Agrowisata untuk Kelestarian Perkebunan Kopi Arabika Organik di Ngada
Untuk menjaga kelestarian kopi arabika organik di Kabupaten Ngada, NTT, perkebunan kopi di wilayah itu dikembangkan menjadi agrowisata. Banyak wisatawan tertarik berkunjung ke perkebunan kopi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
BAJAWA, KOMPAS — Sejumlah lokasi perkebunan kopi arabika organik di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dikembangkan menjadi agrowisata. Pengembangan itu merupakan bagian dari upaya menjaga kelestarian perkebunan kopi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kopi.
Ketua Kelompok Tani Nola Wonga di Kecamatan Bajawa, Ngada, Felix Soba Moa mengatakan, selama beberapa waktu belakangan, wisatawan yang berkunjung ke Ngada tak hanya mendatangi destinasi wisata yang sudah populer, seperti Kampung Adat Bena, pemandian air panas Soa, dan Gunung Inerie.
”Sebagian wisatawan Nusantara dan wisawatan asing memilih mengunjungi sejumlah perkebunan kopi arabika organik milik petani. Saat di kebun kopi, mereka mengusulkan agar dibangun tempat penginapan di situ. Beberapa kali rombongan yang datang mengusulkan hal yang sama,” kata Felix di Bajawa, Senin (23/10/2023).
Menurut Felix, menginap di lahan perkebunan kopi bisa menjadi daya tarik wisata karena wisatawan bisa menikmati suasana nyaman, jauh dari kebisingan kota. Wisatawan juga bisa menikmati udara segar sekaligus kicau burung dan suara jangkrik sambil meminum kopi dan makanan lokal yang ditanam petani.
Felix menambahkan, sejumlah wisatawan juga mengunjungi beberapa pusat usaha pengolahan hasil (UPH) kopi yang dikelola kelompok tani dan pengusaha kopi. Mereka menyaksikan langsung para petani menanam, memanen, dan memproses kopi dari perkebunan setempat. Para wisatawan juga disuguhi kopi arabika organik beserta makanan lokal.
Felix menyebut, beberapa wisatawan mendorong kelompok tani, pengusaha kopi, dan UPH membangun penginapan di lokasi perkebunan kopi masing-masing. Bahkan, beberapa di antara mereka menyumbang material bangunan untuk membangun penginapan. Namun, bantuan itu tidak cukup untuk membangun sebuah penginapan.
”Membangun sebuah penginapan butuh biaya tidak sedikit, terutama terkait air bersih, kamar mandi, dan WC,” ujar Felix. Dia menambahkan, kelompok tani di Ngada belum membahas bagaimana model pengelolaan penginapan tersebut.
Apalagi, pembangunan penginapan itu harus menggunakan lahan milik perorangan karena kelompok tani tidak memiliki lahan. ”Bagaimana cara membagi keuntungan jika penginapan itu milik kelompok juga belum dibahas,” tutur Felix.
Felix memaparkan, lokasi perkebunan kopi di Ngada relatif jauh dari pusat kota. Oleh karena itu, pengelola perlu memikirkan kebutuhan transportasi serta makan dan minum bagi wisatawan yang menginap di sana.
”Karena itu, sekali lagi perlu kajian dan studi banding. Apakah sudah ada penginapan di lokasi perkebunan kopi seperti itu di daerah lain atau belum,” kata Felix.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Ngada pada 2022, perkebunan kopi di Ngada memiliki luas 3.864 hektar. Perkebunan itu tersebar di tiga kecamatan, yakni Bajawa, Golewa, dan Golewa Barat.
Sementara itu, produksi kopi di Ngada mencapai 2.602 ton biji beras. Jumlah itu meningkat setelah adanya regenerasi dan peremajaan tanaman kopi di sejumlah perkebunan.
Felix memaparkan, biji kopi dari Ngada juga telah diekspor ke negara lain. ”Ekspor perdana ke Inggris pada Maret 2023 mencapai 2,5 ton biji beras. Pengusaha Inggris datang beli sendiri. Kami jual dengan harga Rp 115.000 per kilogram. Dalam waktu dekat, akan dilakukan ekspor kedua ke Jerman,” ungkapnya.
Menurut Felix, pengusaha Inggris itu juga membeli kopi dari Kintamani, Bali, serta Temanggung, Jawa Tengah. Dari sejumlah pembelian itu, ada sekitar satu kontainer kopi yang dibawa dari Indonesia ke Inggris.
Aleks (43), anggota Kelompok Tani Nola Wonga, mengatakan, produksi kopi cenderung meningkat setelah badai Seroja pada tahun 2021. Pada 2021, produksi kopi menurun drastis sehingga petani tidak bisa memanen dan menjual kopi sesuai standar permintaan pasar nasional dan internasional.
Selain produksi terbatas, kualitas kopi saat itu juga kurang baik. Namun, dalam dua tahun terakhir, produksi kopi di Ngada menjadi lebih baik.
Aleks menyebut, saat ini, satu pohon kopi bisa menghasilkan 2 kg sampai 2,5 kg kopi biji beras. Padahal, sebelumnya satu pohon kopi hanya menghasilkan 1 kg kopi biji beras.
Aleks menambahkan, hasil produksi pada musim panen tahun 2024 juga diprediksi dalam kondisi baik. ”Ini tampak dari munculnya daun bunga kopi secara menyeluruh pada satu batang pohon. Mudah-mudahan tidak terjadi angin dan hujan badai pada musim hujan ini sehingga bisa berbuah normal,” ujarnya.
Aleks memiliki kebun kopi seluas 5.000 meter persegi. Tahun ini, produksi dari kebun tersebut sebanyak 1,5 ton kopi biji beras, jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2022 yang hanya 750 kg.
Ekspor perdana ke Inggris pada Maret 2023 mencapai 2,5 ton biji beras.
Kopi tersebut dijual dengan harga Rp 90.000 sampai Rp 95.000 per kg. Harga itu lebih tinggi dibandingkan kondisi tahun 2021-2022 yang berada di kisaran Rp 70.000 hingga Rp 75.000 per kg.
”Keuntungan tahun ini lumayan, tapi belum dikurangi biaya pengolahan sampai menjadi biji beras. Belum dihitung juga waktu yang dibutuhkan untuk semua itu,” kata Aleks.