Lumbung ikan nasional diwacanakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada Agustus 2010. Pada era Presiden Joko Widodo, proposal itu sudah masuk ke Istana.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
Perahu-perahu nelayan berukuran maksimal 3 gros ton (GT) berjejer di pesisir kampung-kampung nelayan di Pulau Morotai, Maluku Utara. Dari kejauhan, gelombang tinggi berkejaran menuju pesisir. Berada di bibir Samudra Pasifik, perairan itu kerap diterjang gelombang tinggi.
Al Hadar (52), warga Desa Bere-Bere, Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai, terpaksa menepikan perahunya. Angin bertiup kencang dan tinggi gelombang lebih dari 3 meter tak mungkin bisa ditaklukkan perahunya yang berukuran kurang dari 3 GT.
”Hanya perahu berukuran lebih dari 30 GT yang bisa menaklukkan ombak itu, seperti kapal-kapal nelayan dari Bitung (Sulawesi Utara). Mereka tetap bisa mencari ikan di dekat Morotai meski ombak sedang tak bersahabat,” tuturnya.
Berdasarkan data Koperasi Nelayan Tuna Pasifik di Sangowo, Morotai Utara, dari 60 nelayan yang terdaftar sebagai anggota, seluruhnya memiliki perahu berukuran antara 1,5 GT dan 3 GT. Perahu seperti itu berisiko tenggelam ketika tinggi gelombang melampaui 1 meter.
Selain armada tangkap, nelayan kerap kesulitan memperoleh bahan bakar minyak yang pasokannya terbatas. Akibatnya, saat musim ikan, mereka terpaksa membeli pertamax yang harganya mencapai Rp 17.000 per liter dari harga semestinya Rp 15.500 per liter.
Kepala Dinas Perikanan Morotai Yoppy Jutan menuturkan, niat memperbesar armada tangkap terkendala keterbatasan anggaran. Anggaran pengembangan sektor perikanan hanya 1 persen dari total APBD Morotai sebesar Rp 800 miliar yang habis menopang sarana dan prasarana perikanan.
Diakuinya, sempat datang bantuan kapal-kapal berukuran besar dari pemerintah pusat. Namun, sejumlah kapal desainnya di bawah standar. ”Kapalnya akan dioperasikan di Samudra Pasifik, tetapi kapal yang diberikan seperti yang beroperasi di teluk,” katanya. Nelayan membutuhkan kapal berukuran minimal 28 GT.
Tak hanya Morotai, problem sektor perikanan tangkap juga dialami nelayan di Kecamatan Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Hal itu tergambar ketika Kompas mengikuti perjalanan nelayan melaut pada Senin (18/9/2023) dini hari. Sekitar satu jam bertolak dari Pulau Naira, kapal pemburu ikan pelagis kecil berkekuatan 80 GT yang dinakhodai Ramli Lestaluhu (61) tiba di rumpon.
Hanya sekitar 30 menit setelah ditebar, jaring itu kembali ditarik ke kapal. Perlahan-lahan sejumlah ikan momar atau ikan layang (Decapterus) yang terjebak menggelepar-gelepar di dalamnya. Jumlahnya sekitar 387 kilogram.
Kendati tangkapan melimpah, rezeki nelayan di Banda tak pernah pasti. Belum tentu tangkapan mereka laku terjual di pasaran mengingat minimnya pembeli. Ketika tangkapan melimpah, terutama September hingga Desember, tempat penampungan ikan atau pengelolaan ikan kewalahan menampungnya. Itu lantaran tempat pembekuan ikan atau cold storage terbatas. Penampung tak berani membeli banyak, harga ikan pun merosot.
Dengan terpaksa sebagian nelayan membuang tangkapan ke laut. Jumlahnya mencapai ratusan ton. ”Saat musim panen, bahkan kami libur. Ikan yang dibeli perusahaan kadang hanya dari nelayan yang sudah bermitra dengan cold storage,” kata Maarif (56), nelayan di Pulau Run, sekitar satu jam perjalanan dari Naira.
Wilayah kepulauan itu berada di tengah kepungan Laut Banda, salah satu perairan tersubur di Indonesia. Laut Banda bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714, bersama dengan WPP 715 (Laut Maluku), WPP 716 (Laut Sulawesi), WPP 717 (Teluk Cenderawasih), dan WPP 718 (Laut Aru-Arafura) disebut sebagai rumah bagi banyak spesies bernilai ekonomi tinggi. Wilayah-wilayah itu menyumbang lebih dari separuh potensi perikanan tangkap di Indonesia.
Peneliti Pusat Riset Laut Dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional, Yosmina Tapilatu, menjelaskan, ditinjau dari segi oseanografi fisika, posisi Laut Banda berada dalam Arus Lintas Indonesia (Arlindo), yang membuat air laut di kawasan itu sebagian berasal dari arus air Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia. Arus itu datang membawa nutrisi yang bermanfaat bagi ikan.
Selain Arlindo, fenomena upwelling yang terjadi di Laut Banda setiap tahun membuat kondisi perairan subur. Fenomena ini biasanya intens terjadi mulai Mei hingga September. Melalui upwelling, air di lapisan bawah laut terangkat oleh embusan angin sehingga membawa nutrisi ke permukaan. Nutrisi itu membuat plankton, makanan ikan, tumbuh subur.
Guru Besar Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Alex Retraubun, menilai, dengan kekayaan potensi itu, Kepulauan Maluku layak ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional. Penetapan itu harus melalui regulasi sebagai payung hukumnya sehingga pembangunan sektor perikanan nasional akan difokuskan di lumbung ikan tersebut.
Pembangunan dimaksud dapat dilakukan terintegrasi mulai dari sarana dan prasarana perikanan, penyiapan sumber daya manusia, pembangunan industri perikanan, hingga akses pasar. Pelaku utama dalam program itu adalah nelayan kecil.
Menurut Alex yang juga salah satu konseptor rancangan lumbung ikan nasional, wacana tersebut pertama kali dicetuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada Agustus 2010. Kemudian di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, proposal itu sudah masuk ke Istana.
Alex pun mengingatkan, pengelolaan perikanan wajib memperhatikan prinsip keberlanjutan. Cerita kelam perikanan di daerah itu, seperti penangkapan berlebihan hingga eksploitasi nelayan, jangan sampai terulang lagi seperti dulu.
Jejak eksploitasi itu masih sangat jelas terlihat saat Kompas mendatangi Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Jumat (22/9/2023). Wilayah yang dulu menjadi jantung ekonomi Kepulauan Aru telah berubah menjadi kota mati. PT Pusaka Benjina Resources, perusahaan yang beroperasi di pulau itu, ditutup lantaran terlibat kasus perbudakan nelayan asing yang terungkap pada tahun 2015.
Puluhan kapal besi teronggok dan berkarat. Gedung di dekat dermaga terbengkalai. Sekitar 1.000 karyawan yang pernah bekerja di tempat itu telah pergi. ”Potensi ikan di sini melimpah. Industri dibutuhkan untuk mengelolanya, tetapi dengan cara yang baik,” kata Mat Sarif (49), warga Benjina.
Sayangnya, program lumbung ikan nasional kini seolah buntu. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Erawan Asikin mengungkapkan, berdasarkan paparan rencana program kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2024, nama lumbung ikan nasional tak lagi ditemukan. Permasalahan anggaran menjadi salah satu alasannya. Ini berarti, lumbung ikan nasional berjalan mundur jauh ke belakang. (APA/NIA/IDO/IKI/RAP/VAN/XTI/TAM/NDU/ENG/FRN)