Mi Balap, Solusi Kilat Perut Urban
Mi balap menggambarkan kehidupan masyarakat urban Kota Medan yang serba buru-buru. Dimasak kilat, rasanya tetap nikmat.
Kehidupan pagi masyarakat urban Kota Medan yang serba buru-buru tergambar dalam sepiring mi balap. Pedagang mi balap pun berjejer setiap pagi. Mulai dari kawasan elite di tengah kota hingga pinggiran.
Sejak subuh, lapak mi balap mulai dibuka, Selasa (7/11/2023). Ada yang memakai gerobak dorong hingga membuka lapak di halaman rumah toko. Ada pula yang menyewa halaman rumah warga di pinggir jalan.
Mi balap mengisi hampir semua tepi ruas jalan, mengiringi padatnya arus lalu lintas di pusat Kota Medan, Sumatera Utara. Jejeran mi balap bahkan merayap hingga di pinggir kota dan bahkan sampai ke kabupaten tetangga, Deli Serdang.
Nyaris tiap 100 meter selalu ada mi balap. Meski tersebar di mana-mana, uniknya, tiap kedai tetap saja ramai. Apa yang membuat orang tersedot ke kedai mi balap?
Sajian mi balap terbilang sederhana. Mi goreng dimasak bersama bumbu pedas, telur, sayur tauge, dan sedikit kecap. Lalu, ditambahkan telur ceplok di atas mi. Meskipun lengkap karbohidrat, sayur, dan lauknya, harga sepiring mi balap hanya Rp 5.000.
”Mi balap itu memang kesukaan orang Medan. Kami pedagang harus bisa perang rasa dan perang harga,” kata Irsan Lubis (40), pedagang mi balap, sambil tertawa.
Baca juga: Cuan dari Bisnis Kuliner di Kota Medan
Irsan sudah membuka warung mi balapnya sejak pukul 05.00 di Jalan Willem Iskandar atau Jalan Pancing, Medan. Dengan poster kecil di dekat gerobak, dia beri nama warungnya Mi Balap Pak De. Warungnya hanya sebuah gerobak kecil dan kompor.
Dia hanya punya dua meja untuk pengunjung yang hendak makan di tempat. Mi balap itu sejatinya memang dibungkus untuk disantap di tempat kerja, sekolah, kampus, atau dinikmati di rumah bersama keluarga sebagai asupan makanan sebelum beraktivitas.
Di sepanjang 3 kilometer Jalan Willem Iskandar, tidak kurang dari 15 pedagang mi balap berjejer dengan segala ciri khasnya. Belum lagi di gang-gang kecil di sekitar jalan itu masih bertebaran pula mi balap. Maklum, kawasan pinggir kota itu memang padat hunian mahasiswa dan karyawan.
Baca juga: Komunitas Kreatif Urban Bersemi di Medan
Beberapa kampus juga ada di sekitar jalan itu, seperti Universitas Negeri Medan, Universitas Medan Area, dan Politeknik Pariwisata Medan. Di sana juga ada pasar induk. Tidak heran, lapak-lapak mi balap selalu saja ramai di kawasan itu. Mahasiswa, pekerja, hingga sopir angkot silih berganti membeli mi balap.
Irsan paham betul selera orang Medan. ”Orang Medan cerewet kalau soal makanan. Kalau makan mi, harus enak. Dimasak di tempat dan pakai telur. Sausnya juga harus pedas,” kata Irsan.
Agar bisa menjamin masak cepat, mi sudah dipersiapkan terlebih dahulu dalam rendaman. Bumbu-bumbunya juga sudah disiapkan. Ada tiga jenis mi yang digunakan untuk mi balap, yakni bihun, mi kuning, dan kwetiau.
Sekali memasak, Irsan membuat sekaligus untuk 10-15 porsi. Mi sebanyak itu dimasak dengan cepat, kurang dari 5 menit. Kapan pun pelanggan datang, mi siap dibungkus.
Para pedagang harus susun strategi untuk bisa membuat masakannya tetap nikmat, tetapi harga murah meriah. Dengan hanya Rp 5.000 per piring, isinya sudah lengkap. Kecuali jika ingin telur tambahan, harus tambah Rp 3.000.
”Sebelum berangkat kerja, saya biasanya mampir beli mi balap. Saya makan mi balap di meja kantor setelah isi absen,” kata Rehulina Sijabat (28), karyawan perusahaan ekspedisi di Medan.
