Nyala Asa Anak-anak Putus Sekolah di Manado
Komunitas Dinding bersetia mendampingi anak pedagang yang putus sekolah di Pasar Bersehati, Manado, Sulawesi Utara.
Suatu hari, 13 tahun lalu, sekelompok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi mendapati beberapa bocah sibuk mengasong dagangan di area Pasar 45 Manado. Di siang bolong seperti itu, tak semestinya mereka berada di jalanan, tetapi duduk di bangku sekolah dasar untuk belajar.
Usut punya usut, bocah-bocah itu adalah anak para pedagang di Pasar Bersehati, pasar induk dan pasar terbesar di ibu kota Sulawesi Utara. Konon, mereka sengaja tak disekolahkan atas dasar keyakinan bahwa berdagang untuk menghasilkan uang jauh lebih penting daripada sekadar duduk di ruang kelas.
Terdorong rasa prihatin, para mahasiswa FK Unsrat itu mengumpulkan bocah-bocah pengasong yang tampak di pandangan, kemudian secara impromptu menggelar sebuah kelas belajar. Hari itu, mereka menjadi guru dadakan, sedangkan anak-anak pedagang itu untuk kali pertama merasakan pendidikan meski informal.
Selang beberapa hari, rombongan mahasiswa kembali ke Pasar 45 dalam jumlah yang lebih banyak, kali ini dengan bahan ajar yang lebih matang dipersiapkan. Anak-anak pun menyambut dengan ceria dan antusias.
Kelas emperan yang semula dadakan itu pun menjadi sebuah regularitas tiap Sabtu. Mereka kemudian berpindah ke gedung Pasar Bersehati, tak jauh dari Pasar 45. Tak ayal, peserta kelas pun bertambah karena anak-anak para pedagang, yang kebanyakan adalah transmigran dari Gorontalo, memang tinggal di sana.
Karena tingginya semangat belajar anak-anak pasar, orangtua mereka mulai mempertanyakan, siapa muda-mudi yang memprakarsai kelas tersebut. ”Torang memang belum punya nama. Akhirnya ada yang spontan bilang, ’Torang dari Komunitas Dinding Manado,” kata Victor Ohoiwutun (31) pada Sabtu (11/11/2023) sore sehabis kegiatan rutin yang dinamai Kelas Mengajar itu.
Sempat menjabat ketua antara pertengahan 2022 dan 2023, Victor kini adalah juru bicara komunitas setelah ditunjuk Mikael Pontolondo (28), ketua kepengurusan 2023-2024. Nama ”Dinding”, kata Victor, dipilih karena mereka terinspirasi oleh reruntuhan bangunan di Pasar Bersehati yang menjadi ruang kelas mereka.
”Kalau kita tarik filosofinya, dinding dalam struktur rumah adalah bagian terpenting selain fondasi. Fungsinya untuk melindungi orang yang tinggal di dalamnya. Kita pengen jadi pelindung bagi orang-orang yang membutuhkan, terlebih khusus anak-anak di Pasar Bersehati,” tutur Victor.
Sumber kebahagiaan
Keberadaan Komunitas Dinding menjadi sumbangan berharga anak-anak muda kepada kotanya. Sebab, sekalipun merupakan ibu kota provinsi, Manado masih menghadapi persoalan anak putus sekolah.
Antara tahun ajaran 2016/2017 hingga 2022/2023, ada puluhan hingga ratusan anak putus sekolah di Manado tiap tahun. Secara kumulatif, jumlahnya mencapai 630 anak. Sebanyak 73 anak di antaranya berasal dari Wenang, kecamatan lokasi Pasar Bersehati.
Jumlah siswa yang putus sekolah melonjak dari 58 siswa pada 2018/2019 menjadi 156 siswa pada tahun ajaran berikutnya seiring penerapan pembelajaran daring akibat pandemi Covid-19. Ketika pandemi mereda pada 2021/2022, sedikitnya 166 siswa malah berhenti sekolah, disusul 79 siswa lainnya pada 2022/2023.
Tiga belas tahun berselang, Komunitas Dinding berubah dan berbenah. Status pengurus dan sukarelawan, misalnya, sekarang tak lagi eksklusif bagi mahasiswa FK Unsrat. Namun, mereka selalu setia dengan misi awal, yaitu mendampingi anak-anak pedagang di Pasar Bersehati.
