Penjabat Gubernur Sultra: Mitigasi Bencana Penting Jadi Acuan Pembangunan
Upaya lintas sektor diperlukan agar pengambilan keputusan pemerintah turut berbasis mitigasi bencana.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pembangunan berkelanjutan seharusnya mengantisipasi dan memitigasi bencana hingga jangka panjang. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan idealnya berlandaskan data, riset, dan kemajuan teknologi. Upaya lintas sektor diperlukan agar pengambilan keputusan pemerintah turut berbasis mitigasi.
”Indonesia merupakan negara yang termasuk rawan bencana. Karena itu, kita semua harus mampu mengenali ancamannya, pahami risiko, dan tingkatkan budaya sadar bencana yang bisa terjadi kapan saja agar dapat meminimalkan dampak sehingga pembangunan terus dapat berlanjut,” kata Penjabat Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi Revianto saat memimpin apel siaga kesiapan peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), di Kendari, Sultra, Rabu (11/10/2023).
Peringatan bulan PRB kali ini dipusatkan di Sultra. Kegiatan tahunan ini diikuti lintas instansi dan lembaga yang akan mengikuti sejumlah acara, baik seminar, diskusi terarah, maupun pameran. Kegiatan ini berlangsung 11-13 Oktober.
Menurut Andap, basis data dan riset masih perlu ditingkatkan sebagai acuan pembangunan. Sebab, riset dan data adalah bagian tidak terpisahkan agar pembangunan bisa meminimalkan risiko, utamanya bencana. Dengan begitu, kebijakan pembangunan bisa berkelanjutan dan inklusif.
Oleh sebab itu, ia menekankan agar pembangunan di Sultra, khususnya, harus menggali data, diiringi riset, agar dampak bencana bisa dimitigasi sejak dini. Pemerintah diarahkan untuk bekerja sama dengan akademisi, universitas, dan lembaga lainnya, hingga data dan analisis bisa menjadi acuan pembangunan.
”Selama ini mengandalkan data kuantitatif. Ke depan, dengan sumber daya manusia yang ada, kita melakukan penelitian, mengumpulkan data. Jadi, bukan berbasis opini atau asumsi,” ucapnya.
Salah satu bencana yang terjadi saat ini, ia menambahkan, adalah kekeringan hingga gagal panen. Pemerintah daerah telah diarahkan untuk melakukan pengumpulan data dan pemantauan yang menjadi basis kebijakan penanganan.
Tidak hanya itu, menurut Andap, pembangunan berkelanjutan berbasis PRB harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, metodologi dan perangkat yang tepat dapat menunjukkan kondisi faktual, potensi, dan kebutuhan akan antisipasi serta rehabilitasi bencana.
Tahapan selanjutnya, ucap Andap, adalah menjadikan hasil riset sebagai dasar pengambil kebijakan anggaran dan legislasi. Sejalan dengan itu, Pemerintah Provinsi Sultra dan pemerintah daerah di Sultra telah memutuskan perubahan APBD dengan menghadirkan sistem pemerintahan daerah berbasis data presisi pada September lalu.
Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rustian mengungkapkan, secara umum bencana terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. Baik itu bencana alam, non-alam, maupun sosial.
Dalam kesiapsiagaan, darurat, hingga pemulihan, BNPB berupaya memaksimalkan sumber daya yang ada, baik itu personel, peralatan, maupun teknologi. Selanjutnya, pemerintah daerah juga dituntut turut berperan dalam upaya memitigasi bencana dalam setiap pengambilan kebijakan agar pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan laporan World Risk Report 2022, Indonesia berada di posisi ketiga dari 192 negara paling berisiko dengan skor indeks 41,46, di bawah Filipina (46,82) dan India (42,31). Laporan tersebut disusun dari lima indikator utama, yaitu keterpaparan, kerentanan, kerawanan, kapasitas pemulihan, dan kapasitas adaptasi.
Dihubungi terpisah, pengajar dan ahli bencana dari Universitas Halu Oleo, Jamhir Safani, mengatakan, riset mengenai bencana tidak begitu mendapat porsi dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Akibatnya, pembangunan tidak melihat secara utuh sebuah wilayah, baik itu dalam konteks ruang maupun sosial.
Salah satu contoh utama, tutur Jamhir, adalah belum adanya peta detail rawan bencana gempa dan likuefaksi di Sultra. Padahal, riset ini penting untuk menjadi landasan dalam kebijakan pembangunan. Hasil riset tersebut selayaknya menjadi fondasi dalam penyusunan tata ruang hingga langkah penanganan lanjutan.
”Kami yang banyak bergerak di bidang pemetaan sesar, misalnya, belum melihat adanya upaya untuk menjadikan daerah lintasan sesar sebagai kawasan yang mesti diwaspadai. Padahal, peta rawan bencana ini menentukan keberlanjutan pembangunan,” ucapnya.
Idealnya, Jamhir menambahkan, riset lintas lembaga dan pemangku kepentingan dilakukan sebelum kebijakan diputuskan. Riset memanfaatkan teknologi untuk pemetaan spasial, prediksi cuaca, hingga daerah rawan bencana hingga tsunami, seharusnya dilakukan saat ini. Terlebih lagi, perkembangan teknologi yang maju membuat riset jauh lebih mudah dengan basis data yang akurat.
Kerentanan tinggi
Berdasarkan laporan World Risk Report 2022, Indonesia berada di posisi ketiga dari 192 negara paling berisiko dengan skor indeks 41,46, di bawah Filipina (46,82) dan India (42,31). Laporan tersebut disusun dari lima indikator utama, yaitu keterpaparan, kerentanan, kerawanan, kapasitas pemulihan, dan kapasitas adaptasi.
Nurjanah (16),dan Novi (13), siswi SLB BFMandala, membaca buku mitigasi bencana yang dibagikan dalam simulasi dan mitigasi bencana di sekolah mereka, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/2/2020). Anak-anak berkebutuhan khusus ini diberikan pemahaman dasar terkait menyelamatkan diri dan tindakan awal ketika terjadi bencana oleh Kantor SAR Kendari.
Risiko kebencanaan yang begitu besar harus diimbangi dengan langkah-langkah konkret manajemen krisis. Dalam terminologi kebencanaan, manajemen krisis tersebut disusun dalam suatu siklus yang bertujuan mengendalikan sekaligus memberikan kerangka kerja penanganan. Hasil akhirnya adalah masyarakat dapat terhindar dari bencana atau pulih secara cepat pascabencana.
Setiap langkah dalam siklus manajemen bencana berperan penting, mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, respons, hingga pemulihan. Namun, masih ada celah dalam manajemen kebencanaan di Indonesia. Siklus tersebut masih berfokus pada sosialisasi atau mitigasi nonstruktural, sedangkan pemenuhan fasilitas atau akomodasi implementasi konsep dinilai belum memadai.
Paling tidak, celah dalam penanganan bencana nasional terekam dalam jajak pendapat Kompas. Sosialisasi bencana menjadi langkah mitigasi yang paling banyak diterima oleh responden (31,1 persen). Sementara penyiapan jalur evakuasi, sistem peringatan dini, hingga kelengkapan peralatan keselamatan, menurut responden, masih sangat minim tersedia di sekitar tempat tinggalnya, yaitu 10,9 persen (Kompas, 8/1/2023).