Cengkeh dan Ikan Membingkai Masa Depan Maluku Utara
Secara historis, pertanian dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian Maluku Utara. Namun, pamornya mulai surut. Menggairahkannya kembali adalah ikhtiar membangun ekonomi berkeadilan bagi Maluku Utara.
Ratusan ribu pohon cengkeh menusuk kepulan awan yang menutupi sebagian puncak Gunung Gamalama di Kota Ternate, Maluku Utara, Maluku. Di belakang gunung, lambaian nyiur mewarnai hijaunya pemandangan dataran tinggi. Hawa semi kemarau yang menyengat tempurung kepala sedikit terobati dengan suguhan keindahan alam itu.
Gunung Gamalama menjadi saksi sejarah Ternate, mulai dari era kedatangan Portugis yang mengejar rempah-rempah Nusantara, hingga kini perlahan menjadi kota besar.
Sejak tujuh ratus tahun lalu, wilayah ini dimanfaatkan oleh warga menanam cengkeh, pala, dan kelapa. Kelurahan Marikurubu, Kecamatan Ternate Tengah, merupakan satu dari puluhan desa yang menggantungkan kehidupannya dengan berkebun cengkeh dan pala. Sementara Pulau Obi, Halmahera Selatan, menjadi salah satu areal kebun cengkeh terbesar seprovinsi.
Dengan berjalan pelan sedikit membungkuk, Muhammad Saleh (74) melihat beberapa pohon cengkeh yang ia tanam di dekat rumahnya. Menanam cengkeh dan pala adalah sebagian besar hidup Saleh. Lahan cengkeh dan pala miliknya terletak di lereng Gunung Gamalama dengan kemiringan lebih kurang 35 derajat.
Saleh memiliki lebih kurang 2 hektar lahan cengkeh dan pala. Setiap satu hektar ditanami 50-100 pohon, tetapi jumlah itu ditanami rempah-rempah dengan metode jarak agar bisa menghasilkan panen yang optimal.
Panen cengkeh yang hanya satu hingga dua kali saja dalam waktu dua hingga tiga tahun membuat perhitungan jarak tumbuh antarpohon penting. Dalam sekali panen, Saleh biasanya mendapatkan 300 kilogram cengkeh yang biasanya berasal dari 10-15 pohon. Satu kilogram cengkeh dihargai Rp 130.000-Rp 140.000 per kilogram. Adapun untuk tangkai dihargai Rp 10.000 per kg.
Untuk itu, dalam sekali panen ia bisa mendapatkan Rp 40 juta-Rp 50 juta. Namun, hasil ini didapat dalam waktu yang lama dan tidak sepenuhnya dinikmati Saleh. Kondisinya yang tua membuat ia harus memperkerjakan buruh petik untuk mengambil cengkeh dari pohon yang berukuran 20-30 meter. Buruh petik dipekerjakan selama 4-5 hari dengan upah Rp 150.000 per hari. ”Sekitar 10 orang yang dipakai, tetapi hasilnya masih lumayan, masih bisa untuk ditabung,” katanya.
Sembari menunggu cengkeh, Saleh dan petani lain biasanya juga menanam pala yang masa panennya bisa 2-3 kali dalam satu tahun. Dalam setiap panen, Saleh mendapatkan 100-200 kg biji pala kering dan 10-20 kg bunga pala atau disebut fuli. Satu kilogram biji pala dihargai Rp 135.000-Rp 140.000, sementara fuli Rp 200.000-Rp 220.000 per kg.
Berkat cengkeh dan pala, Saleh yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMA ini mampu menghidupi istri dan enam anaknya. Seluruh anaknya mengecap bangku pendidikan,meskipun hanya anak keempat yang bergelar sarjana. Tidak hanya itu, dari hasil berkebun ia mampu membangun tempat tinggal untuk semua anaknya.
Baca juga: Berdaya di Bawah Naungan Cengkeh Tua Gamalama
Sektor baru
Namun, masa depan cengkeh dan pala Ternate menghadapi tantangan dengan kehadiran sektor industri baru, yakni pertambangan di wilayah Halmahera. Ia menyebut, terdapat salah satu area rukun tetangga (RT) yang mayoritas pemudanya langsung bekerja ke pertambangan sehabis sekolah. Meski demikian, perpindahan ini ia yakini bukan karena menurunnya pamor cengkeh dan pala, melainkan karena pemuda cenderung ingin mendapatkan upah besar dengan cepat.
Di saat yang sama, jumlah pekerja di perkebunan terus menua. Secara historis, sebelum triwulan III tahun 2021, mayoritas perekonomian Maluku Utara didukung oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Namun, perannya terus menurun tergantikan dengan kenaikan sektor pertambangan.
Peran sektor pertanian terhadap jumlah terhadap lapangan kerja di Maluku Utara juga turun. Pada 2020, kontribusi sektor pertanian terhadap lapangan kerja berada di posisi 46 persen, tetapi di awal 2023 berada di angka 25 persen. Sementara, kontribusi sektor pertambangan dan pengolahan terhadap lapangan kerja naik dari angka 7 persen (2020) menjadi 25,62 persen (2023).
