Mengenal Keamanan Pangan di Warung 24 Jam
Di daerah metropolitan, pelaku usaha beradaptasi dengan kebutuhan konsumen, termasuk membuka warung makan 24 jam.
Menjelang lewat tengah malam, Warung 69 yang berdiri di sisi Jalan Syahdan, Kemanggisan, Jakarta Barat, malah semakin ramai. Pembeli makanan datang dan pergi di warung yang beroperasi selama 24 jam per hari itu.
Aneka lauk dipajang dalam etalase kaca tiga tingkat dengan ukuran panjang dan tinggi masing-masing sekitar 1 meter. Ada tempe, ayam goreng, ayam bakar, kikil, ikan goreng, sayuran, serta telur.
Agustin (20), penjual, pada Jumat (10/11/2023) malam itu sibuk melayani pembeli yang hampir semua minta pesanan mereka dibungkus. Barangkali kondisi warung yang minimalis membuat mereka tidak nyaman makan di tempat. Hanya ada dua bangku untuk empat orang.
Dengan uang Rp 10.000, pembeli sudah boleh membawa pulang nasi setengah porsi dengan lauk tempe serta telur goreng. Itu cukup mengenyangkan perut. Jika ingin lauk ayam goreng atau ayam bakar, siapkan Rp 15.000. Itulah menu dengan harga paling tinggi.
”Pembeli kebanyakan mahasiswa dan pekerja kantoran yang ngekos di sekitar sini,” kata Agustin. Warung makan itu berada tak jauh dari kompleks indekos dan kampus yang berdiri di sisi jalan.
Saat menjelang subuh, pembeli berangsur berkurang, lalu kembali ramai pada pagi hari. Banyak orang yang hendak ke kantor menghentikan kendaraan mereka untuk singgah membeli makanan. Di sekitar situ, hanya Warung 69 yang beroperasi.
Agustin menuturkan, warung makan itu lebih ramai ketika lewat tengah malam, saat hampir semua warung makan tutup. Untuk menarik perhatian pembeli, di etalase ditempel tulisan ”24 Jam”. ”Penghasilan malam paling sedikit Rp 1 juta,” ujarnya.
Menurut Agustin, pengelola warung mengatur pembagian jam kerja bagi setiap pelayan dan petugas masak. Satu orang bekerja paling lama 12 jam per hari. Mereka memastikan makanan selalu tersedia setiap saat. ”Makanan tetap segar. Tidak dipanaskan berulang,” katanya.
Fatur (20), pengunjung, mengatakan, dirinya memilih warung tersebut karena harga makanannya terjangkau. Fatur memesan nasi satu porsi, telur goreng, mi, sayur, tempe goreng, dan air es. Ia membayar Rp 14.000.
Fatur yang tinggal di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu sedang magang di salah satu tempat usaha kuliner, tak jauh dari Warung 69. Dengan uang saku Rp 600.000 per bulan, ia mencari warung makan yang sesuai isi dompetnya.
Sering makan di warung 24 jam itu, kini Fatur punya keinginan meniru model usaha tersebut. ”Di tempat tinggal saya belum ada warung 24 jam. Kalau cukup modal, saya ingin coba,” katanya.
Awalnya ragu
Di sudut lain Jakarta, yakni di Gondangdia, Jakarta Pusat, juga berdiri beberapa warung makan yang beroperasi 24 jam. Pada Sabtu (11/11/2023) malam, Azizah (25) di Warung Dapur Sunda sibuk melayani pembeli yang memesan makanan secara daring. Pemesanan berlangsung hingga dini hari.
Keberadaan warung 24 jam di dekat stasiun kereta bertujuan melayani penumpang kereta yang tidak sempat sarapan di rumah. Sambil menunggu kedatangan kereta, penumpang mengisi perut terlebih dahulu. Dengan uang Rp 12.000, mereka mendapat nasi, telur, dan mi.
Tak hanya penumpang kereta, lanjut Azizah, pembeli lainnya adalah penghuni indekos dan pegawai kantor di kompleks Gondangdia. Banyak dari mereka sering mencari makanan pada malam hari. ”Pembeli per hari bisa lebih dari 100 orang,” ucapnya.
Tokan (33), penghuni indekos, mengatakan, keberadaan warung 24 jam sangat membantu mereka. Sudah lima bulan, Tokan tinggal tak jauh dari warung tersebut. Hampir semua penghuni indekos mengandalkan warung untuk sarapan pagi hingga makan malam.
Awalnya, Tokan ragu dengan keamanan makanan yang disajikan warung 24 jam. Ia sempat khawatir, makanan itu sudah lama dimasak kemudian dipanaskan berulang kali. Namun, setelah mencobanya, tidak ada masalah dengan kesehatan.
Baca juga: Makanan Masa Depan
Mengenali makanan
Prof Winiati P Rahayu, dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University, saat diminta pandangannya mengenai keamanan makanan di warung makan 24 jam, mengatakan, gangguan kesehatan dapat terjadi apabila seseorang mengonsumsi pangan yang tidak aman. Pangan dimaksud tidak terbatas pada pangan yang berasal dari warung makan.
Ia memberikan beberapa tips memilih pangan sehat. Menurut dia, konsumen dapat menggunakan kemampuan sensoriknya untuk mengenali pangan yang bermutu baik dengan tampilan baru dan segar. Dari bentuk fisik, makanan itu sudah dapat dikenali secara jelas.
”Untuk penampakan, tidak ada penyimpangan secara fisik dari bentuk yang normal, tidak berlendir atau semacamnya, serta berbau normal. Tak berbau asam apabila makanan memang tidak dimaksudkan sebagai makanan yang asam. Jangan segan membuangnya jika sudah terasa menyimpang dari yang normal,” papar Winiati.
Ia menyarankan kepada pedagang makanan agar menjaga kebersihan tempat usaha. Peralatan masak dibersihkan dengan baik. Pedagang diminta menggunakan bahan baku yang masih baik, memasak dengan sempurna, serta tidak menyimpan pangan matang terlalu lama.
Penyumbang terbesar
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mudrajad Kuncoro, mengatakan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki peran yang besar dalam perekonomian di Indonesia. Salah satunya warung makan 24 jam.
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kuliner merupakan subsektor penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif. Nilainya Rp 455,44 triliun atau sekitar 41 persen dari total PDB ekonomi kreatif tahun 2020 sebesar Rp 1.134 triliun.
Subsektor kuliner juga menjadi penyerap tenaga kerja terbesar dalam bidang ekonomi kreatif, yakni 9,5 juta, yang didominasi di wilayah Pulau Jawa.
Mudrajad menyoroti banyaknya UMKM makanan yang buka 24 jam pascapandemi Covid-19. Hal itu terjadi karena banyak orang bekerja atau belajar dari rumah. Mereka akan memesan makanan kapan saja, termasuk melalui aplikasi digital. Oleh karena itu, pengusaha UMKM kuliner perlu melek digital.
Di sisi lain, Mudrajad khawatir dengan persaingan antarpengusaha UMKM kuliner. Ada dari mereka yang bersaing secara tidak sehat dengan menurunkan harga jual tanpa memperhitungkan biaya produksi. Kualitas makanan pun menjadi taruhannya, dan ini akan berdampak pada konsumen.
Usaha kuliner akan terus tumbuh karena manusia butuh makan. Di daerah metropolitan, pelaku usaha pun beradaptasi dengan kebutuhan konsumen yang beragam, termasuk membuka warung makan yang beroperasi 24 jam per hari.
Baca juga: Kopi Bintang Lima dari Tangan Kaki Lima