Keberagaman dan Konservasi Lingkungan dari RW 008 Merbabu Asih Cirebon
Warga RW 008 Merbabu Asih di Cirebon menjaga lingkungan dan keberagaman dengan memilah sampah, menanam sayuran, dan membuat batik ramah lingkungan. Meski berbeda agama, mereka bersatu menjaga lingkungan.
Warga RW 008 Merbabu Asih di Cirebon beradaptasi memilah kotoran, membuat sumur resapan, hingga menanam sayuran. Meski berbeda latar belakang, mereka setia menjaga lingkungan sekaligus merawat keberagaman.
Terik matahari di kawasan Perumnas, Kota Cirebon, Jawa Barat, sontak berganti sejuk ketika memasuki RW 008 Merbabu Asih, Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Sabtu (4/11/2023) siang. Rimbun pepohonan mangga, jambu, hingga kelapa menyambut pengunjung.
Tidak hanya di pinggir jalan, aneka tanaman bahkan menempel di dinding serta berjejer di trotoar dekat balai pertemuan kampung. Ada kangkung, cabai, juga pakcoi dalam polybag. Nyaris tidak ada sampah plastik. Di sana, sejumlah ibu-ibu bercerita sembari membatik.
Adriani Jeanny Bittikaka (45), warga, telaten menggambar jagung di atas selembar kain putih. Ia tidak pusing mencari ”contekan” jagung. Tanaman itu tumbuh di sekitar rumahnya.
”Ini batik proklim. Isinya, cerita tentang apa yang ada di kampung kami,” ucapnya.
Baca juga: Beban Hidup Paksa Siswa SMP di Cirebon Bunuh Diri
Proklim atau program kampung iklim merupakan upaya daerah setingkat rukun warga hingga desa untuk beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus memitigasinya. Pada 2018, Merbabu Asih meraih penghargaan Proklim Lestari dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sesuai tema, batik karya Jeanny mengangkat soal alam. Tidak hanya mengusung motif tanaman, batik itu juga menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan. Pembuatannya, misalnya, tidak memakai malam dan kompor yang berbahan bakar minyak tanah, energi fosil.
Mereka menggunakan lem batik berbahan utama tepung tapioka. Cantingnya dari botol plastik bekas.
Teknik ini ditemukan Ade Supriyadi, warga setempat yang juga perajin batik. Ade menjadi mentor bagi 15 ibu-ibu yang belajar membatik di Merbabu Asih delapan bulan terakhir.
Meski masih pemula, ibu-ibu tersebut telah memproduksi dan memasarkan karyanya. Lima kain batik proklim Jeanny, misalnya, sudah dibeli Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon dan Kantor Kementerian Agama setempat. Harga selembar kain sepanjang 2,5 meter itu Rp 300.000.
”Uniknya, batik di sini punya ciri khas karena mengangkat kearifan lokal, proklim. Motifnya juga patungan, ide bersama,” ungkap Ade.
Baca juga: Kisah Jambret Cirebon dan Hilangnya Sejahtera di Tengah Pembangunan
Motifnya tidak hanya tanaman yang tumbuh di area itu. Ada juga aktivitas warga, seperti menyiram sayuran dan menyapu dedaunan yang gugur.
Motif lainnya adalah gambar ibu-ibu berhijab dan berpakaian adat sedang membuang sampah di tempatnya. Berbagai motif itu menjadi potret bagaimana warga yang berbeda latar belakang menjaga lingkungannya. Jeanny yang beragama Kristen, misalnya, guyub dengan warga Muslim.
”Saya baru dua tahun tinggal di sini, tetapi kebersamaannya terasa sekali,” ucap perempuan asli Toraja, Sulawesi Selatan, ini.
Tidak hanya dalam membatik, ia dan ibu-ibu lainnya yang berbeda agama dan suku juga rutin merawat aneka sayuran. Bahkan, ada piket menyiram tanaman.
”Hasilnya, saya sudah lama tidak beli cabai karena dapat dari sini. Enggak tahu, sekarang harga cabai berapa?” ucap Jeanny sambil tersenyum. Ibu tiga anak ini pun tidak lagi pusing ketika harga cabai melonjak hingga Rp 80.000 per kilogram dan memicu inflasi di Cirebon.
Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) RW 008 Hartini mengatakan, sudah delapan tahun terakhir warga menanam sayuran. Dia pernah memanen hampir 8 kg cabai dalam tiga bulan. Selain dikonsumsi, cabai itu juga dijual ke warga dengan harga lebih murah.
Tidak butuh modal besar untuk menjaga ratusan polybag berisi sayuran di area green house, tepat di seberang Balai Pertemuan Kampung (Baperkam) RW 008. Warga, misalnya, tidak membeli pupuk kimia, tetapi membuat pupuk kompos dari dedaunan, kotoran hewan, hingga sampah organik rumah tangga.
Baca juga: Pelibatan Warga untuk Atasi Krisis Iklim Diperluas
Pengurus RW menyediakan wadah di sejumlah titik jalan untuk menampung sampah organik. Ada juga lubang biopori sedalam satu meter. Biopori ini bisa menyerap air sekaligus mengolah sampah organik. Untuk sampah plastik, warga bisa menjualnya ke bank sampah.
”Bank sampah ini menggandeng Pegadaian. Berapa pun (sampahnya) diterima. Nanti dicatat dan masuk ke tabungan. Saya sudah lima tahun menabung, dapat 6 gram emas,” ucap Hartini. Katanya, tercatat 60 warga yang menabung di bank sampah.