”Saya tetap percaya dengan pertanian karena lewat sektor ini saya berhasil mencapai rencana masa depan,” tuturnya.
Tidak hanya rempah, Maluku Utara juga menancapkan namanya sebagai daerah penghasil komoditas kopra yang besar. Kopra Maluku Utara pun tercatat dalam sejarah. Pada 1960, masyarakat Maluku Utara mengumpulkan hingga 1.000 ton kopra untuk membantu pendanaan Operasi Trikora dalam pembebasan Irian Barat.
Gerakan ini dikenal sebagai Dana Kopra Maluku Irian Barat (Dakomib). Dakomib pula yang menjadi motor pergerakan pembentukan provinsi baru yang kini meliputi wilayah Maluku Utara. Berkat peran Dakomib, Soekarno mendapuk Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah, sebagai gubernur pertama Provinsi Irian Barat.
Dengan cengkeh dan pala, saya bisa merencanakan masa depan.
Kawasan Gane, Halmahera Tengah, menjadi salah satu daerah penghasil kopra. Namun, terus merosotnya harga kopra atau daging kelapa membuat para petani kelimpungan. Kalhate Magnun (60), petani kelapa di wilayah itu, menyebut sudah hampir empat tahun harga kopra tidak mampu kembali ke harga normal, Rp 15.000 per kg. Kini, harganya anjlok menjadi Rp 5.000 per kg.
Dalam setahun, Kalhate dan petani lainnya bisa memanen kelapa 3-4 kali dengan rata-rata 1 ton kopra setiap panen. Dengan harga sekarang, dalam satu kali panen, petani hanya mendapatkan uang Rp 3 juta-Rp 5 juta setiap tiga bulan. Kondisi ini jauh dari keadaan sebelumnya ketika petani bisa mendapat puluhan juta rupiah. Ditambah harga bahan pangan meroket seperti beras, minyak, dan lainnya.
Kalhate menduga ada persaingan tidak sehat antara produsen minyak kelapa sawit dan minyak kelapa.
Masa depan
Sektor agraria dan perikanan menjadi dua jantung ekonomi warga asli Maluku Utara. Terganggunya sektor tersebut pasti akan berdampak bagi kehidupan dan ekonomi warga. Kawasan Patani di Halmahera Tengah menyimpan potensi perikanan, perkebunan, dan pariwisata yang besar. Hamparan laut biru dan pasir putih di bibir Pulau Moor, ribuan hektar lahan cengkeh dan pala, dan puluhan titik penangkapan ikan menjadi sedikit dari potensi yang bisa dimaksimalkan.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Halhamera Tengah Badar Manawi berharap, potensi tersebut menunjukkan masyarakat tidak bergantung pada pertambangan semata. Ia pun risau ketika industri ekstraktif yang meluas di Maluku Utara ikut merusak wilayahnya. Tidak hanya itu, para pemuda pun menjadi lebih tertarik pergi ke lingkar tambang.
Pengalaman dari wilayah lingkar tambang menjadi pelajaran penting yang diambil oleh Badar. ”Lihat Gebe, setelah dikeruk, ditinggalkan, sekarang ada Sagea yang tercemar. Saya tidak ingin desa saya kena dampak buruk itu,” ujarnya.
Hilirisasi produk yang didorong pemerintah seharusnya juga menyasar sektor lain, khususnya perikanan. Kawasan laut di daerah Patani masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan 715. Ia mengatakan, di kawasan ini terdapat 45 titik penangkapan ikan tuna dari total 112 titik penangkapan. Hal ini karena posisinya yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik bagian selatan sehingga menjadi jalur migrasi ikan.
”Pemerintah bisa membangun industri pengolahan ikan kaleng di sini, juga bangun penyimpanan es. Sektor ini pasti akan menyerap lapangan kerja karena warga sudah memiliki keahilan untuk itu,” ujarnya.
Baca juga: Komoditas Cengkeh: Sejarah, Manfaat, Produsen Dunia, dan Produksi Indonesia
Wakil Direktur Lembaga Mitra Lingkungan Maluku Utara Siti Barora mengatakan, kehadiran industri pertambangan dan pengolahan melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN) acapkali membuat posisi petani dan nelayan lemah. Label PSN membuat tata ruang wilayah mudah diubah. Hasilnya, kehidupan masyarakat asli Maluku Utara yang bercorak pertanian dan perikanan terdampak.
Kehadiran industri ekstraktif membuat perdebatan hanya berpusat dalam lingkaran pembagian dana bagi hasil dan pertumbuhan ekonomi. Namun, dampaknya tidak dirasakan luas oleh semua orang. ”Zona pertanian digeser jadi zona pertambangan dan seterusnya. Posisi warga Maluku Utara malah menjadi lemah dalam konteks pembangunan ekonomi wilayahnya sendiri,” ujarnya.
Situasi ini diharapkan menjadi refleksi besar bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam HUT Ke-24 Maluku Utara. Potensi besar pertanian dan perikanan perlu juga dikelola menjadi bingkai yang membangun ekonomi Maluku Utara di masa depan.