Tim Kajian Pasir Laut Dibentuk, Dampak Ekologi Disorot
Masyarakat pesisir dan pemerhati lingkungan khawatir langkah pemerintah mendorong tambang pasir laut bakal mengakibatkan krisis ekologi semakin parah di pulau-pulau kecil.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pemerintah telah membentuk tim kajian perencanaan pemanfaatan sedimentasi di laut. Warga pesisir dan pemerhati lingkungan mengkhawatirkan terulangnya kerusakan lingkungan di Kepulauan Riau ketika penambangan pasir laut amat marak pada dua dekade lalu.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 33 Tahun 2023. Itu merupakan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Direktur Jasa Kelautan KKP Miftahul Huda mengungkapkan hal itu di sela-sela acara Sosialisasi dan Konsultasi Publik Perizinan Berusaha Pemanfaatan Sumber Daya dan Ruang Laut di Batam, Rabu (25/10/2023). Tim kajian telah dibentuk untuk menentukan sebaran lokasi prioritas dan volume hasil sedimentasi laut, termasuk pasir laut, yang akan dimanfaatkan.
"Hal-hal itu sangat tergantung proses tim kajian bekerja. Jadi berapa lama prosesnya akan ditentukan oleh para pakar, termasuk soal lokasi mana yang layak," kata Huda.
Pemanfaatan pasir laut tertuang dalam PP No 26/2023. Aturan itu memungkinkan pemanfaatan sedimen berupa pasir laut dan lainnya untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, dan ekspor. PP itu mencabut larangan ekspor pasir laut sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (Kompas, 26/7/2023).
Menurut Huda, peruntukan utama pasir laut hasil pengerukan sedimentasi di laut adalah memenuhi kebutuhan reklamasi dalam negeri. Ia menyebut, pengerukan sedimentasi di laut juga akan menguntungkan pengguna transportasi laut karena dapat mendalamkan lagi laut yang dangkal.
Sosialiasi dan konsultasi publik di Batam bertujuan mengundang pengusaha untuk berpartisipasi mengelola sedimentasi di laut.
"Konsultasi publik (mengenai pengelolaan sedimentasi di laut) sudah dua kali diadakan di Batam karena kami tahu Batam dan Karimun sangat concern mengenai hal ini," ujarnya.
Huda menambahkan, sosialiasi dan konsultasi publik di Batam bertujuan mengundang pengusaha untuk berpartisipasi mengelola sedimentasi di laut. Sembari menunggu tim kajian bekerja, pengusaha bisa mulai mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk perizinan sesuai yang tertera di dalam Permen KP No 33/2023.
Menanggapi hal itu, Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Kepulauan Riau Irsafwin mengatakan, pengusaha yang tergabung di asosiasi tersebut kebanyakan merupakan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut. Di Kepri, ada sekitar 20 pemengan IUP pasir laut.
Irsafwin menuturkan, IUP pasir laut diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kalau pengusaha ingin ikut mengelola sedimentasi di laut, mereka harus mengurus perizinan kepada KKP.
"Soal sedimentasi laut ini kami masih meraba-raba. Dalam waktu dekat rencananya APPL akan mengadakan focus group discussion untuk menentukan sikap apakah kami akan berpartisipasi dalam pemanfaatan sedimentasi laut," ujarnya.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin menilai, langkah pemerintah mendorong tambang pasir laut akan semakin meminggirkan nelayan tradisional. Terbitnya Permen No 33/2023 menegaskan tujuan utama pemerintah untuk memberikan karpet merah bagi korporasi.
"Regulasi ini akan mempercepat kehancuran ekosistem pesisir dan laut serta merugikan kehidupan masyarakat pesisir," kata Parid lewat pernyataan tertulis.
Sejak 1976, pasir dari perairan Batam dan Karimun, Kepulauan Riau, dikeruk secara ugal-ugalan untuk mereklamasi Singapura. Volume pasir yang diekspor ke Singapura lebih kurang 250 juta meter kubik per tahun (Kompas, 16/2/2003).
Tambang pasir laut mengakibatkan ekosistem laut dan pesisir rusak. Ikan menghilang dan nelayan merana. Selain itu, pulau-pulau kecil mengalami abrasi. Pasir laut di sekitarnya dikeruk terus-menerus.
Sebelumnya, warga Pulau Pemping di Batam, Hamdan (34) mengatakan, tambang pasir laut tidak hanya membuat habitat ikan hancur, tetapi juga mengancam pulau-pulau kecil tempat warga bermukim. Pengerukan pasir laut membuat tanah di pulau-pulau kecil merosot ke laut.
”Dulu, tiang rumah-rumah panggung warga di Pemping sudah gantung di laut karena pulau kami abrasi parah,” ujar Hamdan pada akhir Mei 2023.
Tambang pasir laut tidak hanya membuat habitat ikan hancur, tetapi juga mengancam pulau-pulau kecil tempat warga bermukim.
Pemerhati perikanan dan kelautan dari Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim, mengatakan, kebijakan pemerintah mendorong tambang pasir laut dilakukan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat pulau-pulau kecil. Kerusakan lingkungan di Kepri akibat tambang pasir laut pada dua dekade lalu harusnya dijadikan pelajaran.
"Jika tambang pasir laut diteruskan kemiskinan struktural akan semakin menjadi-jadi. Krisis ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil juga bakal semakin langgeng," ujarnya.