Sabtu sekitar pukul 13.00 Wita, lantai 3 gedung utama Pasar Bersehati yang kosong, tepat di atas masjid, tiba-tiba menjadi ramai. Duduk di lantai cor beralaskan terpal, mereka memperhatikan guratan tulisan yang dibuat sukarelawan di papan tulis putih, kemudian menyalinnya di buku tulis yang mereka letakkan di atas meja lipat.
Baca juga: Mikro dan Denyut Nadi Niaga di Pasar 45 Manado
Dari total 43 yang terdaftar sebagai anak bimbing Komunitas Dinding, 23 anak hadir di kelas hari itu. Oleh belasan sukarelawan, mereka dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu Kelas Besar untuk usia setara kelas 4-6 SD, Kelas Kecil untuk usia kelas 1-3 SD, dan Kelas Khusus usia peserta pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga taman kanak-kanak.
Mayoritas peserta kelas sebenarnya sudah bersekolah secara formal, tetapi tetap antusias mengikuti Kelas Mengajar. Contohnya Amelia Bukoy (11) yang belajar bahasa Inggris bersama enam temannya di Kelas Besar. Materi hari itu adalah pelafalan alfabet, angka, dan enam kata tanya.
Mendekati pengujung kelas, Amelia ditantang maju ke depan untuk melantangkan urutan angka. ”Eleven, twelve, thirteen, fourteen…,” ujarnya perlahan sambil tersenyum menahan malu. Setelah sukses menyebut sampai twenty, ia dihadiahi makanan ringan oleh sukarelawan.
”Sangat-sangat senang iko (ikut) kelas Dinding, karena belajar banyak, kong (lalu) jalan-jalan. Ada iko study tour,” kata siswa kelas 6 di SD Negeri 125 Manado itu. Ia tak ingat kapan pertama kali ikut kegiatan Komunitas Dinding. ”So lama skali, dari PAUD,” katanya.
Antara tahun ajaran 2016/2017 hingga 2022/2023, ada puluhan hingga ratusan anak putus sekolah di Manado tiap tahun. Secara kumulatif, jumlahnya mencapai 630 anak.
Sri Monalisa Tangkudung (13), kawan Amelia di sekolah dan Kelas Besar, juga demikian. ”Suka iko karena ada summer camp,” kata Mona, merujuk pada rekreasi dua hari satu malam di luar pasar yang diprakarsai Komunitas Dinding tiap Agustus.
Sementara itu, Najwa (8), siswa kelas 2 SDN 125 Manado yang belajar tentang kebersihan lingkungan di Kelas Kecil, juga mengaku senang dengan kehadiran Komunitas Dinding. ”Karena dapa kukis,” ujarnya polos sembari tersenyum meski tadinya ia gusar karena kakak-kakak relawan tak mengajar matematika.
Para sukarelawan tak kalah gembira, seperti Nuraini Adariku (19), mahasiswa Psikologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado yang sebulan terakhir mulai aktif di Komunitas Dinding. Ia mengakui sangat sulit untuk mengajar anak-anak tanpa membuat mereka bosan, tetapi di pengujung kelas ia selalu mendapatkan kepuasan batin.
”Lihat dorang senyum, tertawa, ada kebahagiaan tersendiri yang kita rasakan. Mungkin bagi sebagian orang (menganggap) cuma begitu, tetapi bagi torang relawan di sini, itu sangat berarti. Dorang juga terbantu di sekolah,” ujarnya.
Helena Dian Wahyuningsih, aparatur sipil negara salah satu kementerian yang sedang dalam tugas dinas 12 hari di Manado, juga mengaku bahagia setelah menyempatkan diri mengajar bersama Komunitas Dinding. Ini adalah pemberhentian pertamanya dalam misi menjadi pengajar informal sukarela setiap kali perjalanan dinas, ke mana pun tujuannya.
”Berkesan banget karena (Komunitas) Dinding juga welcome (menyambut baik). Anak-anaknya juga antusias belajar bahasa Inggris,” kata Helena.
Berlanjut
Komunitas Dinding yang kini dibesut tim berisi 26 orang konsisten hadir di Pasar Bersehati bagi anak-anak pasar. Tanpa dasar legal untuk eksistensi komunitas, semua aktivitas mereka murni dibiayai sumbangan para sukarelawan atau organisasi lain yang menaruh perhatian pada kinerja mereka.
