Maluku Barat Daya Tidak Ingin Jadi Penonton di Blok Masela
Pengembangan proyek strategis Blok Masela di Maluku perlu memperhatikan aspek keadilan, khususnya bagi kawasan Maluku Barat Daya sebagai kawasan yang terdampak. Hal ini agar Blok Masela membawa kesejahteraan bagi semua.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·5 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kawasan Maluku Barat Daya dinilai sebagai salah satu daerah yang terdampak dari aktivitas eksplorasi dan pengeboran di lapangan gas abadi Blok Masela, Maluku. Hanya saja, daerah ini tidak dikategorikan sebagai wilayah terdampak dan wilayah penghasil. Pengelola Blok Masela dan pemerintah diminta memastikan agar proyek bernilai ratusan triliun ini memberikan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Maluku.
Guru Besar Kimia Anorganik Universitas Pattimura Yusthinus Male menjelaskan, dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Blok Masela, kawasan Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) tidak menjadi bahasan utama. Padahal, penamaan Blok Masela didasarkan pada adanya kesamaan struktur batuan di Pulau Masela yang terletak di Kabupaten MBD. Untuk itu, MBD perlu dikategorikan sebagai wilayah penghasil.
Amdal Blok Masela dinilai hanya fokus mengenai dampak lingkungan pada wilayah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, yang berada di sisi timur wilayah eksplorasi. Wilayah Tanimbar disebut menjadi lokasi pembangunan kilang gas cair atau liquid natural gas (LNG) Blok Masela.
Inpex, perusahaan minyak dan gas asal Jepang, ditunjuk menjadi pengelola dengan hak partisipasi mayoritas. Secara geografis, Blok Masela terletak di laut lepas yang berbatasan dengan Kepulauan Tanimbar di sisi timur dan Pulau Babar, MBD, di sisi barat. Jarak antara blok Masela dan dua pulau tersebut hingga ratusan kilometer.
”Masyarakat MBD melalui Ikatan Intelektual Maluku Barat Daya (Itamalda) baru dilibatkan di sidang komisi amdal terakhir pada Februari 2021. Kami meminta ada amdal ulang dengan memasukkan MBD sebagai wilayah penghasil dan wilayah terdampak, tidak hanya Kepulauan Tanimbar yang masuk,” kata Yusthinus di Ambon, Selasa (21/11/2023).
Di samping penamaan, dari 12 sumur gas yang terdapat di Blok Masela, delapan di antaranya berada di perairan MBD sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah penghasil juga.
Peneliti yang berfokus pada bidang kimia mineral ini menjelaskan, pengeboran, pemrosesan, hingga pengiriman gas di Blok Masela menggunakan kombinasi fasilitas darat dan laut. Secara sederhana, saat gas diambil dari batuan berpori di dasar laut, air laut juga ikut tersedot. Setelahnya, gas tersebut diolah untuk memisahkannya dari kandungan air. Gas lalu dikirim ke kilang LNG di darat, sementara air dialirkan lagi ke lautan. Air hasil pemisahan dari gas ini masih mengandung polutan berbahaya, seperti benzena, toluena, dan xylena (BTS).
Dengan mengacu pada pola tiupan angin dalam musim peralihan musim barat menuju timur, air olahan yang dibuang tersebut akan terbawa hingga ke perairan dan pulau-pulau di MBD sehingga berpotensi mencemari kawasan tersebut. Kondisi ini biasa terjadi pada Mei-Desember setiap tahunnya.
Dari hasil perhitungannya, total air olahan yang dibuang setiap hari bisa mencapai 2 juta liter per hari. Keadaan termoklin atau perbedaan suhu dalam lapisan laut juga membuat air akan terus bergerak menuju MBD hingga ke Laut Banda. Lapisan termoklin perairan MBD berada di level 0-50 meter dari permukaan laut.
”Setiap enam bulan setiap tahun masyarakat pasti terdampak karena itu sudah menjadi pola musim di sini. Jika ingin membuang air olahan itu harus hingga 50 meter ke bawah karena kalau tidak akan terbawa arus termoklin. Sementara di oil rig tidak mungkin diolah karena tidak akan cukup kapasitasnya. Ini mengapa MBD juga pasti akan terdampak,” ujarnya.
Selama MBD tidak masuk dalam amdal, masyarakat hanya menonton dan menerima dampak lingkungannya.
Hak partisipasi
Setelah negosiasi alot, pada Oktober 2023, Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Petronas resmi menggantikan Shell yang mundur dari proyek Masela. Dengan itu, komposisi hak partisipasi atau participating interest (PI) menjadi Inpex sebesar 65 persen, PHE 20 persen, dan Petronas 15 persen.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno menjelaskan, Maluku serta wilayah Kabupaten MBD dan Kabupaten Tanimbar harus mendapatkan PI yang setara pula. Hal ini agar Maluku mendapatkan bagian yang adil dari hasil buminya. Ia sekaligus mengkritik Inpex yang tidak memasukkan Kabupaten MBD sebagai wilayah terdampak.
Dari pertemuannya dengan pihak Inpex, ia sudah mendapatkan komitmen dari pihak perusahaan untuk membangun sejumlah fasilitas, seperti pusat pendidikan pelatihan pertambangan minyak gas serta bandara di kawasan Pulau Babar, MBD. Kehadiran proyek strategis nasional ini harus dirasakan seluruh warga Maluku. Hal ini juga perlu menjadi pelajaran bagi pengembangan blok migas lain di Maluku, yakni Blok Moa Selatan, Blok Moa Utara, Blok Babar Selaru, dan lainnya.
”Pemerintah pusat berjanji ada PI sebesar 10 persen bagi Maluku yang dibagi setara sebanyak 3 persen untuk Kabupaten MBD, 3 persen untuk Kabupaten Tanimbar, lalu 4 persen untuk provinsi. Semua harus adil. Hal ini semoga direalisasikan dan juga perjanjian yang disepakati dengan Inpex,” ucap pria yang pernah menjabat Bupati MBD selama dua periode ini.
Ketua Itamalda Aholiab Watloly menyayangkan tidak adanya Kabupaten MBD dalam Amdal yang dibuat oleh Inpex. Dalam waktu dekat, pihak Itamalda akan bertemu khusus dengan Inpex dan Satuan Kerja Khusus Minyak Gas.
Pelibatan masyarakat MBD dinilai minim, bahkan baru dilibatkan saat amdal sudah hampir selesai. Pihaknya sudah beberapa kali berkunjung ke Jakarta dengan harapan wilayahnya masuk sebagai wilayah penghasil dan terdampak, tetapi hasilnya nihil. Penamaan blok dengan menggunakan nama daerah di MBD seharusnya menjadi alasan utama perlunya pelibatan masyarakat di wilayah tersebut.
”Selama MBD tidak masuk dalam dokumennya Inpex, selama itu pula masyarakat hanya jadi penonton. Kita akan perjuangkan terus karena MBD pasti akan terdampak di masa depan nanti,” ucapnya.