Para nelayan di Kepulauan Banda, harus melaut lebih lama dan lebih jauh untuk mendapatkan tuna, ikan yang dulu melimpah.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI, STEFANUS ATO
·5 menit baca
Semakin dikejar semakin menjauh adalah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan perjuangan sejumlah nelayan di Kecamatan Banda, Maluku Tengah, Maluku dalam mengejar ikan tuna. Beberapa tahun terakhir, para nelayan di daerah yang dikenal sebagai ”sarang tuna” itu harus melaut lebih lama dan lebih jauh untuk mendapatkan ikan pelagis besar tersebut. Sebagian dari mereka bahkan memilih untuk berhenti mengejar.
Kapal biru bermesin 4 tenaga kuda (HP) dengan panjang bodi 8 meter, merapat ke Pulau Run, Kecamatan Banda, Selasa (19/9/2023) siang. Sekitar 15 meter dari daratan, kapal itu kandas karena air laut surut. Dua nelayan, Rimlan (36) dan Ruli (31), yang semula duduk di atas kapal, turun. Mereka mendorong kapal mendekat ke daratan.
Siang itu, kakak-beradik itu baru kembali dari melaut di perairan yang berjarak sekitar 60 mil laut atau 111 kilometer dari tempat tinggal mereka di Pulau Run. Tiga ikan tuna dengan bobot 50-70 kilogram per ekor yang berhasil mereka tangkap hari itu dihargai Rp 7 juta. Jika dipotong dengan biaya operasional untuk melaut sebesar Rp 1,5 juta keduanya membawa pulang uang sebesar Rp 5,5 juta.
Pada hari itu mereka tergolong beruntung. Sebab, sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut, mereka pulang dengan tangan kosong. Mereka juga masih harus menanggung kerugian biaya operasional melaut sebesar Rp 1,5 juta per hari.
”Beberapa tahun belakangan, cari ikan tuna itu susah. Dalam sepekan, mungkin hanya dua sampai tiga kali kami dapat (ikan tuna),” kata Rimlan, yang sudah 22 tahun terakhir bekerja sebagai pencari tuna.
Pada awal tahun 2000-an, Rimlan selalu bisa membawa pulang tuna setiap hari. Dalam sehari, Rimlan mendapatkan setidaknya lima hingga enam tuna dengan bobot masing-masing mencapai ratusan kilogram.
Kala itu, mereka tak harus melaut jauh-jauh untuk mendapatkan tuna. Ikan tuna dengan mudah mereka dapatkan dalam jarak 15-30 mil atau sekitar 30-60 menit. Kini, mereka harus melaut dengan jarak minimal 60 mil atau sekitar 2 jam untuk bisa mendapatkan ikan tuna.
”Terkadang, kami sudah melaut sampai 80 mil pun belum bisa dapat tuna. Mungkin, tuna-tuna itu menjauh karena takut, kapal-kapal yang mencari mereka semakin banyak,” tuturnya.
Rimlan menambahkan, 23 tahun silam, kapal pencari tuna di Banda berjumlah belasan unit. Saat itu, harga tuna sekitar Rp 6.000 per kilogram. Seiring berjalannya waktu, harga tuna naik sepuluh kali lipat, hingga Rp 60.000 per kilogram.
Hal itu membuat jumlah kapal pencari tuna bertambah menjadi puluhan unit. Bertambahnya jumlah kapal yang berlalu lalang membuat tuna terganggu sehingga ikan ini terus menjauh, mencari lokasi yang lebih aman.
Tak hanya semakin jauh, bobot tuna hasil tangkapan tuna pada masa ini juga jauh lebih kecil dari sebelumnya. Dulu, rata-rata nelayan menangkap tuna dengan bobot 90-100 kilogram. Kini, ikan tuna yang kerap didapatkan para nelayan berbobot mulai dari 20 kilogram per ekor.
Menyerah
Kesulitan mendapatkan ikan tuna juga dikeluhkan oleh para nelayan di Naira, Kecamatan Banda. Eko (39), warga Naira yang sudah belasan tahun menjadi nelayan tuna, misalnya, memilih untuk menyerah dalam mencari ikan tuna.
