Alih fungsi hutan lindung mangrove terus terjadi di Batam. Penindakan oleh pemerintah belum menimbulkan efek jera.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Alih fungsi hutan lindung mangrove menjadi perumahan dan tambak udang terus terjadi di Batam, Kepulauan Riau. Pemerintah telah menghukum sejumlah perusahaan nakal yang menjadi pelaku. Namun, kejahatan lingkungan serupa terulang terus karena lemahnya pengawasan di lapangan.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, Rabu (18/10/2023), mengatakan, Batam yang memiliki luas sekitar 715 kilometer persegi masuk dalam kategori pulau kecil. Oleh karena itu, Batam amat terancam oleh kenaikan muka air laut akibat krisis iklim.
”Bagi pulau kecil seperti Batam, kehilangan tutupan mangrove seluas 1 hektar saja dampaknya akan sangat terasa. Ironisnya, saat ini alih fungsi hutan bakau justru semakin masif,” kata Hendrik.
Akar Bhumi Indonesia adalah organisasi nonpemerintah yang giat mengadvokasi isu kerusakan lingkungan di Batam. Selain itu, mereka juga menggandeng warga untuk merehabilitasi hutan mangrove di sejumlah titik.
Berdasarkan data Badan Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Sei Jang Duriangkang, luas hutan mangrove di Batam pada tahun 2021 mencapai 18.524 hektar. Namun, Hendrik menyebut, sekitar 50 persen hutan itu kini dalam kondisi rusak.
Untuk mengerem laju kerusakan hutan bakau di Batam, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan penindakan. Sejumlah pelaku perusakan hutan mangrove pun dikenai hukuman pidana.
Pada awal Juli 2023, Ditjen Gakkum KLHK menyegel empat titik perusakan mangrove di Kecamatan Galang, Batam. Lima perusahaan yang menduduki lokasi itu dinyatakan melanggar baku kerusakan lingkungan hidup dan ketidaksesuaian perizinan kegiatan. Perusahaan-perusahaan itu melakukan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak udang.
Bagi pulau kecil seperti Batam, kehilangan tutupan mangrove seluas 1 hektar saja dampaknya akan sangat terasa.
Sebelumnya, pada tahun 2021, KLHK juga berhasil menyeret tiga perusahaan ke pengadilan karena membabat hutan lindung bakau untuk perumahan. Tiga perusahaan itu adalah PT Prima Makmur Batam, PT Kayla Alam Sentosa, dan PT Alif Mulia Jaya Batam.
Pengadilan Negeri Batam menjatuhkan vonis bersalah dan mengharuskan tiga perusahaan itu membayar denda miliaran rupiah. Para direktur perusahaan itu juga dihukum penjara karena terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Meski demikian, kejahatan lingkungan serupa masih juga berlangsung hingga kini. Yang terbaru, terjadi alih fungsi hutan mangrove seluas 3 hektar di Kecamatan Sagulung, Batam. Warga sekitar menyatakan, perusahaan menimbun hutan lindung itu untuk dijadikan perumahan.
Penimbunan hutan bakau itu telah dihentikan Ditjen Gakkum sejak 5 Oktober 2023. Sebanyak 11 truk dan 1 buldoser disegel KLHK.
Kepala Gakkum KLHK Pos Kepri Sunardi membenarkan penghentian aktivitas yang dilakukan PT Tunas Makmur Sukses tersebut. Namun, ia belum bersedia menerangkan lebih lanjut karena tim masih dalam proses mengumpulkan bukti dan keterangan.
Hendrik menilai, terus maraknya penimbunan hutan lindung mangrove di Batam tak lepas dari lemahnya pengawasan pemerintah. Menurut dia, dinas lingkungan hidup (DLH) di tingkat kabupaten/kota ataupun provinsi seharusnya dilibatkan dalam pengawasan.
”Pemerintah pusat dan daerah perlu membuat satuan tugas yang menangani persoalan ini secara transparan. Selain itu, perlu juga segera dibuat pos pengaduan agar laporan dari warga cepat ditindaklanjuti,” ujarnya.