Seni Gambuh, Drama Tari Klasik dari Era Kerajaan Bali
Pentas seni Gambuh Buddha Kecapi di area Pemedal Agung Puri Klungkung, Klungkung, Jumat (27/10/2023), menjadi upaya mengangkat dan melestarikan seni klasik Bali. Gambuh Buddha Kecapi disajikan Yayasan Puri Kauhan Ubud.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
Area Pemedal Agung Puri Agung Klungkung tampak istimewa, Jumat (27/10/2023) malam. Kompleks taman di bekas kawasan istana Raja Klungkung, yang bersebelahan dengan obyek wisata andalan Klungkung, yakni Kertha Gosa dan Museum Semarajaya, menjadi panggung pementasan drama tari klasik Bali, yakni Gambuh.
Gambuh adalah drama tari klasik, yang berkembang di Bali sejak abad ke-15 Masehi. Gambuh dipandang sebagai sebentuk total teater, yang menampilkan seni tari, seni sastra, seni musik, dan lainnya sebagai satu penampilan.
Kekhasan lain pada Gambuh adalah dominannya bunyi seruling dalam pementasan drama tari klasik itu. Sebagai bentuk kesenian klasik, Gambuh dinilai bentuk seni yang paling lengkap dan paling kaya dengan ragam gerak tari.
Gambuh memiliki keterkaitan erat dengan kerajaan klungkung, Majapahit dan cerita Panji. Seperti diketahui Kerajaan Klungkung di Bali merupakan penerus Kerajaan Gelgel. Kerajaan ini dikenal sebagai pewaris Kerajaan Majapahit. Ida Dalem Semara Putra, penglingsir atau pimpinan Puri Agung Klungkung, mengatakan, sejarah Kerajaan Klungkung bertaut erat dengan ekspedisi Gajah Mada sekitar abad ke-14 Masehi.
Kerajaan Klungkung juga berperan penting dalam sejarah bangsa, di antaranya, melalui Puputan (perang habis-habisan) Klungkung pada 1908.
Adapun kesenian Gambuh, menurut budayawan Bali, I Made Bandem, diperkirakan mulai dikenal pada abad ke-15 Masehi. Keberadaan Gambuh di Bali tidak lepas dari masuknya cerita Panji ke Bali.
“Gambuh disebut sebagai seni istana karena kelahiran Gambuh pertama ada di Puri Gelgel di Klungkung,” ujar Bandem, yang juga disebut sebagai “the Joe Papp of Bali” seusai menyaksikan pementasan seni Gambuh di area Pemedal Agung Puri Agung Klungkung, Jumat malam.
Cerita Panji merupakan epos klasik dalam sastra Jawa, yang terkenal di Indonesia dan Asia Tenggara. Cerita Panji, seperti disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, adalah karya otentik Nusantara, yang berasal dari Jawa Timur.
Dari siaran pers Kemendikbudristek tentang ASEAN Panji Festival 2023, Hilmar Farid menyebut cerita Panji tidak hanya dikenal di Jawa, tetapi juga di Lombok, Palembang, Banjarmasin, Aceh, bahkan sampai di Siam, Campa, dan Filipina.
Namun, pada pergelaran seni Gambuh di halaman Pemedal Agung Puri Agung Klungkung, Jumat, tidak mengangkat kisah Panji sebagai lakon, tetapi mengadaptasi cerita Buddha Kecapi, yang mengisahkan seorang ahli pengobatan tradisional bernama Buddha Kecapi.
Naskah Gambuh Buddha Kecapi, yang bersumber dari lontar Buddha Kecapi, dibuat sastrawan dan pegiat teater Cokorda Sawitri. Pergelaran seni Gambuh Buddha Kecapi pada Jumat difasilitasi Yayasan Puri Kauhan Ubud, Gianyar, serangkaian penutupan kegiatan Sastra Saraswati Sewana 2023.
Buddha Kecapi
pengusadha
Ari Dwipayana, yang juga koordinator staf khusus presiden, mengatakan, pementasan Buddha Kecapi sebagai seni Gambuh juga menjadi bentuk pembumian warisan pengetahuan dan budaya Bali sekaligus peneguhan kesadaran melalui seni.
Selain serangkaian pergelaran Gambuh Buddha Kecapi pada Jumat malam, pihak Yayasan Puri Kauhan Ubud juga mengadakan pameran foto tentang Gambuh, yang bertajuk Gambuh Citra Prakasana.
Keunikan peradaban Bali berada pada tradisi dan budaya. Ini menjadi daya tarik Bali.
Selain itu, ada pula peluncuran dua buku terkait kegiatan Sastra Saraswati Sewana2023, yaitu, buku berjudul Wariga Siddhi dan Usadha Siddhi. Yayasan Puri Kauhan Ubud mendapat dukungan dari sejumlah sponsor, di antaranya PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk.
Dalam pentas Gambuh Buddha Kecapi di halaman Pemedal Agung Puri Agung Klungkung, Jumat, dikisahkan tentang dua pengobat tradisional, yakni Sang Kalimosaddha dan Sang Kalimosiddhi, tengah terpuruk akibat kesombongan mereka. Sang Kalimosaddha dikejar-kejar akibat dirinya gagal menyembuhkan pasiennya. Begitu pula Sang Kalimosaddha juga dalam pelarian karena kegagalannya mengobati pasiennya.
Kedua pengusadha itu sedang ketakutan dan kebingungan. Mereka kemudian mencari Buddha Kecapi, seorang ahli penyakit, pendiagnosis, dan penyembuh, yang memeroleh anugerah Dewa Siwa karena berkepribadian lurus dan teguh. Buddha Kecapi menjadi sosok, yang sudah memiliki kesempurnaan batin dan dihormati sebagai pengusadha mumpuni.
Dalam kondisi terdesak akibat dikejar-kejar banyak orang, Sang Kalimosaddha dan Sang Kalimosiddhi akhirnya dapat bertemu Buddha Kecapi. Kedua pengobat itu lantas menjadikan Buddha Kecapi sebagai guru dan mereka kemudian belajar tentang filosofi dan tata etika pengusadha dari Buddha Kecapi.
Pementasan Gambuh Buddha Kecapi mendapat apresiasi dari tetamu dan undangan, yang menyaksikan pergelaran selama 75 menit. Sejumlah penonton menyatakan terpesona dengan kemegahan pergelaran Gambuh itu.
Meskipun dialog dalam pergelaran Gambuh lebih banyak menggunakan bahasa Bali, bahkan bahasa Kawi atau Jawa kuno, penonton dapat menikmati keseluruhan pentas karena penyelenggara memberikan buku program, yang juga berisikan narasi dalam bahasa Indonesia dan pembabakan drama tari tersebut.
Penjabat Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya mengakui dirinya belum pernah menyaksikan pementasan drama tari klasik Bali itu. Dalam sambutannya, Mahendra menyatakan pergelaran Gambuh Buddha Kecapi oleh Yayasan Puri Kauhan Ubud, Gianyar, menjadi upaya menjembatani kesenjangan antara seni klasik dan seni modern di Bali.
Menurut Mahendra, seni Gambuh sebagai bentuk tradisi dan budaya warisan luhur perlu mendapat perhatian dari semua kalangan. “Keunikan peradaban Bali berada pada tradisi dan budaya. Ini menjadi daya tarik Bali,” kata Mahendra.
Gambuh kesenian klasik ini telah mengawetkan cerita lama. Kesenian ini menjadi salah satu kekuatan budaya lokal yang masih dipertahankan. Dari kesenian seperti inilah, Bali tetap jadi hidup dan berdaya