Beras menjadi penyumbang inflasi di Kalimantan Tengah yang disebut sebagai lumbung pangan nasional. Ironisnya, harga beras pun naik.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Beras mengalami kenaikan harga menjelang akhir tahun. Komoditas itu juga merupakan penyumbang utama inflasi di Kalimantan Tengah. Hal itu jadi ironi lantaran Kalteng memiliki program nasional lumbung pangan.
Kasim (46), pedagang sembako di Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya, menjelaskan, harga beras mengalami kenaikan. Harga beras kemasan 5 kilogram kini mencapai Rp 73.000 di mana harga normal hanya Rp 67.000 per 5 kg. sementara harga beras pera mencapai Rp 14.000 per kg atau naik Rp 2.000 dari harga normal Rp 12.000 per kg.
Kasim juga menjual beras pulen dengan harga Rp 16.000 per kg atau naik setidaknya hampir Rp 5.000 dari harga normal Rp 11.000 per kg. ”Naik turun harganya, dari awal September sudah naik, tapi sempat turun lagi. Lalu sekarang ini naik lagi,” katanya saat ditemui di Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (29/10/2023).
Tak hanya di Pasar Kahayan, kenaikan harga juga terjadi di Pasar Besar Palangkaraya, Jalan Ahmad Yani, Kota Palangkaraya. Rudiantoro (35), salah satu pedagang beras, mengungkapkan, sudah hampir seminggu harga beras naik. Menurutnya, kenaikan sudah terjadi dari pemasok beras. ”Saya ambil beras dari Banjarmasin (Kalimantan Selatan),” katanya.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng, inflasi terjadi sebesar 0,11 persen di Kalteng dengan sampel Kota Palangkaraya dan Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Andil komoditas utama terhadap inflasi tersebut merupakan beras dengan nilai 0,07 persen dan bensin 0,06 persen.
Melihat hal tersebut, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalteng Taufik Saleh membenarkan inflasi di Kalteng disumbang oleh komoditas beras. Inflasi pada September yang sebesar 0,11 persen itu meningkat dibanding Agustus di mana saat itu Kalteng mengalami deflasi sebesar 0,20 persen.
”Kenaikan harga beras ini sejalan dengan kenaikan harga gabah kering panen atau GKP di tingkat petani,” kata Taufik.
Lumbung pangan
Pada 2020, Presiden Jokowi datang ke Kalteng untuk memulai Program Strategis Nasional (PSN) dengan penanaman perdana. Saat itu, setidaknya 30.000 hektar sawah diintensifikasi untuk program lumbung pangan atau yang dikenal dengan sebutan food estate (Kompas, 8 Oktober 2020).
Food estate hadir dengan komoditas utama merupakan padi. Saat ini, ditambah perluasan sawah baru, program tersebut setidaknya dilaksanakan di lahan seluas lebih kurang 60.000 hektar. Rinciannya, di Kabupaten Kapuas dengan total 34.000 hektar dan Kabupaten Pulang Pisau ada 10.000 hektar lahan intensifikasi dan 16.000 hektar lahan ekstensifikasi.
Dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Palangkaraya Fitria Husnatarina mengungkapkan, hal ini merupakan ironi yang terjadi lagi di Kalteng. Ironi pertama yang pernah terjadi adalah saat harga minyak goreng naik di tengah Kalteng memiliki jutaan hektar perkebunan sawit.
”Ironi ini berulang, persis seperti ini. Masalahnya program ini (food estate) tidak melihat mekanisme pasar, kalau memang berhasil seharusnya saat ini di pasar akan punya banyak varian beras, termasuk dari food estate,” kata Fitria.
Fitria menambahkan, kawasan industri pascapanen tidak ada di Kalteng sehingga tidak bisa mengakomodasi produk dari petani di Kalteng. ”Bahan baku itu di mana kawasan industri ada, misalnya di Banjarmasin,” katanya.
Aktivitas produk turunan terjadi di luar Kalteng, lanjut Fitria, sehingga Kalimantan Tengah hanya mendapatkan sisanya. ”Kalteng ini sumber daya yang mengirim bahan baku keluar, semua aktivitas di luar. Sampai di Kalteng (produk) harganya menjadi tinggi, lalu jadi penyumbang inflasi,” ujarnya.
Bagi Fitria, food estate bukan solusi ketahanan pangan, apalagi kedaulatan pangan. Perlu dibangun industri hilir yang lebih baik antara petani dan sistem distribusi. Memotong jalur distribusi dan memikirkan mekanisme pasar.