Rasionalisasi terhadap angka inflasi dari Badan Pusat Statistik mengerek Upah Minimum Provinsi DIY tahun 2024 sebesar Rp 144.115,22, naik 7,27 persen dari UMP 2023.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2024 naik sebesar 7,27 persen sehingga menjadi Rp 2.125.897,61 per bulan. Salah satu yang mengerek kenaikan upah adalah dilakukannya rasionalisasi terhadap variabel angka inflasi dari Badan Pusat Statistik. Namun, sebagian elemen buruh menyatakan kenaikan itu masih jauh dari harapan.
Pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY 2024 itu disampaikan Sekretaris Daerah DIY Beny Suharsono, Selasa (21/11/2023), di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta. Saat pengumuman, hadir pula perwakilan unsur pekerja, unsur pengusaha, dan unsur pakar/akademisi yang tergabung dalam Dewan Pengupahan DIY.
”Kita semua bermusyawarah bersama Dewan Pengupahan Provinsi dan kita sepakat, tetapi jangan dibayangkan bulat utuh, ya. Sepakat dengan dinamika tertentu,” ujar Beny.
Dia menyebutkan, penentuan kenaikan UMP 2024 dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan. Variabel yang dipertimbangkan adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang rentangnya antara 0,1 hingga 0,3.
Beny mengatakan, Dewan Pengupahan DIY memutuskan mengambil koefisien indeks yang tertinggi, yakni 0,3. Selain itu, dari angka inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 3,3 persen, para pihak memilih bersepakat dengan pandangan akademisi sehingga menghasilkan angka inflasi 5,7 persen.
Semua itu menjadi bilangan pengali dalam menghitung kenaikan UMP. ”Ini menghasilkan keputusan kenaikan UMP tahun 2024 sebesar Rp 144.115,22. Jadi, naiknya cukup signifikan meskipun di sana-sini ada dinamikanya,” ucap Beny.
Joko Susanto, anggota Dewan Pengupahan DIY dari unsur akademisi/pakar, menyatakan, variabel inflasi yang digunakan dalam perhitungan UMP 2024 adalah inflasi yang betul-betul dirasakan para pekerja. ”Ini adalah inflasi pada barang-barang kebutuhan pokok,” kata dosen ilmu ekonomi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta ini.
Joko menyebut, terdapat dua komponen utama terkait kebutuhan pokok itu, yakni kelompok makanan dan nonmakanan atau kesehatan. Dari situ, dia menjelaskan, dihitunglah berapa kenaikan harga yang betul-betul dirasakan para pekerja.
Berdasarkan data BPS, inflasi kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencapai 5,97 persen. Adapun kelompok kesehatan inflasinya sebesar 5,42 persen. Dari dua komponen itu, unsur pakar/akademisi merekomendasikan besaran inflasi sebesar 5,7 persen.
Anggota unsur pakar lainnya, Arif Hartono, menambahkan, pada prinsipnya Dewan Pengupahan DIY melakukan rasionalisasi inflasi. Pasalnya, angka inflasi yang dirilis BPS, yakni 3,3 persen, mencakup kurang lebih 400 komoditas. ”Itu tentu saja tidak semuanya relevan dengan kebutuhan hidup pekerja,” ucapnya.
Proses rasionalisasi ini yang membuat variabel inflasi menjadi 5,71 persen. ”Kalau kita lihat angka inflasi 3,3 persen, masak iya sih segitu. Kenaikan harga barang-barang kelihatannya juga cukup banyak,” kata dosen ekonomi dan bisnis Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Kenaikan upah buruh yang tak signifikan tidak akan mampu menjawab problem klasik DIY, yaitu kemiskinan dan ketimpangan.
Koordinator Dewan Pengupahan DIY dari unsur pekerja, Yatiman, mengatakan, enam orang dari serikat pekerja di dewan pengupahan sepakat memakai PP No 51/2023 yang dirasionalisasi. Namun, ada satu orang yang tidak sepakat dan meminta kenaikan UMP sebesar 25 persen.
”Kami cukup menerima karena mungkin jalan tengah yang diambil oleh Bapak Gubernur. Kami harap semua pekerja mensyukuri, karena itu tadi, supaya pengusaha tetap berjalan dan buruh meningkatkan produktivitasnya sehingga bisa mencapai tujuan kesejahteraan bersama,” katanya.
Timothy Apriyanto, anggota Dewan Pengupahan DIY dari unsur pengusaha, menyatakan, pihaknya menghargai, menghormati, dan percaya dengan apa yang disampaikan para pakar/akademisi untuk melakukan rasionalisasi terhadap angka inflasi. Pihaknya pun berkomitmen menaati keputusan gubernur tentang UMP 2024.
Meski dewan pengupahan telah bersepakat, sebagian elemen serikat buruh menilai kenaikan UMP 2024 itu belum cukup. Salah satu yang menolak penetapan UMP 2024 adalah Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY.
Melalui pernyataan tertulis yang diterima Kompas, Koordinator MPBI DIY Irsad Ade Irawan menyatakan prihatin atas masih berlangsungnya upah murah di DIY. Irsad pun mendesak Gubernur DIY merevisi UMP DIY menjadi Rp 3,7 juta-Rp 4 juta.
”Kenaikan upah buruh yang tak signifikan tidak akan mampu menjawab problem klasik DIY, yaitu kemiskinan dan ketimpangan,” ujar Irsad.
Dia menambahkan, dengan UMP 2024 yang di bawah kebutuhan hidup layak (KHL), masalah ketidakmampuan mengakses makanan bergizi berpotensi terulang. Buruh di DIY pun tetap terancam tidak bisa membeli rumah karena kredit rumah terlalu mahal untuk dicicil dengan UMP.