Menurut nenek tiga cucu ini, aktivitas mengolah sampah dan menanam sayuran selama ini turut menyehatkan lingkungan dan tubuh warga. ”Sebagian besar yang ikut kegiatan ini itu ibu-ibu lansia, sudah pensiun. Jadi, ini seperti ’vitamin’ supaya tidak kesepian,” ucapnya tersenyum.
Lebih dari itu, hubungan warga yang berbeda agama juga kian lekat. ”Kalau kepercayaan itu silakan, sendiri-sendiri. Itu hubungan dengan Allah. Tapi, kalau Mbak Jeanny yang Kristen sakit, misalnya, kami semua nengok. Dulu, saya nyapu jalan sendiri. Sekarang, ramai,” ucapnya.
Lihat juga: Kampung Proklim, Kampung Siaga Bencana
Penyejuk perbedaan
Agus Supriono, Ketua RW 008 Merbabu Asih, menuturkan, keberagaman warga sudah terjalin sejak dulu. Hal itu tampak dari berdirinya empat rumah ibadah. Pura Agung Jati Pramana, tempat ibadah umat Hindu, misalnya, berseberangan dengan Panti Wreda umat Kristiani.
Tidak jauh dari sana terdapat Vihara Bodhi Sejati dan Masjid As-Salam. ”Perbedaan ini disatukan lewat silaturahmi, pertemuan, dan pesan moral dari pemangku agama untuk menjaga kebinekaan. Pesannya, hendaklah kita menjadi penyejuk di tengah perbedaan,” ungkapnya.
Namun, kata Agus, modal toleransi ini perlu dioptimalkan untuk menyelesaikan masalah warga. Persoalan utamanya adalah lingkungan, seperti sampah dan banjir.
Ini hasil dari mengajak warga saleh terhadap alam. Kalau kita saleh pada alam, tidak ada radikalisme karena kita akan santun pada lingkungan dan manusianya.
”Ini adalah bukti kalau perubahan iklim telah terjadi, sedang terjadi, dan pasti akan terjadi,” ungkapnya.
Agus pun mengajak warga memilah sampah dan menanam pohon sejak 2009. Coba perhatikan orang sakit di rumah sakit yang harus pakai oksigen. Sementara di sini kita dapat oksigen dari tanaman. Dengan menanam, warga bisa rasakan oksigen. Itu jadi pahala Ibu-ibu,” ujarnya.
Pihaknya juga mengganti sejumlah ruas jalan aspal dengan paving block yang lebih bagus menyerap air. Sebanyak 118 lubang biopori dan 17 sumur resapan pun dibangun. ”Kita ini jor-joran mengambil air tanah. Tapi, tidak mau mengembalikannya ke tanah lagi,” ungkapnya.
Banjir yang menghantui RW 008 belasan tahun lalu kini hanya menumpang lewat karena segera surut. Tabungan air hujan itu bahkan dipakai menyiram tanaman warga. Kepedulian warga terhadap lingkungan ini mendatangkan dukungan dari pemerintah hingga pihak swasta.
Selain proklim, Merbabu Asih juga menjadi terbaik I Kampung Berseri Astra 2017, program pengembangan masyarakat yang mengintegrasikan pilar pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan kesehatan.
Astra pun membangun Taman Astra, tempat pemilahan sampah, hingga memberikan 1.500 bibit. Pohon mangga, jambu, dan kelapa itu sudah menaungi sisi jalan setempat.
”Penghargaan ini memberikan apresiasi kepada warga. Kami berharap kesungguhan ini tidak berhenti,” ujarnya.
Baca juga: Ribuan Desa Rentan Terdampak Perubahan Iklim
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon juga mendukung warga dengan menyalurkan bibit sayuran. Adapun Pemkot Cirebon serta PT Pertamina membangun pembangkit listrik tenaga surya untuk menerangi baperkam hingga menyiram kebun sayuran.
”Ini hasil dari mengajak warga saleh terhadap alam. Kalau kita saleh pada alam, tidak ada radikalisme karena kita akan santun pada lingkungan dan manusianya. Dalam acara proklim, semuanya (warga berbeda agama) tumplek (bersama),” ungkapnya.
Merbabu Asih pun dinobatkan sebagai Kampung Moderasi oleh Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon. Upaya warga menjaga lingkungan dan merawat keberagaman telah membuat kampung seluas 5,8 hektar dengan penduduk 162 keluarga itu terasa lebih sejuk.
RW 008 juga telah dikunjungi ratusan orang, termasuk warga luar negeri, seperti dari Malaysia dan Australia. Bahkan, kampung itu sudah ”mencetak” sarjana, magister, dan doktor yang meneliti di sana. Meski demikian, warga masih menghadapi sejumlah kendala.
Mulai dari sumur resapan, bangunan baperkam, dan green house yang butuh direvitaliasi, hingga minimnya generasi penerus. Anak muda, kata Agus, banyak yang keluar kota untuk kuliah.
”Saya dihantui rasa bersalah karena merasa terbatas dan terlambat melakukan ini,” ucap Agus.
Akan tetapi, ia tidak ingin berhenti mengajak warga menjaga alam dan merawat kebhinekaan. Apalagi, perubahan iklim kian nyata. Air dari sumur resapan tempat menampung hujan yang mulai kosong sore itu menjadi salah satu pengingatnya.
Baca juga: Paradigma Masyarakat Jadi Kendala Program Kampung Iklim