Dilema Warga Aceh Hadapi Ribuan Pengungsi Rohingya Terus Berdatangan
Warga Aceh mulai terusik dan dilematis menghadapi ribuan pengungsi asal Rohingya yang terus berdatangan. Pemerintah perlu bertindak cepat agar kehadiran pengungsi tak timbulkan konflik dengan warga lokal.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Arus kedatangan pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar ke Provinsi Aceh semakin deras dan mulai timbulkan dilema. Dalam sepekan, lima kapal yang membawa lebih dari seribu pengungsi mendarat di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara.
Minggu (19/11/2023) dini hari, kapal berpenumpang 241 pengungsi Rohingya mendarat di Desa Kulee, Kecamatan Batee, Pidie. Kapal itu masuki perairan Pidie menjelang pagi.
”Para pengungsi kini beristirahat sementara di balai desa,” kata Ikhsan, Camat Batee.
Menurut dia, pihak kecamatan mulai kesulitan menangani pengungsi yang jumlahnya banyak itu. Warga telah membantu makanan seadanya. Tim medis juga memeriksa kesehatan pengungsi. Namun, ia berharap pemerintah segera bantu siapkan lokasi baru bagi para pengungsi tersebut.
Pada Minggu siang, sebuah kapal lainnya yang membawa 249 warga Rohingya mendarat di Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Para pengungsi itu masih dalam pendataan. Mereka juga ditampung sementara di balai desa.
Pada Selasa dan Rabu (14-15/11/2023), dua kapal mendarat di Pidie membawa sekitar 343 pengungsi. Pengungsi itu ditampung sementara di gedung milik sebuah yayasan.
Sementara pada Kamis (16/11/2023), kapal Rohingya mendarat di Desa Aron, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara. Kapal itu membawa 249 orang dan mendarat pukul 17.30 WIB. Kapal ini sempat mendarat di Bireuen, tetapi warga menolak kehadiran Rohingya dan mendorong kembali kapal itu ke lautan.
Setelah beberapa jam mendarat di Aceh Utara, warga di sana juga melakukan hal yang sama. Setelah membantu logistik, kapal tersebut didorong kembali ke samudra. Warga Aceh Utara dan Bireuen menolak kehadiran warga Rohingya karena mengetahui mereka kerap kabur dari kamp pengungsian.
Kepala Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Mukhtar menuturkan, warganya tidak bersedia menerima kehadiran pengungsi Rohingya. Ini bukan kali pertama Jangka menjadi lokasi pendaratan pengungsi Rohingya.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, pengungsi Rohingya banyak yang kabur dari kamp penampungan. Warga tidak mau desa mereka menjadi tempat transit bagi pengungsi.
Warga bersedia memberikan bantuan makanan dan minuman seadanya, termasuk bahan bakar minyak, serta menyediakan boat untuk menarik kapal yang ditumpangi imigran Rohingya kembali ke laut.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Aceh Kombes Joko Krisdiyanto mengatakan, penolakan murni datang dari warga setempat. Menurut Joko, warga menolak dengan alasan pengungsi Rohingya yang pernah terdampar sebelumnya berperilaku kurang baik. Kabur dari kamp dinilai sebagai bentuk ketidakpatuhan.
”Warga bersedia memberikan bantuan makanan dan minuman seadanya, termasuk bahan bakar minyak, serta menyediakan boat untuk menarik kapal yang ditumpangi imigran Rohingya kembali ke laut,” kata Joko.
Aceh telah lama menjadi daerah pendaratan bagi pengungsi Rohingya. Sejak 2011 telah belasan ribu warga Rohingya terdampar ke Aceh. Namun, sebagian warga menduga kapal-kapal tersebut sengaja mendarat ke Aceh karena selama ini mereka diperlakukan dengan baik.
Prihatin
Beberapa lembaga nasional yang fokus pada isu kemanusiaan prihatin dengan penolakan pengungsi Rohingya oleh warga Aceh. Padahal selama ini Aceh sudah dikenal sebagai daerah yang aman bagi Rohingya.
Dalam siaran tertulis Project Coordinator Program JRS Indonesia, Hendra Saputra menuturkan, penolakan kehadiran pengungsi telah mengabaikan semangat kemanusiaan dan aturan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Menurut Hendra, sesuai dengan perpres tersebut, Indonesia memiliki tanggung jawab kemanusiaan untuk menerima kehadiran pengungsi Rohingya. Hendra mendorong para pihak agar memberikan perlindungan kepada pengungsi.
Hendra mengatakan, meski Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, tetapi banyak instrumen hukum lain yang mengatakan perlindungan terhadap hak asasi manusia, seperti perlindungan terhadap perempuan dan anak hingga hukum adat laut. Terlebih Indonesia merupakan anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Hendra menambahkan, saat ini lokasi pusat pengungsian di Bangladesh telah penuh. Warga Rohingya mengambil risiko besar agar bisa keluar dari kamp pengungsian. Mereka diselundupkan melalui laut ke negara-negara kawasan di Asia Tenggara.
”Kondisi di Bireuen dan Aceh Utara kembali mengusik hati nurani kita. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian segera agar pengungsi terselamatkan,” kata Hendra.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Kepala Perwakilan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia Ann Maymann mengatakan, pengungsi Rohingya telah menempuh perjalanan yang berbahaya untuk mencari perlindungan. Dia berharap Indonesia memberikan perlindungan kepada para pengungsi Rohingya.