Para sukarelawan pun tak terikat aturan atau kewajiban apa pun. Siapa pun yang ingin sukarela mengajar bisa langsung datang. ”Komunitas Dinding Manado itu tidak dimiliki satu orang, tetapi setiap sukarelawan yang mau tergabung di dalamnya dan juga adik-adik yang mau ikut belajar,” kata Victor.
Meski tanpa sumber pembiayaan tetap, Hengky Tondatuon (37), sekretaris komunitas, menyebut dampak kehadiran mereka mulai terasa. Jika 13 tahun lalu hampir semua anak tak bersekolah, kini hanya 11 dari 43 yang tak duduk di bangku SD. ”Itu yang menjadi PR kami untuk mendorong orangtua supaya mau menyekolahkan anaknya,” ujarnya.
Victor membenarkan. Mulanya, para pedagang yang anaknya menjadi peserta Kelas Mengajar mendapati perkembangan intelektual pada anak-anak mereka, utamanya mulai bisa membaca dan berhitung. Lama-kelamaan, si anak minta disekolahkan.
Menurut Victor, sesungguhnya tak ada alasan untuk tak menyekolahkan anak-anak itu. Pertama, SD negeri di Manado gratis. Kedua, para pedagang punya penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Ketiga, kehadiran Komunitas Dinding tak sekonyong-konyong dapat memenuhi hak anak-anak pasar akan pendidikan.
”Gerakan yang dilakukan Komunitas Dinding tidak akan pernah menggantikan pendidikan formal. Kami ini pendidikan informal yang hanya seminggu sekali. Kurikulum yang kami buat hanya fokus pada beberapa mata pelajaran dasar seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, dan kewarganegaraan,” tutur Victor.
Jika 13 tahun lalu hampir semua anak tak bersekolah, kini hanya 11 dari 43 yang tak duduk di bangku SD.
Komunitas Dinding juga terus menyempurnakan bahan ajar. Christian Rotinsulu (22), mahasiswa Pendidikan Agama Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado yang menjadi koordinator Bidang Pendidikan komunitas itu, menyebut mereka menerapkan model pembelajaran kontekstual.
Anak-anak diajak untuk memahami suatu subyek studi dari hal-hal yang mereka lihat langsung. Contohnya, mereka memahami bahasa Inggris sebagai bahasa universal dari pengalaman melihat orang asing di Manado atau soal lingkungan dari sampah di sekitar pasar. ”Dari masukan para sukarelawan, kami selalu evaluasi kurikulum tiap minggu,” katanya.
Ke depan, Komunitas Dinding ingin terus mengurangi jumlah anak bimbing yang tak bersekolah formal. Mikael Pontolondo, ketua komunitas, menargetkan setidaknya lima dari 11 anak yang tersisa akan bisa sekolah tahun ini. Untuk membujuk orangtua, komunitas bahkan siap membiayai pembelian seragam.
Namun, ikhtiar ini kerap kali terkendala. Pada beberapa kasus, orangtua anak bimbing yang berasal dari Gorontalo tak punya surat-surat catatan sipil, seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk, dan kartu keluarga yang diperlukan untuk proses administratif pendaftaran karena ditinggal di kampung. Di samping itu, ada orangtua yang enggan menyekolahkan anak difabel.
Baca juga: Mikro, Transportasi yang Masih Menjadi Andalan Manado
Namun, jika suatu hari semua anak bimbing sudah bersekolah, Mikael menyatakan, Komunitas Dinding akan tetap mendampingi anak-anak pasar lewat Kelas Mengajar. ”Tidak ada kata bubar. Kami tetap akan mendampingi mereka sampai kapan pun,” ujarnya.
Wakil Wali Kota Manado Richard Sualang mengapresiasi keberadaan Komunitas Dinding di Pasar Bersehati. Karena itu, ia memerintahkan Perusahaan Daerah Pasar Manado untuk menyediakan tempat aktivitas bagi komunitas itu di lantai tiga pasar.
”Mereka, kan, anak-anak muda. Kegiatan ini akan melatih mereka untuk lebih peka, bisa melihat keadaan sekitar sehingga mudah-mudahan mereka bisa jadi pemimpin di masa-masa mendatang. Kita akan support mereka,” ujar Richard.