Tiga Mahasiswa di NTT Bunuh Diri pada Periode Oktober 2023
Tiga mahasiswa dari perguruan tinggi berbeda di NTT bunuh diri selama periode Oktober 2023. Dua orang gantung diri dan satu orang melompat ke jurang. Orangtua dan tokoh agama perlu mengatasi ini.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Selama Oktober 2023, tiga mahasiswa dari perguruan tinggi berbeda di Nusa Tenggara Timur bunuh diri. Para korban adalah mahasiswa semester atas yang tidak lama lagi diwisuda. Orangtua dan tokoh agama diharapkan bisa memberikan perhatian kepada anak-anak.
Dosen Psikologi Universitas Nusa Cendana, Kupang, Indra Yohanes Kiling, di Kupang, Selasa (31/10/2023), mengatakan, kasus terakhir terjadi Senin (30/10/2023). Seorang mahasiswa Universitas Widya Mandira, Kupang, berinisial ARD (24) dari Adonara ditemukan tewas di kamar indekosnya di Kelurahan Penfui Timur, Kota Kupang. Ia meninggal dengan cara gantung diri.
Korban merupakan mahasiswa semester VI pada 2022. Namun, sejak 2023 korban jarang ke kampus dengan alasan yang tidak jelas. Sejak saat itu pula korban jarang bergaul dengan teman. Menyendiri di kamar indekos, bermain ponsel pintar sendirian. Malam sebelum bunuh diri, yakni Senin (30/10/2023) sekitar pukul 02.00 Wita, ponsel korban masih terpantau aktif.
ARD ditemukan tewas pada Senin sekitar pukul 09.00 Wita, setelah salah satu rekannya datang hendak meminjam buku. Rekannya itu mengetuk pintu, tetapi tidak dibuka. Ia memaksa mendorong pintu kamar yang mudah dibuka itu. Temannya tersebut kaget menyaksikan tubuh korban tergantung dengan tali rafia.
Saksi itu pun melaporkan kejadian tersebut kepada rekan-rekan lain. Mereka beramai-ramai ke kamar korban untuk menurunkan jenazah korban dan kemudian melapor ke ketua RT setempat. Jenazah korban dibawa ke RSUD Yohannes Kupang untuk dimandikan.
Orangtua korban menerima kejadian itu sebagai musibah keluarga. Mereka pun membuat surat pernyataan tidak mengizinkan aparat kepolisian mengotopsi jenazah ARD. Jenazah korban dibawa pulang ke Adonara dengan pesawat.
Sementara pekan lalu, Senin (23/10/2023), seorang mahasiswi Politeknik Kesehatan Negeri Kupang, Anggreani Lobo (26) asal Sumba Timur, melompat dari Jembatan Liliba Kota Kupang. Korban adalah mahasiswi diploma tiga keperawatan. Ia mengajak kedua orangtua dari Sumba dengan alasan mengikuti wisuda dirinya. Namun, sebenarnya korban belum wisuda karena beberapa tugas belum rampung dan terancam drop out.
Orangtua Anggraeni pun datang ke Kupang karena menduga anaknya akan diwisuda. Merasa bersalah terhadap kedua orangtua, korban pun berniat bunuh diri. Ia meminta izin kepada orangtua yang sedang berada di kamar indekosnya dengan alasan berdandan sebagai persiapan wisuda keesokan hari. Ternyata, kepergiannya pada malam itu menuju jembatan Liliba untuk mengakhiri hidup.
Dari atas jembatan dengan ketinggian 70 meter itu, korban melompat ke dasar kali pada pukul 19.30 Wita. Ia meninggal di tempat. Jenazah Anggreani pun dibawa ke kampung halamannya di Sumba Timur.
Kasus ketiga, seorang mahasiswi di Ruteng, Rani (24) asal Manggarai, tewas bunuh diri awal Oktober 2023, dengan cara gantung diri di kamar mandi. Kasus ini tidak banyak diketahui publik. Diduga, korban bunuh diri karena masalah asmara.
Menurut Indra, penyebab bunuh diri di kalangan mahasiswa NTT belakangan ini belum didalami khusus oleh peneliti untuk menemukan apa penyebab sesungguhnya. Namun, yang jelas, ada banyak faktor pendukung, di antaranya neurobiologis. Ini lebih rentan seseorang bertindak nekat mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
”Misalnya, orang itu sedang sedih, tetapi bukan sedih biasa. Dia sedih sekali, tak bisa dibendung dengan cara apa pun. Ini sakit psikologis yang tak tertahankan. Sulit dikelola sesuai akal sehat dan melalui cara apa pun. Apalagi pembawaan orang itu pribadi yang selalu menyendiri,” kata Indra.
Problem yang dihadapi bisa berupa beban studi yang dinilainya berat, sulit ditempuh atau diselesaikan sesuai waktu yang ditetapkan, ditambah orangtua yang miskin dan atau sakit-sakitan, kemungkinan biaya kuliah dipinjam dari luar atau hasil jual warisan, seperti tanah. Di sisi lain, korban tidak sanggup menyelesaikan tugas-tugas di kampus, ditambah aturan-aturan di perguruan tinggi yang membebani dirinya.
Peran orangtua dan tokoh agama penting mengelola pikiran dan masalah generasi muda.
Apalagi jika ada pembanding, semisal anak tetangga sudah lulus duluan dan mendapatkan pekerjaan, sementara korban masuk kuliah lebih awal belum selesai, bahkan terus meminta biaya kuliah, uang kos, dan lain-lain dari orangtua.
Ince Khayana (19), mahasiswi semester tiga Undana Kupang, mengatakan, kunci utama ketenangan dan kenyamanan seorang mahasiswa adalah membangun komunikasirutin dengan orangtua, di samping berdoa. Keterbukaan mahasiswa selaku anak terhadap orangtua atau anggota keluarga sangat penting.
”Saya selalu menceritakan kegiatan di kampus. Suka-duka mengikuti mata kuliat tertentu. Minimal dalam sepekan 2-3 kali berkomunikasi. Saat komunikasi itu pula kita tahu situasi di keluarga. Kondisi pekerjaan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain di rumah. Jadi, kalau ada kesulitan kami selalu bagi pengalaman,” katanya.
Dosen Sosiologi Undana Kupang, Lasarus Jehamat, mengatakan, orangtua dan lembaga agama harus menanamkan kepada setiap anak agar memiliki mimpi sukses yang luar biasa di masa depan. Mimpi sukses itu bakal menjadi pegangan anak untuk meraih cita-cita tersebut. Tentu didukung dengan bekerja rajin dan berdoa yang tekun.
Dengan cara ini orang itu tidak muda frustrasi atau stres jika menghadapi masalah. Ponsel pintar yang menyediakan semua informasi di dalam media sosial hanya sebagai sarana menuju sukses tersebut.
”Peran orangtua dan tokoh agama penting mengelola pikiran dan masalah generasi muda. Kehidupan rohani yang kuat dan pergaulan beretika yang leluasa terhadap semua orang perlu dimiliki kaum remaja,” kata Jehamat.