Universitas Lampung Tambah Satu Guru Besar Bidang Ilmu Hukum
Universitas Lampung mengukuhkan satu orang guru besar di bidang ilmu hukum pada Rabu (25/10/2023). Pengukuhan ini menambah banyak daftar guru besar yang ada perguruan tinggi negeri tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Universitas Lampung mengukuhkan satu orang guru besar di bidang ilmu hukum pada Rabu (25/10/2023). Pengukuhan ini menambah banyak daftar guru besar di Unila. Saat ini, guru besar di Unila berjumlah 111 orang.
Guru besar yang dikukuhkan adalah profesor bidang ilmu hukum Rudy. Rudy yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan dikukuhkan menjadi guru besar pada usia 42 tahun. Ia sekaligus menjadi guru besar termuda yang Universitas Lampung (Unila).
Rektor Universitas Lampung Lusmeilia Afriani mengatakan, dengan pengukuhan Rudy, saat ini jumlah guru besar di Unila sebanyak 111 orang. Menurut dia, masih ada enam dosen di Unila yang berjuang meraih gelar profesor.
Ia menargetkan, keenam dosen tersebut bisa dikukuhkan sebagai guru besar Unila tahun ini. ”Tahun ini guru besar Unila ditargetkan berjumlah 117 orang,” kata Lusmeilia.
Menurut dia, penambahan guru besar di Unila menjadi salah satu prioritas untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi negeri tersebut. Para guru besar yang telah dikukuhkan juga diharapkan bisa berkontribusi untuk masyarakat lewat berbagai penelitian.
Kita belum punya hukum yang memang didapatkan dari karakter Indonesia sendiri. Sejak dulu kita mentransplantasikan hukum secara paksa, sejak zaman kolonial bahkan sampai sekarang.
Gagasan
Dalam pengukuhan tersebut, Rudy menyampaikan orasi ilmiah berjudul ”Pembangunan Hukum Indonesia di Persimpangan Jalan: Refleksi 4 Abad Pembangunan Hukum Nusantara”. Melalui orasinya, Rudy menyatakan bahwa hingga saat ini Indonesia belum memiliki jati diri dan identitas pembangunan hukum nasional yang tepat dan baik.
”Sampai saat ini, kita belum punya hukum yang memang didapatkan dari karakter Indonesia sendiri. Sejak dulu kita mentransplantasikan hukum secara paksa, sejak zaman kolonial bahkan sampai sekarang,” kata Rudy.
Sejarah panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada masa lalu dikenal sebagai Nusantara telah menapaki jalan panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nusantara berkembang sudah hampir empat abad, sejak era Nusantara, Pra-Kolonial, Kolonial, Pasca-Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Namun, perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut belum membuahkan identitas pembangunan hukum nasional yang stabil.
Pada masa awal kemerdekaan, eksistensi hukum adat masih cukup kuat. Banyak ahli hukum yang masih menaruh harapan dan minat pada kajian dan pembangunan hukum nasional berdasarkan hukum asli Indonesia. Produk pembangunan hukum nasional yang berakar pada hukum adat terlihat pada terbentuknya Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan hasil perkawinan silang antara hukum barat dan hukum adat.
Sayangnya, pembangunan hukum nasional yang diterapkan terkadang dijalankan tanpa arah. Produk hukum sekadar dijadikan alat untuk pencapaian tujuan pembangunan ekonomi, ataupun eksperimen transplantasi hukum yang tidak berakar, atau sesuai dengan tradisi sistem hukum nasional Indonesia.
Rudy menyinggung UU omnibus law yang memangkas habis ratusan UU dan ribuan pasal dapat mengakibatkan bahaya legislasi karena menyebabkan banyak kekosongan hukum. Ia menyebut, omnibus law juga tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia yang berakar pada sistem hukum eropa kontinental.
Menurut dia, beberapa hal yang dapat dicermati dalam UU omnibus law atau Cipta Kerja adalah tidak adanya distribusi rancangan undang-undang dan mekanisme formal guna memberikan waktu untuk membaca dan mengontrol substansi rancangan undang-undang.
Naskah rancangan undang-undang yang disahkan dalam rapat paripurna juga ambigu. Tidak ada yang bisa menjamin tidak terjadinya perubahan atau penambahan bunyi pasal terhadap rancangan undang-undang tersebut.
Pembentukan UU Cipta Kerja melalui medote omnibus juga dinilai telah mencederai maksud dari pembentukan regulasi tersebut. Pada prosesnya, pembentukan UU Cipta Kerja juga dilakukan untuk menyederhanakan legislasi dan mengurangi fenomena hyper-regulasi. Namun, pada kenyataannya UU Cipta Kerja justru banyak sekali mengamanatkan pendelegasian pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Idealnya, kata Rudy, pembangunan hukum nasional di Indonesia bisa seperti pembangunan hukum di Jepang yang dapat menggabungkan hukum barat yang berasal dari Perancis, Jerman, dan Amerika dengan hukum asli Jepang yang telah berakar kuat. Tentunya akan terlihat banyak konvergensi yang akan menyatukan dua tradisi hukum di dunia.
Hal inilah yang masih menjadi tantangan bagi para pakar hukum Indonesia dalam menghasilkan produk hukum asli Nusantara. Dia berkomitmen untuk meneruskan kajian-kajian keilmuan bidang hukum dan menyebarkan gagasan produk hukum Nusantara pada masyarakat.