Baca juga: Geliat Kuliner Anak-anak Muda Kota Medan
Sebagai karyawan dengan gaji pas-pasan, kata Rehulina, pertimbangan harga makanan sangat penting. Apalagi dia tidak sempat untuk memasak di rumah karena harus tiba di kantor pukul 08.00. ”Mi balap harus murah. Tapi, kalau soal rasa enggak boleh ditawar-tawar, harus tetap enak,” kata Rehulina.
Transformasi mi balap
Meskipun ”roh” mi balap adalah harga yang murah, sejumlah warung mi balap bertransformasi membuat mi dengan isian yang lebih lengkap dengan harga yang sedikit lebih mahal. Mi balap beradaptasi dengan kawasan dan target pasarnya. Sejumlah mi balap, misalnya, menawarkan sajian dengan telur lebih banyak dan tambahan makanan laut.
Baca juga: Wajah Urban Masyarakat Kota Medan dalam Segelas Teh Susu Telur
Mi balap dengan sajian lebih lengkap, antara lain, ada di Mi Balap Mail di Jalan Gunung Krakatau. Kawasan itu memang salah satu pusat perdagangan di Medan. Mereka menarget karyawan kelas menengah, pengusaha, dan pebisnis.
Satu porsi mi balap telur harganya Rp 10.000. Namun, telurnya melimpah. ”Untuk memasak 16 porsi, kami kasih sekitar 40 butir telur. Jadi, satu porsi itu lebih dari dua telur,” kata Edu Gunanda (26), juru masak di Mi Balap Mail.
Mi Balap Mail salah satu favorit di Medan. Dua juru masak tak henti-henti memasak mi di atas tungku kayu bakar. Setelah dimasak, tiga pekerja cepat-cepat membungkusnya. Para pembeli silih berganti mengantre untuk mendapat sebungkus mi. Banyak juga pengojek melayani pesanan dari aplikasi digital pesan-antar makanan.
Selain untuk dibungkus, pengunjung juga bisa makan di tempat. Mi Balap Bang Mail membuka lapak di halaman sebuah rumah berukuran sekitar 8 meter x 12 meter. Tidak kurang dari 100 kursi berjejer di halaman itu. Setiap pagi, hampir semua kursi-kursi penuh. ”Menu paling favorit di sini adalah mi balap seafood. Harganya Rp 22.000,” kata Edu.
Esron Ginting (31), pegawai di Stasiun Kereta Api Medan, menyebut, dia hampir setiap hari makan Mi Balap Bang Mail. Lebih sering dia beli dari aplikasi pesan-antar makanan. Kalau kerjaan lagi longgar, sesekali dia makan di tempat setelah selesai isi absen di kantor. ”Saya lebih sering makan mi balap seafood. Harganya memang lebih mahal, tetapi udang dan cuminya melimpah,” kata Esron.
Tak sekadar mengenyangkan
Antropolog dari Universitas Negeri Medan, Erond Litno Damanik, mengatakan, dalam perspektif antropologi, budaya kuliner dipandang sebagai sesuatu yang esensial. Makanan tidak sekadar mengenyangkan, tetapi menggambarkan gaya hidup, karakter, cita rasa, dan keragaman kuliner masyarakatnya.
Mi balap, kata Erond, muncul dalam beberapa tahun terakhir ini melengkapi lontong yang selama ini sudah akrab di lidah masyarakat urban Kota Medan. Ini adalah salah satu bentuk penciptaan menu baru di pagi hari yang sesuai dengan peradaban masyarakat yang terus berkembang.
”Ada yang menarik dari fakta sosiologis ini. Masyarakat urban di Medan mulai meningkat secara sosiologis yang ditandai dengan kebutuhan dan ketepatan waktu bekerja. Salah satu ciri masyarakat urban adalah menghargai jam kerja dengan baik,” kata Erond.
Erond menyebut, suasana sosiologis ini akhirnya menciptakan budaya kuliner baru dengan tetap mempertahankan selera asli orang Medan. Kemunculan mi balap juga mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan.
Erond menjelaskan, membeli sarapan pada pagi hari juga sebagai dampak dari perubahan fungsi keluarga. Seiring dengan perubahan gaya hidup menuju masyarakat urban, banyak keluarga yang mulai memilih membeli sarapan pagi ketimbang memasak di rumah.
Hal ini karena waktu yang kian sempit akibat permukiman masyarakat semakin bergeser ke pinggir kota, lalu lintas kian macet, dan pekerjaan menuntut tepat waktu. Belum lagi peran orangtua yang harus antar anak ke sekolah.
Mi balap dengan ciri khas yang dimasak di tempat, cepat, murah, dan tetap nikmat akhirnya mendapat tempat di tengah masyarakat urban Kota Medan....