Meski Ditolak Nelayan, Penangkapan Ikan Terukur Jalan Terus
Penangkapan ikan terukur akan berlaku baik untuk kapal berizin pusat maupun daerah. Beban nelayan bertambah karena wajib menyiapkan perangkat sistem pemantauan yang memakan biaya jutaan rupiah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Meski menuai penolakan nelayan di Sulawesi Utara, Kementerian Kelautan dan Perikanan tak akan menunda penerapan aturan penangkapan ikan terukur untuk mulai berlaku pada 1 Januari 2024. Nelayan diminta memenuhi semua persyaratan, termasuk perangkat sistem pemantauan.
Direktur Perizinan dan Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ukon Ahmad Furkon mengatakan, penangkapan ikan terukur (PIT) adalah wujud transformasi menyeluruh tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan. Ini berlaku untuk kapal dengan izin dari pusat ataupun daerah. ”Keduanya tersinergi dalam satu tata kelola yang sama dan terintegrasi. Dengan demikian, kebijakan tersebut diberlakukan serentak sesuai amanat PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 11 Tahun 2023 tentang PIT serta Permen (Peraturan Menteri) KP Nomor 28 Tahun 2023 tentang peraturan pelaksanaan PIT,” kata Ukon dalam keterangan tertulis, Selasa (7/11/2023).
Kebijakan ini telah diwacanakan KKP sejak 2021 di bawah Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Kendati demikian, tak sedikit nelayan di Sulut menolaknya. Pada Mei 2023, misalnya, sejumlah organisasi nelayan menggelar demonstrasi bersama di Bitung. Mereka desak pemerintah agar membatalkannya.
Kasihan nelayan-nelayan kecil. Pascapandemi, baru mau berdiri lagi, tapi udah dibebani segala macam persyaratan. Harus pasang ini itu.
Penolakan nelayan berkaitan sejumlah isu, antara lain sistem zonasi dan pemberian kuota tangkapan bagi kapal asing serta harga acuan ikan untuk penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Karena itu pula, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam meminta pemerintah menunda pemberlakuan kebijakan itu.
Penundaan ini ia usulkan spesifik bagi kapal-kapal dengan surat izin penangkapan ikan (SIPI) terbitan pemerintah daerah. ”Kasihan nelayan-nelayan kecil. Pascapandemi, baru mau berdiri lagi, tapi udah dibebani segala macam persyaratan. Harus pasang ini itu,” kata Tienneke.
Salah satu syarat mutlak dalam sistem PIT adalah adanya perangkat sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) yang diiringi dengan biaya jasa layanan satelit (airtime). Hal itu belum mencakup biaya sertifikat kuota penangkapan ikan (SPKI).
Tienneke menyebut nelayan kapal berbobot 6 hingga 10 gros ton (GT) masih kategori nelayan kecil. Nelayan kapal 10-30 GT pun masih masuk kategori pelaku usaha skala kecil. ”Yang kecil-kecil ini janganlah dipersulit. Pasang SPKP itu, kan, ada biayanya. Terus mereka harus bayar airtime. Itu sangat menyusahkan, makanya pada demo,” katanya.
Dengan memberi keleluasaan kepada nelayan kecil, kata Tienneke, beban pemerintah daerah akan berkurang. ”Mereka menangkap saja sudah syukur. Pemerintah diringankan kalau mereka bisa mandiri. Kenapa mereka (malah) disusah-susahkan?” ujarnya.
Kendati demikian, Ukon menyebut SPKP dan persyaratan lain wajib diikuti sebagai imbalan dari hak istimewa yang diberikan negara kepada nelayan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan negeri. Lagi pula, SPKP akan berguna untuk memantau ketentuan operasional kapal, termasuk dalam kondisi darurat.
Di samping itu, lanjutnya, perangkat SPKP cenderung murah. ”Harganya sudah di kisaran Rp 7,3 juta. Apabila dibandingkan dengan harga kapal, persentasenya sangat kecil,” ujarnya.
KKP akan mencarikan alternatif SPKP yang lebih murah, baik perangkat lunak maupun kerasnya. Ini dilakukan demi menjaga keberlanjutan sumber daya ikan yang sangat terbatas jika tak dikelola dengan bijaksana, tepatnya 12,01 juta ton menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2022.
Kendati demikian, potensi serta besaran kuota di tiap zona PIT diragukan oleh nelayan dan pemerintah daerah di Sulut. Salah satunya karena sifat ikan pelagis, seperti cakalang dan tuna, tangkapan utama di Sulut, yang beruaya alias berpindah.
Soal ini, pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Johnny Budiman, menyebut asesmen stok perikanan dilakukan oleh para akademisi secara teliti dan hati-hati. Selaku anggota Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), ia menyebut proses tersebut berlangsung dengan protokol yang ketat.
”Sebagai akademisi, kalau data sampah masuk ke kami, maka hasilnya juga sampah. Kami di Komnas Kajiskan tentu membutuhkan data yang bagus dan valid dalam merancang PIT,” ujarnya dalam diskusi di Bitung, Oktober 2023.