Konflik Ruang Buaya dan Manusia Semakin Membahayakan di Sulawesi Tenggara
Konflik ruang akibat semakin terdesaknya habitat buaya terus meluas di Sulawesi Tenggara. Konflik buaya dan manusia menyebabkan sejumlah nyawa melayang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kasus buaya yang menerkam pencari ikan, petani, dan masyarakat lain terus berulang di Sulawesi Tenggara. Kasus terakhir, seorang pencari ikan diterkam saat menjaring ikan dan ditemukan meninggal dunia. Konflik ruang akibat semakin terdesaknya habitat buaya terus meluas dan membahayakan.
Pada Minggu (15/10/2023), kasus buaya menerkam manusia kembali terjadi. Seorang pencari ikan di Kolaka Timur diterkam buaya hingga tenggelam. Korban baru ditemukan pada Minggu malam dalam kondisi meninggal dunia.
Marzuki (48), warga Aere, Kolaka Timur, datang menjaring ikan bersama rekannya di Sungai Wungguloko, Ladongi. Jarak tempat tinggalnya sekitar 20 kilometer dari sungai tersebut. Mereka tiba pukul 09.30 Wita dan langsung menjaring ikan.
Koordinator Pos SAR Kolaka Zulkifli mengungkapkan, saat tengah menjaring ikan, korban tiba-tiba diterkam seekor buaya. Korban lalu ditarik ke dalam air hingga tenggelam. Rekan korban yang menyaksikan segera berlari untuk meminta pertolongan.
Setelah menerima informasi, tutur Zulkifli, tim lalu diturunkan untuk melakukan pencarian dan evakuasi. Bersama sejumlah instansi lainnya, hingga masyarakat, pencarian lalu dilakukan di sekitar lokasi kejadian.
”Pada pukul 21.30 Wita, tim menemukan korban dalam kondisi meninggal dunia, sekitar 890 meter dari lokasi kejadian awal. Korban lalu dibawa dan diserahkan ke keluarga,” tambahnya.
Kasus buaya menyerang manusia di wilayah ini bukan kali ini terjadi. Awal tahun ini, seorang pemancing juga diterkam buaya di sungai yang sama. Asdar (35), pemancing tersebut, ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Di sisi lain, larangan untuk beraktivitas di sungai tersebut telah lama dikeluarkan. Hal tersebut untuk mengantisipasi serangan buaya yang memang sering ditemukan di sungai tersebut. Sungai Wungguloko masih rangkaian dari sungai yang mengalir di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW).
Tidak hanya di wilayah ini, kasus kemunculan hingga serangan buaya terhadap manusia di Sultra terus meningkat. Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, kasus kemunculan buaya yang meningkat mulai tahun 2019
Selama 2022, telah ada tiga serangan buaya terhadap manusia di wilayah Sultra. Jumlah ini sama dengan serangan buaya yang terjadi pada 2021. Angka serangan buaya terus terjadi dan meningkat hampir setiap tahun di wilayah ini.
Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Sultra Sakrianto menjelaskan, kasus buaya menyerang manusia semakin rutin terjadi. Di Kolaka Timur, bahkan merupakan kejadian kedua tahun ini.
Padahal, pihaknya telah memasang plang larangan untuk mencari ikan di Sungai Wungguloko karena merupakan habitat buaya. Sosialisasi telah dilakukan agar masyarakat paham dan menghindari daerah rawan tersebut.
”Persoalannya, daerah tersebut merupakan penyangga untuk Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sungai masih bersambung dengan kawasan rawa yang memiliki banyak habitat, termasuk buaya. Kami masih berkoordinasi dengan TNRAW terkait situasi ini,” katanya.
Hal tersebut semakin kompleks karena aktivitas manusia yang semakin masuk, bahkan ke daerah penyangga. Warga membuka lahan untuk sawah, perkebunan, dan lainnya, sehingga mengganggu ekosistem buaya. Makanan buaya menjadi hilang akibat terbukanya lahan sehingga membuat kasus penyerangan terhadap manusia semakin intens.
”Kasus yang sama terjadi di daerah lain di Sultra, baik di daratan maupun kepulauan. Pakan buaya habis akibat aktivitas manusia yang semakin tinggi,” tambahnya.
Daerah tersebut merupakan penyangga untuk Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sungai masih bersambung dengan kawasan rawa yang memiliki banyak habitat, termasuk buaya. Kami masih berkoordinasi dengan TNRAW terkait situasi ini.
Ketua DPP Perkumpulan Tenaga Ahli Lingkungan Hidup Indonesia Sultra La Ode Ngkoimani menjelaskan, serangan buaya yang terus terjadi perlu dilihat dalam konteks kerusakan lingkungan dan konflik ruang yang terjadi. Sebab, hal ini diduga kuat merupakan efek turunan dari kompleksitas permasalahan ruang di sekitar sungai.
Ngkoimani menjabarkan, habitat buaya di sungai kemungkinan besar terganggu dengan banyaknya aktivitas manusia, pembukaan ruang, hingga kerusakan sungai. Rantai makanan di sungai menjadi terganggu dengan kerusakan ekosistem di sungai.
Oleh karena itu, Ngkoimani mengharapkan, pemerintah dan otoritas terkait melihat hal ini sebagai peringatan untuk semua. Pengaturan zonasi pemanfaatan ruang di sungai menjadi hal yang penting untuk dilakukan.