Barumun Nagari Wildlife Sanctuary di Padang Lawas, melakukan perbaikan. Kesehatan 10 gajah jinak di tempat itu membaik.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Setelah dijatuhi sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lembaga konservasi Barumun Nagari Wildlife Sanctuary di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, terus melakukan perbaikan. Kondisi kesehatan 10 gajah jinak di tempat itu terpantau semakin baik dan mengalami kenaikan berat badan. Sebelumnya, empat gajah jinak di tempat tersebut mati akibat masalah penanganan.
”Kami memantau secara khusus pengelolaan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) dalam sepuluh bulan ini. Sudah banyak perbaikan yang dilakukan pengelola seperti pelatihan mahout (pawang gajah) dan sedang dibangun klinik kesehatan untuk gajah,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Rudianto Saragih Napitu, Selasa (24/10/2023).
BNWS berdiri sejak tahun 2015 dan dikelola oleh pihak swasta. Lembaga konservasi itu memiliki luas lahan sekitar 320 hektar di pinggir hutan Suaka Margasatwa Barumun di Desa Batu Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Padang Lawas. Pada tahun 2022, BNWS mengalami masalah hingga mengakibatkan empat ekor gajah mati pada September 2022 sampai Februari 2023.
Mulanya, seekor gajah bernama Dargo (57) mati diduga akibat keracunan makanan dari rumput berpestisida. Sebulan berikutnya, anak gajah berusia 4 tahun bernama Fitri juga mati akibat keracunan yang sama. Kematian berlanjut pada Desember 2022. Saat itu, gajah bernama Keri mati diduga akibat infeksi bakteri.
Setelah tiga kematian gajah itu, dua gajah dipindahkan dari BNWS ke Kamp Konservasi Gajah Aek Nauli (Aek Nauli Elephant Conservation Camp/ANECC) di Kabupaten Simalungun, Sumut. Namun, salah satu gajah itu, yakni Dwiki (43), mati setelah dua bulan di ANECC karena luka luar di pipi yang mengalami infeksi (Kompas, 19/2/2023).
Rudianto menyatakan, sejak Februari lalu, tim khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengevaluasi pengelolaan BNWS untuk mencegah dampak lebih luas. KLHK menjatuhkan sanksi dan meminta pengelola lembaga itu melakukan sejumlah perbaikan.
Menurut Rudianto, BNWS seharusnya tidak mengalami kendala pembiayaan. Sebab, pengelola lembaga itu mempunyai lahan sekitar 700 hektar. Sebanyak 320 hektar menjadi lokasi BNWS dan 380 hektar lainnya digunakan sebagai kebun sawit yang hasilnya untuk pembiayaan BNWS.
”Kalau soal pembiayaan, kami tidak khawatir. Ini berbeda dengan lembaga konservasi lain yang bergantung kepada para filantropis,” kata Rudianto.
Rudianto menyebut, masalah utama di BNWS adalah krisis penanganan. Dia mencontohkan, mahout di tempat itu kerap berganti dan tidak ada pelatihan yang memadai. Kondisi tersebut membuat gajah stres.
Selain itu, BNWS juga tidak mempunyai klinik kesehatan. Pembangunan klinik itu menjadi salah satu rekomendasi KLHK dan saat ini sedang tahap pembangunan. Kesehatan gajah di BNWS kini dipantau dengan lebih intensif.
Sebelum krisis penanganan, KLHK mempromosikan BNWS sebagai percontohan pusat rehabilitasi gajah yang sukses. Saat Kompas berkunjung ke BNWS pada 2018, lembaga konservasi itu menunjukkan keberhasilannya merehabilitasi gajah yang malanutrisi, buta, dan terluka dari tempat rehabilitasi sebelumnya.
Gajah-gajah di BNWS juga melahirkan tiga anak, yakni Fitri, Sutan, dan Uli. Kelahiran anak dari gajah jinak termasuk jarang terjadi di tempat rehabilitasi. BNWS dipuji karena menyediakan hamparan 320 hektar yang mirip habitat asli. Gajah tidak dikurung di kandang sempit, tetapi digembalakan di padang rumput sehingga tidak stres.
Para pengunjung yang datang ke BNWS adalah mereka yang punya minat khusus pada satwa gajah, bukan seperti wisatawan yang datang ke kebun binatang. Pengelola membangun hubungan emosional pengunjung dengan satwa dan lingkungan hidup.
Para pengunjung diajak bangun pagi untuk membersihkan kandang, menggembalakan gajah ke padang penggembalaan, mengelus, hingga memandikan gajah. Mereka juga menginap di kawasan BNWS.
Kalau soal pembiayaan, kami tidak khawatir. Ini berbeda dengan lembaga konservasi lain yang bergantung kepada para filantropis.
Sebelumnya, Henry Sukaya, pendiri dan pengelola BNWS, menyebut, biaya operasional lembaga konservasi itu ditutupi dari retribusi pengunjung, hasil kebun sawit, dan hotel milik keluarga pendiri. Biaya operasional pemeliharaan gajah di BNWS sekitar Rp 18 juta per ekor per bulan. Untuk 10 gajah, pengelola harus menyiapkan Rp 180 juta per bulan untuk membeli pakan serta membayar gaji mahout dan pegawai.
Kepala Bidang Wilayah III Konservasi Sumber Daya Alam Padang Sidempuan Hermanto Siallagan mengatakan, lembaganya akan terus memantau perbaikan pengelolaan BNWS. Dia menyebut, pengelola BNWS sudah berjanji memenuhi semua rekomendasi dan sanksi yang telah dijatuhkan KLHK.