Bergembira Bersama Menyambut Jelajah Timur
Kebahagian terpancar dari wajah warga Desa Naileu, Timor Tengah Selatan, saat bertemu para pelari Jelajah Timur 2023. Kehadiran para pelari ”ultramarathon” itu ikut membantu penyediaan akses air bersih di desa tersebut.
Di bawah terik matahari, puluhan anak-anak SD berpakaian merah putih menunggu di pinggir jalan, Kamis (26/10/2023). Saat rombongan yang ditunggu tiba, bendera Merah Putih dari kertas di tangan mereka kibarkan dengan penuh semangat.
Setelah seluruh rombongan melintas, mereka berlari menuju lokasi acara. Di sana, rekan-rekannya yang telah mengenakan pakaian tradisional siap memberi suguhan lain.
Yarto (13) mengawalinya dengan membaca natoni atau tutur adat penyambutan. Pelajar SMP itu dengan penuh percaya diri melantunkan kata-kata dalam bahasa Uab Meto, salah satu bahasa di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Usai natoni yang berisi sambutan hangat warga, selendang dikenakan kepada perwakilan rombongan. Namun, suguhan ternyata belum berakhir.
Saat musik terdengar, Yarto dan puluhan rekannya mulai menari, baik laki-laki maupun perempuan. Tari Maekat jadi salah satu yang dibawakan. Tari yang dikenal di hampir seluruh Pulau Timor itu terinspirasi dari kemenangan dalam perang.
Seperti namanya, para penari laki-laki menari lepas seperti merayakan kemenangan. Seiring musik yang mengalun, mereka berputar membentuk lingkaran. Tangan kanan membawa pedang. Sementara tangan kiri membawa sarung.
Baca juga: Bantu Penyediaan Air Bersih di NTT, Jelajah Timur Kembali Digelar
Adapun para perempuan tampak menari sambil duduk. Mereka dengan penuh semangat mengibas-ngibaskan seledang dari tenun.
Saat Tari Maekat berakhir, musik pengiring lain terdengar. Kali ini, tidak hanya penari, rombongan juga tak bisa menahan diri. Mereka ikut bergerak menyesuaikan musik pengiring. Seperti namanya, Tari Oko Mama (yang berarti tempat sirih pinang) itu ditutup dengan penyerahan sirih pinang oleh penari ke rombongan.
Lewat pengeras suara, pembawa acara kemudian mempersilakan rombongan untuk duduk. Setelah itu, anak-anak paduan suara dalam balutan pakaian tradisional tampak naik ke panggung.
Lalu, dalam suara yang padu, mereka menyanyikan lagu yang berhasil menghipnosis semua yang hadir. Saat mereka membungkuk sebelum meninggalkan panggung, tepuk tangan pecah.
Baca juga: Kemeriahan Menyambut Pelari Jelajah Timur 2023
Lepas sederet sambutan dan makan bersama, warga laki-laki dan perempuan, tua muda, pun kembali tumpah ruah di panggung. Mereka menari bersama diiringi beberapa lagu hingga natoni perpisahan disampaikan.
Begitulah suasana penyambutan warga Desa Naileu, Kecamatan Kei, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, kepada rombongan pelari Jelajah Timur 2023.
”Antusias sambutan di Naileu membuat saya makin semangat untuk berlari dengan misi membangun akses air bersih, juga mencegah tengkes baik di desa ini maupun wilayah lain di NTT,” kata Erry Permana, salah seorang peserta Jelajah Timur, yang telah 20 kali mengikuti lari amal.
Jelajah Timur adalah lari amal ultramarathon yang diselenggarakan Plan Indonesia di NTT sejak tahun 2019. Plan Indonesia merupakan organisasi hak anak dan kemanusiaan independen yang memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan.
Baca juga: Carla Felany, Berlari untuk Menemukan Diri
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jelajah Timur digelar sebagai salah satu upaya mendekatkan air bersih kepada desa-desa di NTT. Hal itu sekaligus bagian dari upaya pencegahan tengkes atau stunting.
Kegembiraan di Naileu siang itu juga tak lepas dari tujuan tersebut. Naileu adalah salah satu desa di Kei, sekitar 145 kilometer timur laut Kupang, ibu kota NTT, atau 38 kilometer timur Soe, ibu kota Timor Tengah Selatan.
Akses menuju Naileu tidak mudah karena sebagian besar berupa tanah. Apalagi, letak desa ini di dataran tinggi. Jalur itu yang digunakan warga untuk mengambil air. ”Dulu mengambil air masih dengan jalan kaki. Sekarang sudah bisa pakai sepeda motor,” kata Kepala Desa Neileu, Octo A Boimau.
Oleh karena itu, warga desa berpenduduk 972 jiwa dari 232 keluarga itu telah lama menunggu hadirnya fasilitas air bersih.
Baca juga: Ratusan Peserta Meriahkan Lari untuk Kesetaraan di Mataram
Apalagi, selama ini, kendala air bersih menghadirkan masalah-masalah lain, termasuk tengkes. Saat ini masih ada 10 anak yang diduga mengidap tengkes.
