Pesta Sepekan Kebudayaan Aceh
Pekan Kebudayaan Aceh dengan kesenian, kuliner, serta permainan tradisional menyiratkan kayanya budaya Serambi Mekkah.
Sebelas remaja perempuan menari rancak di atas panggung utama di Taman Ratu Safiatuddin, Kota Banda Aceh, Selasa (8/11/2023) malam. Sambil mengayun selendang, tubuh dan kaki bergerak lembut serentak dengan pukulan canang kayu, gendang, dan rapa’i.
Baca Juga: Spirit Rempah dari Serambi Mekkah
Para penari mengenakan busana daerah berwarna kuning yang disemat manik-manik emas. Salah seorang penari yang mengenakan busana berwarna merah digambarkan sebagai pengantin perempuan yang menunggu mempelai laki-laki. Sesekali dia ikut menari tanda bahagia.
Di sisi kanan panggung, Nasruddin (65) tidak henti mendendangkan syair pujian kepada tamu dan mempelai. Syair melantun dalam bahasa daerah suku Singkil. Begitu memesonanya pertunjukkan itu sampai-sampai ribuan penonton enggan beranjak hingga pertunjukan selesai.
Penampilan itu bernama Tari Dampeng dari Kabupaten Aceh Singkil, yang berjarak 640 kilometer dari Banda Aceh, ibu kota provinsi. Tari Dampeng yang kerap ditampilkan saat penyambutan tamu penting atau mengarak pengantin pria itu kini hadir dalam Pekan Kebudayaan Aceh di Kota Banda Aceh.
Seorang pemain seni top daboh atau debus dari Kabupaten Aceh Barat Daya mengacungkan sebilah rencong di Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 tahun 2023, di Taman Ratu Safiatuddin, Kota Banda Aceh, Selasa (8/11/2023) malam.
Nasruddin menuturkan, Tari Dampeng warisan turun-temurun. Dia melantunkan syair pengiringnya sejak usia belasan. ”Tari ini untuk menyambut tamu atau pesta pernikahan. Kami berlatih selama tiga bulan untuk tampil di PKA (Pekan Kebudayaan Aceh),” ujar Nasruddin.
Selain gerakan yang lembut, lantunan syair dalam bahasa Singkil dan penggunaan canang kayu sebagai alat musik menambah keunikannya. Canang kayu dibuat dari kayu khusus yang ditebang dari hutan rawa di Singkil.
Tari Dampeng ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional pada 2015. Malam itu, Tari Dampeng keluar sebagai penyaji terbaik tari tradisi WBTB. Selain Dampeng, Tari Sining (Aceh Tengah), Saman (Gayo Lues), Seudati (Nagan Raya), dan Rapa’i Geleng (Aceh Barat Daya) juga masuk dalam daftar penyaji terbaik.
Baca Juga: Dari Tari Seudati hingga Debus di Panggung Pekan Kebudayaan Aceh
Pengunjung Taman Ratu Safiatuddin dibuat terpukau dengan sajian kesenian tradisional dari kabupaten/kota seluruh Aceh. Segala keunikan masing-masing tarian tradisional hadir di sana.
Nurfadhilah (20) dan Zania (19) berkali-kali menyampaikan kekaguman terhadap tarian yang baru saja dia saksikan. ”Sebelumnya saya tidak pernah lihat, malah saya tidak tahu ada tarian tradisional ini,” kata Zania.
Nurfadhilah dari Kabupaten Aceh Besar, sedangkan Zania lahir di Kota Banda Aceh. Selama ini mereka hanya tahu tarian tradisional Aceh, seperti Ranup Lampuan, Likok Pulo, Rapai Geleng, dan Saman. Namun, mereka belum tahu ada tarian Dampeng dan Sining.
”Dengan adanya PKA, kami jadi tahu, ternyata kesenian Aceh sangat kaya,” kata Nurfadhilah yang telah tiga malam berturut-turut menyaksikan tarian tradisional.
Ali Rahman (50) dari Kabupaten Aceh Barat Daya merasa bangga dengan warisan budaya yang dimiliki oleh Aceh.
Ragam tarian dari berbagai daerah yang ditampilkan membuat kecintaannya pada budaya kian tumbuh. ”Saran saya, semoga tarian-tarian daerah ini diberi kesempatan untuk tampil di banyak panggung agar juga terkenal,” ujar Ali.
