Berburu Batuan Purba hingga Hutan Tua Alas Purwo
Taman Nasional Alas Purwo yang sering dikaitkan dengan cerita mistis menjadi ladang penelitian sangat kaya untuk mengamati dampak perubahan iklim.
Banyuwangi semakin populer sebagai tujuan wisata Tanah Air. Ijen dengan kawahnya yang berair sangat asam, api biru di tepian kawah, hutan Alas Purwo, Pulau Merah, hingga pantai Plengkung di ujung timur telah menjadi Taman Bumi Global UNESCO Ijen atau Ijen UNESCO Global Geopark.
Begitu populernya kawah Gunung Ijen sebagai tujuan wisata, perjalanan dari Desa Tamansari di kaki gunung menuju puncak kawah Ijen pada Jumat (29/9/2023) lewat sedikit dari tengah malam sudah seperti perjalanan wisata. Orang berbondong-bondong di jalan menanjak sekitar 3,4 kilometer. Obrolan dalam berbagai bahasa asing menyela di antara napas yang tersengal. Rata-rata waktu tempuh menuju puncak kawah di ketinggian 2.300-an meter adalah 2-2,5 jam.
Bulan yang purnama bulat penuh dan tanpa halangan awan membuat jalur pendakian dapat dilalui tanpa bantuan cahaya lampu senter. Buat mereka yang tak sanggup berjalan kaki mendaki jalan mulus berpasir tersedia kereta dua roda berangka besi yang didorong satu orang dan ditarik satu atau dua orang dengan ongkos Rp 800.000 naik dan turun. Mereka juga berprofesi sebagai penambang belerang (sulfur) dari kawah Ijen.
Baca juga: Lima Kenangan di Gunung Ijen
Apabila perjalanan mendaki relatif nyaman, tidak begitu halnya ketika turun menuju kawah Ijen. Mereka yang berangkat tengah malam umumnya ingin mengejar api biru Ijen yang terkenal di seluruh dunia. Api ini berasal dari nyala uap sulfur yang bertemu dengan suhu sangat tinggi. Warna kebiruan terlihat saat langit gelap.
Area yang tersedia di tepi kawah terbatas, sementara pengunjung terus mengalir berusaha turun. Mereka yang di bawah ingin berlama-lama atau kesulitan naik. Akhirnya antrean berhenti dan bubar perlahan seiring terbitnya matahari.
Pamandangan menuju puncak Ijen untuk memburu cahaya pertama matahari tak kalah menakjubkan. Di sebelah kiri dari ketinggian, warna biru api dari belerang terlihat samar, sementara di langit, Bintang Pagi atau Venus terlihat cemerlang. Saat semburat cahaya matahari pagi menyentuh permukaan danau yang konon dalamnya 180 meter itu, tampak warnanya hijau kebiruan.
Ijen dengan kawahnya menjadi pusat dari taman bumi (geopark) Ijen. Sejak 24 Mei 2023 melalui sidang Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengatahun, dan Kebudayaan (UNESCO) di Paris, Ijen berstatus global geopark. Status ini berlaku tiga tahun. Ketua Ijen UNESCO Global Geopark Abdillah Baraas menyebutkan, status taman bumi global akan dievaluasi setelah tiga tahun.
Baca juga: Peluang Pengembangan Terbentang Setelah Geopark Ijen Masuk Jaringan Global
Ada persyaratan yang harus dipenuhi agar status tidak dicabut, mulai dari memastikan manfaatnya untuk masyarakat sekitar dari segi ekonomi, pendidikan, budaya, hingga pengembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian mengenai Ijen karena statusnya sebagai taman bumi. Selain sejarah geologi Ijen yang dianggap dapat menjelaskan sejarah Bumi, taman bumi ini memiliki keragaman flora dan fauna yang berhubungan dengan situasi geologi, serta kekhasan budaya yang terbentuk karena pengaruh geologi Ijen.
Luas Taman Bumi Ijen 4.723 kilimeter persegi, berada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo. Sejarah terbentuknya geologi Gunung Ijen menjadi dasar penamaan taman bumi ini. Ada 21 situs geologi yang dikembangkan pemanfaatannya. Kawah Ijen adalah salah satu danau dengan keasaman tertinggi, pH sekitar 0,1.
Kawah Ijen memiliki fenomena api biru. Warna biru dihasilkan dari terbakarnya belerang atau sulfur yang muncul ke permukaan kawah karena tekanan dan panas lava di perut Ijen. Suhu 600 derajat celsius bertemu dengan suhu dingin dan tekanan udara permukaan kawah menyebabkan sulfur menghasilkan api biru. Pada suhu setinggi itu, belerang meleleh dan mengalir ke tepi kawah sehingga tampak seperti lava atau lahar biru. Fenomena api biru juga ada di Eslandia.
Warna biru dihasilkan dari terbakarnya belerang atau sulfur yang muncul ke permukaan kawah karena tekanan dan panas lava di perut Ijen.
Apabila saat ini Ijen menjadi pusat perhatian wisatawan, para peneliti akan juga tertarik pada Pulau Merah. Ijen Geopark Encyclopedia yang dikeluarkan Ijen Geopark (http://geopark-ijen.jatimprov.go.id/ menjelaskan, pada periode Oligocene sekitar 34-23 juta tahun lalu di selatan Taman Bumi Ijen, muncul gunung berapi akibat tumbukan lempeng Indoaustralia dan Eurasia. Tumbukan menyebabkan magma perut bumi menerobos ke permukaan sebagai gunung-gunung berapi. Taman Bumi Ijen pada periode ini masih berupa danau atau lautan luas.
