Hutan Konservasi Dijaga, Manusia Pasti Raih Manfaatnya
Palangkaraya jadi tuan rumah peringatan dan perayaan Hari Konservasi Alam Nasional 2023. Perayaan itu mengingatkan kembali terhadap pentingnya alam untuk manusia dan kenyataan kerusakan alam di Indonesia.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Hutan konservasi lebih dari sekadar rumah flora dan fauna. Banyak kehidupan manusia bergantung dari hutan, terutama di area konservasi.
Hal itu terungkap dalam perayaan Hari Konservasi Alam Nasional 2023 di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (6/11/2023). Kegiatan itu bakal berlangsung sampai Rabu (8/11/2023).
Hadir dalam kegiatan itu, 74 perwakilan Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan taman nasional seluruh Indonesia. Ada juga Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Satyawan Pudyatmoko.
Hari Konservasi Alam Nasional diperingati pada 10 Agustus setiap tahun. Namun, kali ini, pemerintah baru bisa melaksanakannya pada Senin di Kota Palangkaraya.
Satyawan menjelaskan, Hari Konservasi Alam Nasional tahun ini mengambil tema ”Hapungkau Himba Kaliho”. Dalam bahasa Dayak, artinya jiwa yang damai dalam harmoni rimba belantara. Tema itu memiliki makna yang dalam untuk menunjukkan sinergitas bahwa antara alam dan manusia adalah kesatuan.
”Meski saling membutuhkan, manusia lebih membutuhkan alam dibandingkan sebaliknya,” kata Satyawan.
Atas alasan hubungan manusia dengan alam, kata Satyawan, kawasan konservasi harus menjadi alternatif ekonomi untuk masyarakat. Indonesia kini memiliki 26 juta hektar kawasan konservasi berupa hutan lindung.
Kawasan konservasi, lanjut Satyawan, bisa menjadi penggerak ekonomi daerah. Saat ini, sedikitnya 175.000 keluarga menikmati sumber air dari kawasan konservasi. Selain itu, ada 220.236 keluarga mendapatkan akses listrik dari pembangkit listrik tenaga air dari kawasan konservasi. Bahkan, ada 900 watt listrik untuk 1 juta rumah tangga di Madura, Bali, hingga Nusa Tenggara.
Meski saling membutuhkan, manusia lebih membutuhkan alam dibandingkan sebaliknya.
”Belum lagi jasa lingkungan, di mana setiap Rp 1 dari pendapatan negara bukan pajak itu memberikan Rp 10 untuk masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dengan demikian, itu membuktikan ada dampak ekonomi dari kawasan konservasi,” tutur Satyawan.
Selain jasa lingkungan, kawasan konservasi juga dimanfaatkan untuk ekowisata. Di Kalteng, lanjut Satyawan, BKSDA melakukan ekspedisi selama 14 hari. Mereka menemukan 10 spesies tumbuhan baru dan 43 spesies tanaman hias serta tanaman obat. Hal itu menjadi kekayaan alam Kalteng yang akan mengundang peneliti atau wisatawan.
”Jadi, bisa kita bayangkan, kita itu kaya. Banyak yang belum sadar, ternyata kita tidak tahu apa yang kita miliki; tahu setelah ditemukan orang lain,” kata Satyawan.
Akan tetapi, di Kalteng, hutan-hutan juga menjadi sasaran investasi. Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi mengungkapkan, manfaat dari hutan kerap diabaikan. Hutan hanya dilihat sebagai obyek untuk menghasilkan keuntungan ekonomi.
Karena dinilai dari uang, lanjut Habibi, hutan menjadi obyek yang dieksploitasi. Akibatnya, banyak izin dan proyek dikeluarkan pemerintah untuk menebang hutan.
Jadi, bisa kita bayangkan, kita itu kaya. Banyak yang belum sadar, ternyata kita tidak tahu apa yang kita miliki; tahu setelah ditemukan orang lain.
”Kayunya dijual, tanah digali untuk bahan tambang. Saat semua hilang, manusia baru merasakan dampaknya,” kata Habibi.