”Air bersih buat konsumsi saja sulit, apalagi untuk kebutuhan lain, seperti mandi, cuci, kakus, termasuk untuk ladang bercocok tanam,” kata Octo.
Menurut Octo, kondisi itulah yang membuat mereka sangat antusias menyambut kedatangan para pelari peserta Jelajah Timur. Berkat semangat para pelari mengumpulkan donasi yang per Kamis kemarin mencapai lebih dari Rp 1,1 miliar, warga Desa Neileu bisa mendapat air bersih dengan semakin mudah.
”Jadi begitu tahu kami akan dikunjungi, kami undang masyarakat. Minta sambut luar biasa. Harus meriah,” kata Octo.
Pekerjaan rumah
Sambutan hangat dan meriah juga diberikan bagi para pelari saat menghadiri jamuan di Kantor Bupati Timor Tengah Selatan (TTS). Dalam kesempatan itu, Bupati TTS Egusem Pieter Tahun mengatakan, ketersediaan air bersih memang menjadi masalah di TTS.
Kota Soe, kata Egusem, harus mendatangkan air dari pegunungan Mutis yang jaraknya 58 kilometer. Selain biaya pengelolaannya yang cukup besar, air itu hanya bisa melayani wilayah utara sampai pusat kota. Adapun wilayah lain tidak bisa dilayani.
”Sumber air di daerah ini kebanyakan dari lembah. Perlu teknologi untuk membawanya,” kata Egusem.
Sulitnya air bersih juga turut berdampak pada tingginya prevelensi tengkes di TTS. Menurut Egusem, TTS menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan prevelensi tengkes tertinggi.
Pada 2019, dari 41.000 anak yang diukur, sebanyak 16.000 di antaranya mengalami tengkes. Saat ini, upaya menurunkan tengkes terus dilakukan. Dari jumlah anak yang mengalami tengkes pada 2019, hampir setengahnya bisa ditangani.
”Kami memulai dari hulu. Dari anak-anak remaja hingga yang siap nikah, misalnya dengan memberi pil penambah darah,” kata Egusem.
Pekerjaan rumah itu tentu tidak mudah bagi TTS. Selain karena masalah air bersih, juga masih tingginya keluarga miskin ekstrem. Dari 120.000 lebih keluarga di TTS, masih ada 26.000 yang dinyatakan miskin ekstrem atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Selain masalah tengkes, masalah air bersih juga membuka potensi terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan.
”Di daerah ini, secara kultur, anak-anak perempuan di kampung-kampung kerjanya mengambil air dari sumber yang cukup jauh. Ada banyak masalah yang timbul, misalnya menjadi sasaran orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Egusem.
Air bersih buat konsumsi saja sulit, apalagi untuk kebutuhan lain, seperti mandi, cuci, kakus, termasuk untuk ladang bercocok tanam.
Oleh karena itu, pemerintah daerah sangat mengapresiasi upaya-upaya dalam mendukung penyediaan air bersih dan juga mencegah tengkes di TTS, termasuk yang dilakukan Plan Indonesia.
”Sekecil apa pun upaya dalam penyediaan air bersih yang baik, anak perempuan tidak perlu mengambil air jauh-jauh sehingga kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dihindari,” kata Egusem.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti menyebut, Plan Indonsia sudah menjalankan program di NTT selama 17 tahun. Lembaga itu punya 76 desa dampingan dan 26 desa model untuk pencegahan tengkes.
Plan Indonesia juga punya 14.000 anak dampingan dan 50 persen di antaranya kesulitan mengakses air bersih. ”Tantangannya banyak. Tetapi apa yang bisa dikontribusikan dari Jelajah Timur, bisa membantu," kata Dini.
Kepala Desa Oelbubuk, Kecamatan Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan, Yunus Taboen menuturkan, warga di desa itu dulu sangat kesulitan mengakses air bersih. Mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk bisa mendapatkan air. Seperti di desa lain, kondisi itu membuat munculnya kasus tengkes.
Saat ini, dari empat dusun di desa tersebut, tiga di antaranya telah mendapatkan akses air bersih. Adapun satu dusun lain sedang diupayakan mendapat akses air bersih. ”Sekarang, setelah ada fasilitas, air tetap ada. Bahkan, di musim kemarau kami tidak kesulitan air,” kata Yunus.
Jumlah tengkes juga sudah mulai berkurang di Oelbubuk. Menurut Yunus, semula jumlah anak-anak penderita tengkes mencapai 85 orang. Namun, saat ini, jumlahnya sekitar 60 orang.
Sulitnya akses terhadap air bersih dan masalah tengkes adalah persoalan besar yang tak bisa diselesaikan satu pihak saja. Siapa saja bisa berkontribusi, tentu dengan caranya sendiri. Termasuk peserta Jelajah Timur lewat donasi yang dikumpulkan dengan berlari.