Pembudidaya di Lombok Tolak Rencana Ekspor Benih Bening Lobster
Rencana pemerintah membuka keran ekspor benih bening lobster dikhawatirkan akan mengancam budidaya dalam negeri. Para pembudidaya lobster di Lombok menolak tegas rencana itu.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pembudidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menolak rencana pemerintah mengizinkan kembali ekspor benih bening lobster. Mereka khawatir kebijakan itu akan memukul budidaya lobster di Tanah Air.
Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia, ekspor benih lobster dilarang.
Namun, dalam draf Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Penangkapan, Pembudidayaan, dan Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp), ekspor benih bening lobster bisa dilakukan.
Pasal 6 ayat 1a dalam draf itu menyebutkan, ”Investor selain dapat mengekspor ke luar negeri, mereka juga melakukan aktivitas pembudidayaan di Indonesia”.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu sebelumnya mengemukakan, pihaknya masih mengkaji kebijakan itu dari berbagai aspek. ”Intinya, kami sedang menggodok dan mengkaji dari berbagai aspek, baik aspek teknis maupun aspek regulasinya,” ujarnya (Kompas, 2 Oktober 2023).
Bergulirnya rencana ekspor benih bening lobster itu langsung direspons oleh para pembudidaya di Lombok, khususnya di Lombok Timur yang menjadi sentra budidaya lobster terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan hampir 2.000 pembudidaya. Minggu lalu, mereka telah bertemu dan menyatakan sikap bersama.
”(Ekspor ini) membuat kita jadi rugi dua hal. Pertama, benih bening lobster kita mereka (investor) budidayakan di luar negeri. Lalu, mereka juga membudidayakan di dalam negeri dan bisa mengancam zona budidaya kita,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Lombok Timur Dedy Sopian saat dihubungi dari Mataram, Senin (23/10/2023).
Ancaman itu, kata Dedy, membuat para pembudidaya menolak rencana ekspor benih bening lobster atau lobster yang belum berpigmen. Hal ini sama dengan sikap mereka sebelumnya saat keran ekspor dibuka-tutup beberapa kali, misalnya saat Susi Pudjiastuti dan Edhy Prabowo menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menurut Dedy, jika ekspor benih bening lobster tetap dibuka, otomatis stok untuk memenuhi kebutuhan bagi budidaya dalam negeri akan berkurang, bahkan langka.
”Kami menolak dengan keras ekspor benih being lobster. Kami menolak jika benih kita dibudidayakan di wilayah luar Indonesia,” kata perwakilan Himpunan Pembudidaya Lobster Teluk Jukung, Lombok Timur, Abdullah, yang dihubungi secara terpisah.
Menurut Abdullah, selain akan berdampak pada stok benih dalam negeri, pembudidaya lokal juga akan kalah bersaing dengan pembudidaya di luar negeri, khususnya Vietnam. Apalagi, Vietnam berada lebih dekat dengan pasar utama lobster, yakni China.
”Saat ini, lobster konsumsi kita bertahan di kisaran harga Rp 450.000 hingga Rp 550.000 per kilogram. Itu karena pembeli China langsung datang ke sini. Artinya, kita selangkah lagi akan menguasai pasar lobster dunia karena terbukti pembeli luar negeri langsung datang ke kita,” kata Abdullah.
Akan tetapi, kata Abdullah, jika ekspor benih tetap dilakukan dan budidaya dilakukan di Vietnam, dampak ke pembudidaya lobster di Tanah Air akan sangat terasa. Salah satu dampak yang diperkirakan terjadi adalah lobster dari Indonesia akan sulit terjual karena para pembeli akan menunggu panen raya di Vietnam.
Di sisi lain, saat panen raya di Vietnam terjadi, harga lobster bakal anjlok. Kondisi ini tentu menyusahkan para pembudidaya lobster di dalam negeri.
Kami menolak dengan keras ekspor benih bening lobster. Kami menolak jika benih kita dibudidayakan di wilayah luar Indonesia.
Budidaya dalam negeri
Alih-alih mengejar ekspor, pemerintah justru diminta fokus mengembangkan budidaya lobster Tanah Air, termasuk di Lombok Timur. Apalagi, beberapa waktu lalu, KKP meresmikan kawasan Teluk Jukung, Dusun Telong Elong, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, sebagai salah satu Kampung Perikanan Budidaya Lobster.
Dedy mengatakan, selain memperluas zona budidaya, pemerintah sebaiknya juga fokus pada pengembangan teknologi untuk mendukung budidaya lobster. ”Paling sederhana, soal pakan. Saat ikan hasil tangkapan nelayan seperti rucah melimpah, pakan terpenuhi. Tapi, saat sepi, pembudidaya harus mencari alternatif lain seperti keong sawah, keong bendungan, dan lainnya untuk pakan,” katanya.
Menurut Dedy, pembudidaya berharap pemerintah mengembangkan teknologi pakan lobster melalui lembaga riset yang mereka miliki. ”Sampai sekarang, hal itu belum dilakukan. Pemerintah lebih banyak fokus memberi bantuan keramba atau fisik, tetapi teknologinya tidak didorong,” ujarnya.
Abdullah menambahkan, pembudidaya juga berharap pemerintah mengatur kembali bobot minimal untuk lobster konsumsi dari 150 gram ke 100 gram. ”Jika bisa diwujudkan, benih akan lebih cepat terserap. Masa panen juga lebih cepat sehingga menghemat pakan hingga 60 persen. Apalagi, kendala budidaya di NTB adalah pakan,” ujarnya.