Ali juga mengajak anak muda di Aceh untuk mulai belajar kebudayaan dan ikut merawatnya. ”Warisan indatu (nenek moyang) ini harus kita jaga, tidak boleh hilang karena pengaruh modern,” kata Ali.
PKA digelar rutin setiap empat tahun. Pertama kali digelar pada 1958 dengan tujuan menyatukan kembali warga Aceh yang tercerai karena konflik DI/TII. Provinsi Aceh yang terdiri dari berbagai etnis harus disatukan kembali. Kala itu, kebudayaan dianggap alat pemersatu paling kuat.
Baca Juga: Syekh Daud dan Syekh Naza, Dua Maestro Rapai Pasee
Di sisi lain, PKA juga menjadi ajang merawat kebudayaan. PKA menjadi panggung menampilkan atraksi budaya, penampilan kesenian, pameran, kuliner, permainan rakyat, dan seminar kebudayaan. Selama sepekan penuh, kebudayaan benar-benar mendapatkan panggung yang istimewa.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal menuturkan, PKA merupakan bentuk apresiasi terbesar untuk kebudayaan dan para pelaku kesenian. PKA menjadi ruang bagi pelaku seni untuk berekspresi dan kesempatan bagi warga untuk mempelajari kebudayaan.
Selama ini, bertahun-tahun mereka berlatih dan merawat kesenian, akhirnya ada panggung untuk berekspresi.
PKA ke-8 mengangkat tema ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” dengan harapan produk rempah dari Aceh sebagai bagian dari kebudayaan kembali tumbuh. Dalam catatan sejarah, pada abad ke-16 di masa Kerajaan Aceh Darussalam, Aceh menjadi salah satu pusat perdagangan rempah dunia.
Almuniza menambahkan, rangkaian acara beragam semuanya berpijak pada kebudayaan. Selain panggung tari tradisional, ada juga pawai kebudayaan, pameran rempah, anugerah kebudayaan, dan perlombaan permainan tradisional.
”PKA juga memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi daerah,” kata Almuniza. Selain tarian, beragam kuliner juga tersaji. Begitu pula permainan tradisional yang menyiratkan betapa kayanya budaya di Serambi Mekkah.
Baca Juga: Hikayat Aceh dan Memori Dunia
Tokoh kesenian Aceh, Imam Juaini, menuturkan, pelaksanaan PKA harus diapresiasi. Di tengah minimnya ruang ekspresi bagi pelaku seni, PKA menjadi panggung bagi mereka mengaktualisasi diri.
”Selama ini, bertahun-tahun mereka berlatih dan merawat kesenian, akhirnya ada panggung untuk berekspresi,” ujar Imam yang juga dewan juri dalam lomba tari.
Di luar apresiasi untuk pelaku kesenian, PKA juga menjadi ajang menampilkan kekayaan kebudayaan Aceh yang lahir dari banyak suku. Di Provinsi Aceh terdapat banyak suku, di antaranya Gayo, Aceh, Aneuk Jamee, Alas, Tamiang, dan Devayan.
Setiap suku miliki kesenian dan kebudayaan sendiri. Akan tetapi, selama ini tidak semua suku mendapatkan kesempatan yang sama untuk mempromosikan keseniannya. ”PKA salah satu panggung bersama untuk saling memperkenalkan kesenian dan kebudayaan. Keberagaman kesenian inilah identitas kita,” ujar Imam.
Imam menambahkan, masyarakat Provinsi Aceh harus saling menghargai antarkesenian dan kebudayaan. Menurut dia, semua kesenian dan kebudayaan di Aceh berlandaskan ajaran Islam dan nilai-nilai luhur. Dengan demikian, saat kebudayaan itu dipelajari secara utuh, tidak akan ada perpecahan, yang lahir justru persaudaraan sebab kebudayaan tidak pernah mengajarkan kebencian.
Semua kesenian tradisional di Aceh dimainkan secara kelompok atau bersama. Hal itu menunjukkan kebersamaan adalah nadi dalam berkesenian dan bermasyarakat.
”Untuk membentuk generasi yang toleran dan berkarakter mulia, kebudayaan adalah jawabannya,” ujar Imam.
Di sisi lain, Imam merasa sedih karena selama ini kesenian hanya digunakan dalam acara seremonial, sementara festival atau panggung apresiasi jarang diberikan. Barangkali PKA adalah satu-satunya panggung besar bagi pelaku kesenian dan untuk para penikmat kesenian.
Baca Juga: Didong, Indahnya Perang Syair