Pembentukan gunung
Dalam perjalanan periode Miocene sekitar 23-5,3 juta tahun lalu, lempeng samudra melandai sehingga sumber magma bergeser ke utara. Gunung-gunung berapi berhenti aktivitasnya. Pada periode Pleistocene (2,6-0.011 juta tahun lalu), lempeng samudra melandai dan mendorong munculnya deretan Gunung Kendeng dan Gunung Ijen Purba.
Ijen Purba meletus dan mengeluarkan material 466 kilometer (km) kubik pada 70.000 tahun lalu. Kaldera yang terbentuk bergaris tengah 15 km, terbesar di Jawa. Di kaldera Ijen Purba ini, terbentuk gunung-gunung, salah satunya Gunung Ijen beserta kawahnya yang dikenal sekarang.
Mulai 10.000 tahun lalu Taman Bumi Ijen terbentuk lengkap. Jejaknya terlihat di gunung api purba di selatan Banyuwangi serta endapan batuan gamping berbahan karbonat yang menuju ke utara hingga Gunung Kawah Ijen.
Di bagian selatan, jejak gunung api purba masih terlihat, yaitu di Pulau Merah. Pulau yang berada sekitar 200 meter dari pantai ini merupakan sisa tubuh gunung api yang tererosi jutaan tahun. Disebut Pulau Merah karena batuannya berwarna merah, berasal dari batuan beku diorit datau granodiorit yang mengalami mineralisasi dan ubahan.
Masih banyak jejak sejarah pembentukan Bumi di Taman Bumi Ijen. Situs tersebut berada di daratan Jawa dan di daerah pantainya. Meskipun terbit banyak publikasi ilmiah mengenai Ijen, penelitian tertap harus dilakukan mengenai kondisi geologi. Perubahan iklim akibat kenaikan suhu muka Bumi perlu diikuti dampaknya pada vegetasi dan fauna serta masyarakat di sekitarnya.
Baca juga: Alas Purwo, dari Pendaratan Pertama Masyarakat Austronesia hingga Peselancar Modern
Taman Nasional Alas Purwo yang sering dikaitkan dengan cerita mistis menjadi ladang penelitian sangat kaya untuk mengamati dampak perubahan iklim. Pantai Plengkung, juga disebut G-Land, yang terkenal di antara para peselancar kelas dunia pasti akan terpengaruh kenaikan suhu muka Bumi. Vegetasi hutan hujan dataran rendah hutan purba ini pada Kamis (28/9/2023) berwarna cokelat sebagian, sementara kera mendekat ke kawasan yang terbuka untuk wisatawan. Mereka minum dari air keran yang tersedia di tepi jalan dan sebagian mengharapkan makanan dari pengunjung. Musim kemarau kering yang panjang tampaknya menguras sumber makanan mereka di dalam hutan.
Di sabana Sadengan yang masih menjadi bagian Alas Purwo, saat matahari mulai tergelincir ke barat, di kejauhan tampak kumpulan banteng dan rusa sedang merumput. Sayangnya, burung merak yang mendekat ke tempat pengamatan tak memamerkan keindahan ekornya.
Sabana seluas 84.220 hektar ini disebut memiliki 302 jenis burung, termasuk elang Ular Bido, elang Ikan Kepala Kelabu, dan elang Laut Perut Putih. Rumputnya sebagian berwarna kecokelatan akibat kemarau.
Di luar situs geologi serta flora dan fauna, pengelola Taman Bumi Global UNESCO Ijen berkwajiban juga mengembangkan situs budaya, termasuk tata kehidupan msyarakat setempat.
Di menuju pintu masuk Kawah Ijen, berjejer deratan warung, tempat parkir mobil yang cukup luas, dan pengunjung harus membayar karcis masuk. Pemandu kami membanggakan diri sebagai orang Osing, komunitas pertama yang tinggal di Blambangan, Banyuwangi.
Tanggung jawab
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi MY Bramuda menyebut, masuknya Taman Bumi Ijen ke dalam taman bumi global UNESCO menjadi promosi wisata untuk Ijen. Kedatangan wisatawan dalam negeri dan internasional diarahkan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi warga sekitar Ijen. Komunitas-komunitas warga diarahkan mengorganisasi diri dalam mengambil manfaat ekonomi dari taman bumi sekaligus ikut menjaga taman bumi itu.
Di sisi lain, masuknya Ijen ke dalam jajaran taman bumi global UNESCO menuntut tanggung jawab untuk menjamin keberlanjutan dan inklusi agar tak ada yang tertinggal. Salah satunya, membuat jalur perjalanan melalui semua 21 dari situs di kawasan taman bumi.
Seperti disebutkan Ketua I Dewan Kepariwisataan Berkelanjutan Indonesia David Makes, koordinasi antarlembaga di pusat, provinsi, hingga kabupaten harus berjalan demi keberlanjutan status taman bumi global UNESCO.
Di lapangan, hal itu dimulai dari pemenuhan kebutuhan dasar pengunjung, yaitu kamar mandi yang bersih dan cukup jumlahnya, tempat menginap milik warga (homestay) dan tempat makan yang terjaga kebersihannya, informasi memadai dalam berbagai bahasa dan medium, serta biaya wajar bagi jasa yang ditawarkan.