Mendorong mereka kembali ke laut sama halnya menghadapkan mereka pada kematian. Apalagi, para pengungsi banyak perempuan dan anak-anak.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
AFP/RAHMAT MIRZA
Warga Rohingya dikawal setelah perahu mereka mendarat di Bluka Teubai, Aceh Utara, Aceh, pada 16 November 2022, seusai berlayar lima pekan di laut.
BANDA ACEH, KOMPAS — Sedikitnya 1.012 pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, masih berada di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur, Provinsi Aceh. Atas dasar menyelamatkan nyawa manusia, para pihak mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi Rohingya.
Hingga Selasa (21/11/2023), sebanyak 721 pengungsi Rohingya berada di Pidie. Sebanyak 480 orang ditampung di bangunan milik Yayasan Mina, sedangkan sisanya ditempatkan di balai desa tidak jauh dari pantai.
Sementara 256 orang masih berada di Bireuen. Para pengungsi menempati tenda dan balai nelayan di tepi pantai. Sisanya, sebanyak 35 orang, berada di Aceh Timur.
Penjabat Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto, saat dihubungi dari Banda Aceh, mengatakan, Pemkab Pidie menempatkan pengungsi di tepi pantai Desa Kulee, Kecamatan Batee, karena ada reaksi dari warga menolak kehadiran pengungsi.
”Oleh karena itu, kami lokalisasi di bibir pantai sambil menunggu kebijakan dari pemerintah pusat,” kata Wahyudi.
Sementara itu, Penjabat Bupati Bireuen Aulia Sofyan mengatakan, pihaknya sudah melaporkan keberadaan pengungsi Rohingya kepada kementerian dan lembaga terkait. Pemkab Bireuen memastikan pengungsi tetap berada di daratan hingga ada keputusan dari pemerintah pusat.
”Saya lapor ke atas, nanti akan dibawa ke sidang kabinet. Pak Presiden akan ambil sikap. Baru ada perintah untuk kami (pemkab). Saya tidak mengambil kebijakan apa-apa,” kata Aulia.
Menurut Aulia, persoalan penanganan pengungsi luar negeri merupakan kewenangan negara atau pemerintah pusat. Meski demikian, Aulia mengatakan, kebutuhan pengungsi tetap diberikan sembari menanti petunjuk dari pusat.
Dalam konferensi pers secara daring, Selasa (21/11/2023), para pegiat lembaga kemunusiaan mendesak Pemerintah RI untuk menerima pengungsi dengan menempatkan ke lokasi yang representatif. Pengungsi membutuhkan perlindungan untuk keberlangsungan hidup.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna, mengatakan, hak hidup merupakan hak asasi manusia sehingga pengungsi Rohingya berhak untuk mempertahankan hidupnya.
Hadirnya pengungsi Rohingya ke Indonesia merupakan perjuangan mereka untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, Azharul mendesak Pemerintah RI untuk menerima para pengungsi.
”Jika pengungsi Rohingya didorong kembali ke laut, itu preseden buruk bagi perlindungan kemanusiaan di Indonesia,” kata Azharul.
Pada pekan lalu, sebuah kapal pengungsi Rohingya yang mendarat di Bireuen telah didorong kembali ke laut. Beberapa jam kemudian kapal itu mendarat di Kabupaten Aceh Utara. Namun, lagi-lagi kapal tersebut didorong kembali ke samudra.
Azharul mengatakan, meski warga telah membantu logistik dan bahan bakar, mendorong mereka kembali ke laut sama halnya menghadapkan mereka pada kematian. Apalagi, para pengungsi banyak perempuan dan anak-anak.
Menurut Azharul, Pemerintah RI tidak menerima pengungsi dengan dalih tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tidak dapat menjadi alasan. Sebab, bicara pengungsi Rohingya merupakan upaya untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Gelombang pengungsi Rohingya pertama sekali masuk ke Aceh tahun 2009. Saat ini warga menyebutnya ”manusia perahu”. Tahun-tahun berikutnya kapal Rohingya terus berdatangan.
Jika pengungsi Rohingya didorong kembali ke laut, itu preseden buruk bagi perlindungan kemanusiaan di Indonesia.
Namun, baru pada tahun 2023, muncul aksi penolakan pengungsi Rohingya. Azharul melihat penolakan itu tidak sepenuhnya datang dari warga Aceh, tetapi ada pihak-pihak tertentu yang mendorong agar terjadi penolakan.
”Warga Aceh sangat ramah dan penuh kasih sayang. Barangkali ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk menolak pengungsi,” kata Azharul.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, ini bukan kali pertama Rohingya terdampar ke Indonesia. Sebelumnya, Indonesia menunjukkan solidaritas yang tinggi dengan memberi izin mendarat dan memberikan fasilitas penampungan sementara.
”Indonesia bukan jadi negara tujuan, tetapi di sisi lain Indonesia juga tidak boleh menolak,” kata Usman.
Menurut Usman, meski tidak meratifikasi konvensi pengungsi, Indonesia juga berkewajiban melindungi mereka. Mengusir para pengungsi ke laut adalah bentuk sikap yang tidak menjunjung nilai kemanusiaan.
Usman menilai belakangan ada keraguan pada Pemerintah RI untuk menerima pengungsi Rohingya karena mempertimbangkan akan berdampak pada hubungan bilateral dengan Myanmar.
Usman mendorong negara-negara ASEAN agar mengadakan dialog membahas penanganan pengungsi Rohingya dan mengatasi krisis yang sedang terjadi.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Pengungsi etnis Rohingya yang berlayar dari Bangladesh pada Minggu (8/1/2023) terdampar di Pantai Kuala Gigeng, Desa Lam Nga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Jumlah pengungsi yang terdampar sebanyak 184 orang.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia Mitra Salima Suryono menuturkan, pihaknya berterima kasih kepada semua pihak yang telah menerima pengungsi Rohingya mendarat di Aceh.
Mitra mengatakan, selama ini kerja sama dengan para pihak berjalan baik, misalnya pemerintah setempat menentukan akomodasi. UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) meningkatkan fasilitas dan kebutuhan logistik.
”UNHCR tidak bekerja sendiri. Banyak mitra yang juga memiliki pendanaan untuk mencukupi kebutuhan makanan, sanitasi, pengobatan, dan pendidikan untuk para pengungsi,” kata Mitra.