilai bukan untuk mendapatkan dana pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR). Lebih dari itu, aktivitas pengembangan Blok Masela harus memberikan pengakuan terlebih dahulu terhadap wilayah tersebut.
”Kami tidak mencari dana CSR atau bantuan pendanaan, tapi pengakuan dari pemerintah dan Inpex Masela Ltd terhadap eksistensi MBD. Jangan kami hanya dilibatkan saat terakhir saja agar memenuhi amanat undang-undang. Kami mendukung program ini, tapi ini bukan masalah dukung-mendukung, melainkan soal dampak yang akan kami terima nantinya,” ucapnya di Ambon, Rabu (22/11/2023).
Kehadiran proyek raksasa Blok Masela diharapkan mampu memberi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup bagi warga MBD. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022, Indeks Pembangunan Manusia MBD berada di angka 62,37, atau menjadi yang terendah di Provinsi Maluku. Jumlah penduduk MBD berkisar 82.000 penduduk, dengan proyeksi pada 2045 sebesar 105.000 penduduk.
Berkaca pada fakta di atas, masyarakat MBD perlu mendapatkan pengakuan agar manfaat ekonomi dari proyek tersebut bisa digunakan untuk peningkatan kualitas hidup. Apabila tidak, proyek Blok Masela hanya membawa permasalahan sosial baru di sana.
Guru Besar Kimia Anorganik Universitas Pattimura Yusthinus Male menjelaskan, tidak adanya pengakuan terhadap MBD dalam dokumen amdal Blok Masela tahun 2016, ditengarai karena adanya kekeliruan para penyusun. Hal ini terlihat dari pernyataan penyusun dokumen yang menyebut Kabupaten MBD belum eksis dan masih menyatu bersama Kabupaten Kepulaun Tanimbar (KKT), yang dahulu bernama Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Padahal Kabupaten MBD sudah mekar sejak tahun 2008. Adapun KKT menjadi lokasi yang dipilih sebagai tempat pembangunan kilang gas alam cair (LNG) Blok Masela. ”Dari pertemuan saya dengan para penyusun dokumen amdal, mereka anggap MBD belum ada, padahal sudah mekar cukup lama. Ini keliru besar, apalagi yang menyusun para profesor dari perguruan tinggi ternama,” ucapnya.
Terkait dampak, dari hasil perhitungannya, total air olahan yang dibuang oleh Blok Masela nantinya bisa mencapai 2 juta liter per hari. Air hasil pemisahan dari gas ini masih mengandung polutan berbahaya, seperti benzena, toluena, dan xylena (BTX). Dengan adanya embusan angin barat menuju timur yang biasa terjadi pada Juni-November setiap tahun. Hal tersebut membuat pulau-pulau di MBD berpotensi terdampak limbah dari pengelolaan Blok Masela.
”Harus turun kembali ke lapangan untuk amdal. Lokasi pengeboran ada di persimpangan KKT dan MBD, tetapi MBD tidak diakui sebagai yang terdampak. Berdasarkan dokumen, pembuangan air olahan ini hanya sedalam 12 meter, sedangkan lapisan termoklin yang terus berotasi di perairan MBD ada di 0-50 meter dari permukaan air. Jadi, pasti ikut terbawa ke pesisir kami,” ujarnya.
Amdal ulang
Pihak SKK Migas dan Inpex Masela Ltd pun mengaku perlu ada pengakuan bagi Kabupaten MBD sebagai wilayah terdampak Blok Masela. Hal ini juga penting untuk menghindari konflik sosial apabila Blok Masela resmi beroperasi.
Prinsip kami ingin membuat program ini lancar. Maka, penyelesaian polemik ini lebih cepat, lebih bagus. (Ali Dikri)
Kepala Divisi Formalitas SKK Migas George Simanjuntak menjelaskan, pihaknya telah menampung semua aspirasi dari perwakilan masyarakat MBD. SKK Migas akan memfasilitasi permintaan masyarakat untuk adanya peninjauan ulang terhadap amdal ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Meskipun demikian, SKK Migas berharap pengajuan revisi amdal tersebut tidak mengganggu operasi Blok Masela yang ditargetkan pada 2029. Apalagi, pada 2030, Indonesia ditargetkan bisa menghasilkan minyak 1 juta barel per hari dan gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik gas pada 2030.
Minimnya komunikasi antara SKK Migas dan masyarakat MBD salah satunya disebabkan pemerintah tengah fokus dalam pemindahan hak partisipasi dari Shell kepada Pertamina dan Petronas dalam beberapa tahun ke belakang. Keadaan pandemi Covid-19 juga membuat proses sedikit terhambat. Pihak SKK Migas juga siap melibatkan masyarakat dalam rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) Blok Masela.
”Kami merasa penting untuk mendapatkan acknowledgment atau pengakuan bahwa MBD memang wilayah terdampak. Kami akan koordinasi dengan otoritas berwenang untuk ini, agar kelangsungan proyek ini berjalan lancar. Seluruh aspirasi masyarakat ini, akan kami sampaikan ke KLHK,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Manager Health Safety Security Environment Inpex Masela Ali Dikri menjelaskan, pengakuan terhadap keberadaan MBD sebagai wilayah terdampak penting untuk keberlangsungan proyek Blok Masela. Pihaknya pun akan terus berkoordiansi dengan SKK Migas dan juga KLHK agar permintaan masyarakat dapat diimplementasikan.
”Prinsip kami ingin membuat program ini lancar. Maka, penyelesaian polemik ini, lebih cepat, lebih bagus,” ucapnya.