Ironi Bekas Tambang Timah, Sedap Dipandang, Berbahaya pada Masa Depan
Jejak lubang tambang timah di Bangka Belitung sangat mengkhawatirkan. Selintas lubang tampak indah, tetapi menyimpan bom waktu bencana kalau fungsi lahannya tidak dikembalikan seperti semula.
Pertambangan timah yang masif dan tidak bertanggung jawab telah menimbulkan jejak lubang tambang menganga di hampir semua wilayah Pulau Bangka dan Belitung. Sekilas, lubang-lubang itu seperti danau dengan warna air yang memikat. Namun, di balik keindahan itu, sejatinya lubang bekas tambang menyimpan bom waktu bencana apabila fungsi lahannya tidak segera dikembalikan seperti semula.
Suara kicau burung yang berpadu siulan serangga menambah syahdu suasana tenteram di antara rimbun pepohonan cemara laut di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang di Desa Riding Panjang, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Jumat (17/11/2023). Siapa sangka, 10 tahun yang lalu, kawasan itu hanya berupa pasir putih gersang tanpa sebatang pohon pun yang tumbuh di sana.
Baca Juga: Ekspor Pasir, Reklamasi dan Ancaman Batas Maritim
Tidak ada satu pun makhluk yang bisa hidup di sana, termasuk di beberapa danau yang dahulu berwarna hijau kebiruan. Pohon-pohon liar tidak bisa tumbuh karena tanah di sana sempat kehilangan sama sekali unsur haranya. Adapun air danaunya tidak bisa menjadi sumber kehidupan karena berkadar asam tinggi dengan pH rendah di angka sekitar 3.
Betapa tidak, dahulu kawasan seluas kurang lebih 36,6 hektar itu adalah lokasi tambang perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) PT Timah yang telah dieksplorasi bertahun-tahun hingga ditinggalkan atau tidak dioperasikan lagi pada 2005. Akan tetapi, mulai 2013, PT Timah melakukan proyek rehabilitasi di sana.
Proyek yang dikelola anak perusahaan bernama PT Timah Agro Manunggal itu mengusung konsep edu ecotourism yang mengintegrasikan sektor pertanian, perkebunan, peternakan, agrowisata, wisata air, serta pusat penyelamatan satwa (PPS). Dengan beragam perlakuan khusus, tanah di sana mendapatkan kembali unsur haranya, sedangkan air danaunya juga tidak lagi asam.
Penghijauan dilakukan dengan menanami sejumlah tumbuhan asli kawasan itu, antara lain cemara laut dan tanaman buah-buahan, seperti jambu air, manga, durian, dan buah naga. Di danau, ditebar beberapa jenis ikan air tawar. Dalam tempo satu dekade, semuanya membaik sehingga kawasan itu berkembang bak hutan alami.
Baca Juga: Tak Melibatkan Masyarakat, Proses Rehabilitasi Lahan Kurang Optimal
”Sekarang, satwa-satwa liar pun mulai kembali ke sini. Yang pernah saya lihat, antara lain, burung bangau, ular, dan capung yang merupakan serangga indikator bahwa lingkungan itu baik,” ujar Endi Riadi Yusuf, Manajer Pusat Penelitian dan Konservasi Satwa Liar Alobi Foundation selaku pengelola PSS Kampoeng Reklamasi Air Jangkang.
Komitmen PT Timah
Kepala Bidang Komunikasi Perusahaan PT Timah Anggi Budiman Siahaan mengatakan, pihaknya berkomitmen melaksanakan penambangan berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan lingkungan. Maka itu, mereka melakukan reklamasi pascatambang berkelanjutan, antara lain dalam bentuk revegetasi. Reklamasi revegetasi dilakukan dengan penanaman pohon endemik lokal dan tanaman yang cepat tumbuh (fast growing).
Sebaliknya, reklamasi dalam bentuk lain disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pola reklamasi itu menjadi kawasan wisata terpadu, seperti di Kampoeng Reklmasi Air Jangkang dan Kampoeng Reklamasi Selinsing di Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Secara keseluruhan, PT Timah sudah melaksanakan reklamasi darat dengan luas mencapai 2.999,31 hektar di Bangka Belitung.
”Selain itu, kami juga melaksanakan reklamasi laut dengan melakukan penenggelaman artificial reef (terumbu karang buatan). Sudah dibuat artificial reef yang ditenggelamkan di perairan Bangka Belitung sebagai upaya untuk mendukung wisata bawah laut dan meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Di sisi lain, kami rutin melakukan penanaman mangrove dan pemantauan kualitas air laut,” tutur Anggi.
Selain itu, kami juga melaksanakan reklamasi laut dengan melakukan penenggelaman artificial reef (terumbu karang buatan).
Baca Juga: Bekas Tambang Merugikan
Terlepas dari itu, Anggi menekankan, pertambangan timah di Bangka Belitung tidak hanya dilakukan oleh PT Timah. Pertambangan dilakukan pula oleh pihak lain, termasuk yang tidak berizin. Aktivitas tanpa izin yang kian masif itu disinyalir sebagai pemicu terganggunya lingkungan. ”Itu karena mereka mengabaikan konsep penambangan yang baik dan benar,” katanya.
Belum sebanding
Namun, apa yang dilakukan oleh PT Timah belum bisa benar-benar disyukuri. Itu karena luasan wilayah yang telah mereka reklamasi masih jauh dibandingkan kawasan yang belum disentuh upaya serupa. Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz, terdapat 12.607 kolong atau lubang bekas tambang dengan luas akumulasi mencapai 15.579,747 hektar di seluruh Bangka Belitung.
