Sembilan Daerah di Sultra Berstatus Tanggap Darurat Kekeringan
Status tanggap darurat kekeringan ditetapkan di sembilan kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Di sejumlah wilayah itu, ribuan hektar sawah gagal panen dan warga mulai kesulitan air bersih.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara menetapkan status tanggap darurat kekeringan di sembilan kabupaten/kota. Di sembilan daerah itu, terdapat ribuan hektar sawah yang gagal panen dan banyak warga yang mengalami kesulitan air bersih akibat kekeringan.
Penjabat Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi Revianto menuturkan, berdasarkan rapat bersama lintas intasi terkait, diputuskan perlunya penanganan darurat kekeringan di sembilan daerah. Sembilan wilayah itu adalah Kabupaten Bombana, Buton, Buton Selatan, Buton Tengah, Kolaka Timur, Konawe, Konawe Selatan, Muna, dan Kota Kendari.
”Kita semua tentu prihatin dengan kekeringan yang terjadi. Oleh karena itu, setelah mendengar masukan, mengkaji data BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), diputuskan untuk dikeluarkan keputusan yang berlaku hingga akhir Desember mendatang,” kata Andap, Kamis (26/10/2023), di Kendari.
Penetapan status tanggap darurat itu, kata Andap, mengacu pada Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Penetapan status dilakukan agar daerah terdampak kekeringan bisa segera mendapatkan penanganan lintas sektor. Upaya penanganan itu menggunakan anggaran dari pemerintah pusat serta anggaran belanja tidak terduga (BTT) Pemprov Sultra.
Andap juga meminta semua instansi terkait segera melakukan pemantauan dan penanganan kekeringan di lapangan. Hal ini untuk mengantisipasi dampak fenomena El Nino yang ikut menyebabkan kekeringan ke depan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sultra Johannes Robert mengungkapkan, penetapan status tanggap darurat dilakukan karena dampak kekeringan semakin meluas. Oleh karena itu, respons cepat diperlukan agar penanganan bisa lebih terpadu dengan dukungan yang maksimal.
Penanganan dampak kekeringan, kata Robert, membutuhkan keterlibatan banyak sektor dengan dukungan anggaran yang jelas. Hal itu agar bencana kekeringan bisa segera tertangani.
”Untuk anggaran, kami telah mendapatkan bantuan alat dan dana Rp 1 miliar dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Nantinya, Pemprov Sultra berkoordinasi dengan daerah untuk melakukan intervensi di sektor yang paling terdampak,” ujarnya.
Selain dana pemerintah pusat, Pemprov Sultra juga menyiapkan anggaran BTT untuk menangani kekeringan. Besaran anggaran yang dikucurkan akan disesuaikan dengan hasil pemantauan di lokasi terdampak.
”Kalau anggaran BTT yang ada di kas daerah sebanyak Rp 10 miliar. Tentu nanti akan ditelaah berapa kebutuhan untuk dampak kekeringan ini. Daerah juga akan mengalokasikan anggaran masing-masing,” ujar Robert.
Seperti wilayah lain di Indonesia, kekeringan panjang terjadi di sejumlah daerah di Sultra. Akibatnya, ribuan hektar sawah gagal panen dan ribuan hektar lainnya terancam kekeringan. Sebagian warga juga telah mengalami kesulitan air bersih.
Hingga pekan kedua Oktober 2023, gagal panen terjadi di 1.295 hektar lahan sawah di Sultra. Jumlah ini terus meningkat dari 824 hektar pada pertengahan September lalu. Adapun total luas lahan terdampak kekeringan di Sultra mencapai 6.070 hektar.
Untuk anggaran, kami telah mendapatkan bantuan alat dan dana Rp 1 miliar dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra Rusdin Jaya mengatakan, hingga pertengahan Oktober, lahan yang mengalami gagal panen paling luas berada di Bombana, disusul Konawe Selatan, dan Kolaka.
Menurut Rusdin, kekeringan akibat fenomena El Nino itu berdampak cukup signifikan dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Sebab, kekeringan terjadi pada masa tanam kedua saat sebagian lahan telah memasuki musim panen.
Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah untuk mencegah dampak yang kian buruk akibat bencana kekeringan. Langkah itu, antara lain, ialah pendataan dan pemantauan yang lebih intens, bantuan pompanisasi ke sejumlah daerah, penyediaan benih tahan kering, dan peningkatan ketersediaan air.