”Sekitar 2,5 tahun lalu saya memutuskan untuk tidak lagi mencari tuna. Saya beralih untuk ikut nelayan lain mencari ikan momar yang lebih mudah didapat,” ucap Eko.
Eko menuturkan, dirinya mantap mengambil keputusan untuk beralih setelah menderita kerugian bertubi-tubi lantaran usahanya dalam mencari tuna tak lagi membuahkan hasil. Tabungannya sudah habis untuk membiayai operasional melaut. Sementara, utangnya juga terus bertambah karena kondisi tersebut.
”Uang yang didapatkan dari (mencari) ikan momar memang tidak sebesar ikan tuna, tapi setidaknya ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalau dulu, (saya) bisa bawa pulang jutaan rupiah per hari dengan mencari tuna. Kini, (saya) hanya bisa membawa pulang puluhan hingga ratusan ribu rupiah per hari saja dari ikan momar," ujarnya.
Eko tidak sendiri, sejumlah nelayan di Pulau Run juga memutuskan pensiun dari pekerjaannya mencari tuna. Jika Eko memilih untuk bekerja di kapal milik nelayan lain sebagai awak buah kapal, Basrun Laminggu (55), warga Pulau Run yang sudah lebih dari 20 tahun mencari tuna, memutuskan beralih ke bisnis lain.
Mayoritas kapal berubah menjadi kapal pencari ikan momar atau kapal pengangkut.
Sekitar sebulan terakhir, Basrun berupaya memodifikasi kapalnya dari pemburu tuna menjadi pengangkut ikan momar. Jika sudah selesai dimodifikasi, kapalnya akan menampung ikan momar hasil tangkapan para nelayan. Ikan tampungan itu kemudian dia jual ke perusahaan-perusahaan di Ambon, Seram, dan Masohi (ibu kota Kabupaten Maluku Tengah).
”Dulu, di Pulau Run ada sekitar 40 kapal pencari tuna. Kini, jumlahnya tinggal sekitar 10 buah. Mayoritas kapal berubah menjadi kapal pencari ikan momar atau kapal pengangkut,” kata Basrun.
Sejarah mencatat, perairan Banda menjadi surga bagi para pemburu tuna. Wilayah itu kerap didatangi kapal-kapal ikan dari dalam dan luar negeri. Lebih dari sepuluh tahun, antara 1968-1979, sebanyak 1.000 kapal ikan Jepang menangkap tuna di Laut Banda dengan kuota tangkapan maksimum 8.000 ton per tahun. Kerja sama itu bernama Banda Sea Agreement (Kompas.id).
Melampaui
Sejumlah keluhan nelayan seperti semakin jauh dan semakin susahnya mendapatkan tuna di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714 itu diduga Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia, Hendra Sugandhi, terjadi karena fishing effort atau upaya tangkapnya sudah melampaui hasil maksimum lestari (MSY). Hal itu dimungkinkan terjadi karena jumlah kapal penangkap tuna kian banyak.
Hendra menuturkan, pada saat Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (2014-2019), WPP 714 merupakan kawasan lindung laut. Kondisi itu seharusnya membuat tingkat pemanfaatan di wilayah itu membaik. Namun, kini, status tingkat pemanfaatan di wilayah itu malah memburuk.
”Seharusnya ada pengendalian dan tidak bisa hanya izin dari pemerintah pusat aja. Tapi izin dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus dilihat juga,” ucap Hendra.
Menurut dia, perlu ada kebijakan penangkapan ikan yang dibuat untuk menjaga kelestarian sumber daya. Hal itu, misalnya, bisa dilakukan dengan sistem buka-tutup penangkapan ikan di wilayah tersebut pada periode tertentu.
Selain itu, Hendra juga berharap pengaturan komposisi alat tangkap diketatkan. Alat tangkap yang digunakan diharapkan bisa lebih produktif dan ramah lingkungan. Di WPP 714, Hendra menyebut, alat tangkap yang dominan adalah purse seine pelagis kecil. Padahal, yang diizinkan adalah purse seine pelagis besar.