Naasnya, air kolong itu sering dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh warga saat musim kering atau krisis air. Padahal, air kolong itu mengandung logam berat dan berkadar pH rendah yang bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Karena pembiaran, tanah di sekitar kolong yang labil sering menimbulkan korban jiwa tenggelam ke dalam kolong. Apalagi, kolong itu cukup dalam, bahkan bisa mencapai kedalaman belasan hingga puluhan meter.
Gawatnya lagi, tak sedikit kolong yang belum direklamasi disulap menjadi tempat wisata. Salah satunya tampak di Danau Kaolin di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Tempat wisata itu memiliki pasir putih yang terhampar mengelilingi sejumlah kolong, antara lain warna biru dan warna hijau. Apabila berfoto di sana, seolah-olah pelancong bersangkutan sedang berada di negara bersalju yang menawan.
Baca Juga: Menagih Komitmen Memulihkan Lahan Bekas Tambang
Akan tetapi, di balik daya pikatnya, pasir di bagian utara atau dari arah masuk tempat itu cukup terjal. Padahal, hampir semua bagian pasirnya labil atau rawan longsor karena gersang dan minim akar tumbuhan yang bisa menopang. Kalau tidak hati-hati dan terjatuh, itu bisa menimbulkan risiko besar karena setiap kolong ukurannya kira-kira seluas dua kali lapangan bola dan kedalaman rata-rata antara 14-24 meter.
”Danau Kaolin seharusnya tidak menjadi tempat wisata karena risikonya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Namun, kita tidak bisa pula menyalahkan warga yang memanfaatkan karena lokasi itu lama dibiarkan dan warga melihat ada peluang ekonomi di sana,” tutur Hafiz.
Memberikan dampak
Direktur Usaha Milik Desa (BUMDes) Nibung Jaya Abadi yang mengelola Danau Kaolin, Maryadi, menuturkan, Danau Kaolin adalah lubang bekas pertambangan timah milik PT Koba Tin, perusahaan swasta yang beroperasi di wilayah Koba, Bangka Tengah, mulai 1973 dan berakhir pada 2013. Seusai menjadi lokasi pertambangan rakyat selama 1999-2015, lokasi itu sempat ditinggalkan dan baru disulap menjadi tempat wisata pada 2017.
Danau Kaolin sempat menjadi tempat wisata populer sepanjang 2017-2020, antara lain menempati urutan ketiga kategori wisata unik dalam nominasi Anugerah Pesona Indonesia 2019. Sebelum pandemi Covid-19, jumlah wisatawan ke sana mencapai 700-an orang per hari di hari kerja dan 2.000-an orang per hari di waktu akhir pekan.
Untuk itu, tempat wisata yang bertarif masuk Rp 2.000 per orang itu sempat mendapatkan keuntungan bersih kurang lebih Rp 200 juta per tahun. Keuntungan itu 30 persen diserahkan ke desa, antara untuk kegiatan sosial. Sisanya, 70 persen untuk menggaji karyawan dan perawatan kawasan. ”Sudah banyak manfaat yang diberikan dari tempat ini, terutama membantu sekolah anak-anak, membiayai perawatan medis warga, dan membuka lapangan kerja baru,” ujar Maryadi.
Baca Juga: Tegakkan Aturan Reklamasi Tambang
Maryadi tidak menafikan belum ada sentuhan reklamasi yang dilakukan pihak terkait di kawasan tersebut. Sejauh ini, BUMDes Nibung Jaya Abadi bersama warga yang berinisiatif menanam akasia di sekitar kolong. Selebihnya, belum ada upaya reklamasi apa pun. Dari pemerintah, hanya dilakukan pengecekan rutin untuk memastikan air di sana tidak mengandung racun atau berbahaya bagi manusia. ”Ke depan, kami secara mandiri akan terus berusaha menghijaukan tempat ini,” katanya.
Endi mengatakan, reklamasi lubang-lubang bekas tambang sangat mendesak. Salah satunya untuk mengembalikan ruang hidup satwa. Dengan semakin masifnya pertambangan, ruang hidup antara satwa dan manusia kian tak berbatas. Akibatnya, konflik satwa dan manusia pun lebih sering terjadi.
Sejak 2016 hingga sekarang, misalnya, jumlah korban manusia yang meninggal akibat serangan buaya mencapai 36 jiwa dari sekitar 200 kasus serangan yang dilaporkan. Sebaliknya, jumlah buaya yang menjadi korban tak terhitung karena sering kali warga langsung mengambil tindakan sendiri dan sulit untuk dicegah.
”Saat ini, ada sekitar 30 buaya yang kami selamatkan di PPS Kampoeng Reklamasi Air Jangkang. Kami kesulitan melepasliarkan mereka kembali ke alam karena ada penolakan warga. Terakhir kali kami melepaskan mereka ke alam pada 2021 dan itu pun di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Sumatera Selatan,” ungkapnya.
Tanpa keseriusan dari pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab untuk mengembalikan fungsi alaminya, lubang bekas tambang akan terus menjadi ancaman yang penuh tipu daya. Keindahan yang ditimbulkan hanya sesaat dibandingkan dengan risikonya yang abadi hingga bisa kembali hijau seperti sedia kala.