Dalam Tiga Hari, 592 Imigran Rohingya Mendarat di Aceh
Pemerintah daerah hanya bisa membantu imigran pada masa darurat. Penanganan menyeluruh perlu kebersamaan dunia internasional.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dalam tiga hari, Selasa hingga Kamis (14-16/11/2023), tiga kapal yang mengangkut imigran Rohingya, warga negara Myanmar, mendarat di Aceh. Dalam tiga kapal itu terdapat sedikitnya 592 imigran.
Kapal pertama mendarat di pantai Gampong/Desa Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Selasa (14/11/2023). Di dalam kapal kayu terdapat 196 imigran.
Camat Muara Tiga Bachtiar mengatakan, pengungsi itu hanya ditampung sementara. Dia berharap para pihak yang berwenang mengurus pengungsi luar negeri menentukan kebijakan yang tepat. ”Kami hanya membantu logistitk ala kadarnya sebagai bentuk rasa kemanusiaan,” kata Bachtiar.
Keesokan harinya atau Rabu (15/11/2023), sebuah kapal yang membawa 147 orang Rohingya mendarat di pantai Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Pidie. Imigran yang mendarat di Muara Tiga dan Batee telah diboyong ke lokasi penampungan sementara di Yayasan Mina Raya, Gampong Luen Tanjong, Kecamatan Padang Tiji.
Pada Kamis (16/11/2023), kapal Rohingya mendarat di Desa Aron, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara. Kapal yang membawa 249 orang itu mendarat pada pukul 17.30. Adapun total imigran Rohingya yang mendarat 592 orang. Namun, pendataan belum rampung sehingga data bisa saja berubah.
Sebelumnya, kapal yang mendarat di Aceh Utara merapat ke Pantai Jangka, Kabupaten Bireuen, tetapi warga di sana menolak kehadiran Rohingya. Pasalnya, Oktober 2023, sebanyak 36 imigran Rohingya mendarat di Pantai Peudada, Bireuen, tanpa ada kapal. Warga menduga imigran Rohingya itu sengaja diantar oleh orang tertentu.
Setelah diberikan bantuan logistik berupa makanan, kapal tersebut ditarik kembali ke laut lepas dan berakhir mendarat di kabupaten tetangga, yakni Aceh Utara.
Saat mendarat di Aceh Utara, staf Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) turut mendampingi para imigran itu. Hingga berita ini diturunkan petugas masih melakukan pendataan dan pemeriksaan awal.
Staf Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, Faisal Rahman, mengatakan saat ini masih melakukan pemantauan terhadap orang Rohingya. Dia berharap warga dan pemerintah setempat memberikan izin untuk pengungsi ditampung sementara.
”Saya minta waktu untuk koordinasi dengan para pihak, termasuk pemerintah. Kami menghargai semua kebijakan pemerintah,” kata Faisal.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna mengatakan pemerintah daerah wajib menerima kehadiran imigran Rohingya karena mereka adalah korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
”Mereka terkatung-katung di laut lepas lalu ditolak saat mendarat. Ini jelas-jelas tidak punya empati. Komitmen negara terhadap penegakan hak asasi manusia patut dipertanyakan,” kata Azharul.
Berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 125 tentang Penanganan Pengungsi, UNHCR bekerja bersama dan berkoordinasi dengan pihak berwenang, para mitra, LSM, dan aktor kemanusiaan di lapangan untuk memastikan para pengungsi memperoleh perlindungan dan kebutuhan dasar.
Sebelumnya, Sekretaris International Concern Group for Rohingya (ICGR) Adli Abdullah mengatakan, selama ini pemerintah daerah di Aceh telah menunjukkan solidaritas yang tinggi dengan menerima kehadiran pengungsi Rohingya. Namun, pemerintah daerah hanya bisa membantu pada masa darurat, sedangkan penanganan menyeluruh perlu kebersamaan dunia internasional.
”Negara-negara di kawasan ASEAN harus terlibat menangani pengungsi Rohingya,” ujar Adli.