Peta Digital Situs Pelanggaran HAM Aceh Diluncurkan
Peta digital tersebut berisi informasi tempat atau lokasi pelanggaran hak asasi manusia di Aceh pada masa konflik. Di dalam peta digital itu dilengkapi dengan titik lokasi, narasi sejarah, dan foto.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Empat organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu kemanusiaan meluncurkan peta digital situs pelanggaran hak asasi manusia berat yang pernah terjadi di Provinsi Aceh. Situs dalam bentuk digital tersebut bentuk pendokumentasian sejarah masa lalu untuk menjadi memori kolektif bagi generasi sekarang.
Peluncuran peta digital itu dilakukan pada Senin (30/10/2023) di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Adapun tiga lembaga lain yang terlibat adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat Aceh, serta Asia Justice and Rights.
Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna mengatakan, peta digital tersebut berisi informasi tempat atau lokasi pelanggaran hak asasi manusia di Aceh pada masa konflik. Di dalam peta digital itu dilengkapi dengan titik lokasi, narasi sejarah, dan foto.
Situs digital tersebut bisa diakses melalui https://sitesoftorture.asia-ajar.org/. Dalam situs tersebut muncul peta Provinsi Aceh. Lokasi pelanggaran HAM ditandai dengan titik hitam di 12 kabupaten/kota. Meski belum lengkap, keberadaan peta digital satu langkah maju dalam usaha merawat sejarah.
Husna mengatakan, semangat penyusunan peta digital itu untuk mendokumentasikan sejarah konflik Aceh. Husna khawatir jika tidak didokumentasikan dalam bentuk digital maka berpotensi akan hilang ditelan masa.
”Jika tidak didokumentasi seolah-olah di sana tidak terjadi apa-apa. Kami ingin mewariskan pengetahuan kepada anak muda,” ujar Husna.
Husna mengatakan tempat terjadinya pelanggaran HAM tersebut beragam mulai dari gedung sekolah, kantor pemerintahan, rumah warga, hingga pos militer. Kini, sebagian besar tempat tersebut telah banyak berubah sehingga nyaris tidak ditemui tanda-tanda tempat pelanggaran HAM.
Menurut Husna, apabila tidak didokumentasikan dalam bentuk digital, suatu saat sejarah di tempat tersebut sepenuhnya hilang. ”Kami menginginkan seperti tempat-tempat bersejarah di luar negeri yang dirawat hingga kini,” kata Husna.
Ini akan sangat mudah menjadi rujukan dalam kegiatan akademis. Guru di sekolah dan dosen sangat terbantu mengajarkan kepada peserta didik tentang sejarah Aceh.
Anggota Asia Justice and Rights (AJAR), Mulki Makmun, menuturkan, dalam peta digital tersebut terdapat 160 titik atau lokasi yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Periode pelanggaran HAM yang didokumentasikan sejak 1989 hingga 2005. Adapun pada Agustus 2005, Aceh telah damai.
Mulki mengatakan tidak mudah mencari jejak sejarah pelanggaran HAM di Aceh. Beberapa lokasi, seperti Rumoh Geudong dan Simpang KKA, telah populer, tetapi banyak lokasi lain yang tidak terpublikasi. Menurut Mulki, tempat-tempat yang belum terpublikasi masif harus dicatat agar warga di daerah bersangkutan tahu sejarahnya.
Antropolog dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, mengatakan, peta digital situs pelanggaran HAM Aceh sangat relevan dengan kondisi kekinian. Saat ini digitalisasi menjadi mode jamak digunakan untuk proses ajar di kampus.
”Ini akan sangat mudah menjadi rujukan dalam kegiatan akademis. Guru di sekolah dan dosen sangat terbantu mengajarkan kepada peserta didik tentang sejarah Aceh,” kata Reza.
Namun, Reza menyarankan agar narasi dalam situs itu lebih diperkaya agar warga mendapatkan informasi yang utuh.